Banyak yang sudah berubah dalam rentang 63 tahun bangsa Indonesia mengecap kemerdekaan. Di bidang politik, terutama sejak reformasi 1998, perubahannya malah sangat dahsyat. Pintu demokrasi dibuka lebar. Hasilnya?
Siapa saja boleh berpolitik. Siapa saja boleh menikmati kebebasan berekspresi. Itu, antara lain, ditandai secara mencolok oleh membludaknya jumlah anggota masyarakat yang mendirikan parpol.
Jika di era Orde Baru yang selama 32 tahun dipimpin Soeharto (alm) pertumbuhan parpol akhirnya direm hanya menjadi tiga (Golkar, PDI, PPP), sejak reformasi 1998 parpol beranak pinak nyaris tak terkendali.
Dimulai pada penyelenggaraan Pemilu 1999. Para tokoh dan masyarakat di negeri ini seperti saling berlomba melepas dahaga politik yang telah begitu lama menjerat. Penuh euforia, 48 parpol muncul sebagai kontestan resmi Pemilu.
Hasil akhir Pemilu 1999 itu sendiri terkesan antiklimaks. PDI-P jadi parpol terdepan dalam perolehan suara. Tapi, yang naik ke kursi RI-1 justru KH Abdurrahman 'Gus Dur' Wahid. Megawati Soekarnoputri, pucuk pimpinan PDI-P, hanya kebagian kursi RI-2.
Gus Dur tak genap sampai lima tahun mengemban amanah rakyat. Banyak kisruh terjadi. Ia, misalnya, tersandung skandal 'Bulogate'. Yang paling panas, tentu, ketika ia bersikukuh ingin membubarkan parlemen. Ujung-ujungnya, ia dilengserkan pada 2001. Mega pun naik takhta.
Masa bakti Mega juga tak lama. Di Pemilu 2004, ia kalah suara dari Susilo Bambang Yudhoyono, salah satu menteri di Kabinet Gotong Royong pimpinannya yang terdepak di tengah jalan akibat 'bergesekan' dengannya.
Jumlah parpol yang mengikuti Pemilu 2004 menyusut separo dibandingkan Pemilu 1999. Dari 48 jadi 24 parpol. Tak ada data valid tentang sebab terjadinya penyusutan itu. Bisa karena kehabisan bensin atau memang berdasarkan kajian yang merujuk pada efektivitas gerakan berpolitik.
Yang jelas, sama seperti era-era sebelumnya, perjalanan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) di bawah kendali Susilo Bambang Yudhoyono-M Jusuf Kalla pun diwarnai banyak riak. Ketidakpuasan sebagian pihak kemudian mencuatkan beragam asumsi. Ada pro, ada pula kontra terhadap kepemimpinan SBY-JK.
Itu, boleh jadi, yang mendorong sederet tokoh lama mencoba menyodok dengan mengibarkan bendera parpol anyar. Kegeraman bercampur dengan keinginan berkuasa membuat jumlah parpol kembali beranak pinak.
Pemilu 2009, intinya, bakal diriuhkan pertarungan perebutan suara publik yang dilakoni 38 parpol. Mulanya yang lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Dephumkam hanya 34. Menjadi 38 karena empat parpol lain memenangkan kasasi di tingkat Mahkamah Konstitusi (MK).
Euforia berdemokrasi yang ditandai dengan ramai-ramai orang mendirikan parpol ini adalah salah satu konsekuensi penerapan sistem multipartai. Tapi, sebuah tanya pantas diapungkan mengiringi fenomena itu. Ya, inikah arti kemerdekaan berpolitik di Indonesia?
Vox populi, vox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Filosofi itu, sesungguhnya, kian disadari oleh mayoritas bangsa ini. Tapi, fakta keseharian menunjukkan, kesadaran itu berbanding terbalik jika disandingkan dengan kualitas performa parpol sebagai wadah aspirasi politik publik.
Manifestasi kebebasan berkumpul dan berpendapat yang diatur dalam konstitusi menjadi kabur maknanya jika hal itu dikomparasikan dengan bobot parpol yang tumbuh di era reformasi ini.
Tidak produktifnya legislatif dalam peran konstitusionalnya seperti pengawasan, anggaran, dan legislasi adalah potret buram sistem perpolitikan di Indonesia. Jelas, kelemahan itu tak lepas dari eksistensi parpol.
Kemerdekaan berpolitik dipahami dengan bias oleh sebagian elit dan aktivis politik. Berpolitik yang harusnya jadi pendulum untuk berkuasa dengan pembuatan kebijakan yang pro rakyat, nyatanya tak terpenuhi.
Di setiap ajang pesta demokrasi bernama Pemilu, sejak dulu rakyat aktif berpartisipasi. Suara dan dukungan sudah diberikan. Tapi, begitu parpol dan tokoh yang didukung sekaligus diharapkan membawa perubahan positif naik ke podium kekuasaan tertinggi, rakyat tetap terjerat dengan pergulatan hidup yang sulit dan berat.
Jangankan dengan para birokrat di tingkat pemerintahan, dengan wakil rakyat di tingkat parlemen pun rakyat tetap kerap tak bisa menyambungkan aspirasinya. Sudah begitu, belakangan, terbongkar pula perilaku tak elok oknum-oknum pilihan rakyat yang duduk di parlemen.
Sumber: Inilah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.