Etika Dalam Berpolitik

Etika dalam Berpolitik



Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan para kepala daerah di Jakarta Kamis lalu mengingatkan kembali tentang pentingnya etika dalam berpolitik. Presiden mengajak seluruh masyarakat untuk menjunjung tinggi etika perpolitikan dalam membangun demokrasi yang kembali kita rajut sejak tumbangnya rezim otoritarian Soeharto pada Mei sembilan tahun silam.

Masalah etika dalam berpolitik di negeri ini memang masih tetap relevan untuk terus diwacanakan. Hal ini terkait dengan konsolidasi demokrasi yang masih terus berlangsung, yang membutuhkan kearifan semua komponen masyarakat dalam mengimplementasikannya. Bila gagal dalam konsolidasi, arus demokratisasi bukan tidak mungkin malah berbalik arah kembali kepada otoritarian. Padahal, kita semua sepakat untuk kembali membangun demokrasi yang telah ''mati'' ketika Orde Baru berkuasa.

Etika dalam masyarakat yang beradab adalah suatu keharusan. Tanpa etika mana mungkin kita bisa hidup aman, tenteram, sejahtera, dan berkeadilan. Tanpa etika, kita bagai hidup di rimba raya dengan prinsip ''yang kuatlah yang berkuasa''. Tidak terkecuali di bidang politik. Tidak salah bila sebagian kalangan menyebut demokrasi yang sedang kita bangun kembali sekarang ini sudah kebablasan. Ini dikarenakan jagat raya perpolitikan kita masih menunjukkan kurangnya etika. Cara-cara yang dilakukan untuk memenangkan sebuah pemilihan kepala daerah, misalnya, sering dilakukan dengan cara-cara tak bermoral seperti politik uang. Cara-cara yang dilakukan dalam mengkritik pun sering dilandasi atas dasar suka dan tidak suka saja. Ini jelas berbahaya.

Demokrasi secara pelaksanaannya yang sederhana memang bisa diterjemahkan sebagai suatu kebebasan. Warga negara bebas berpendapat, bebas berpolitik, bebas menyuarakan aspirasinya. Namun, hal itu bukan berarti bisa melakukan semaunya atas nama kebebasan.

Kebebasan tetaplah harus ada batas-batasnya, ada aturannya, ada rule of law-nya. Semuanya itu haruslah bermula dari etika yang dijunjung tinggi oleh setiap anggota masyarakat. Bila etika saja sudah tak punya, maka aturan-aturan tersebut bisa dengan mudahnya pula diinjak-injak demi mencapai tujuan-tujuan politiknya.

Membangun etika dalam berpolitik berarti juga membangun etika dalam berdemokrasi. Selanjutnya semua lapisan masyarakat perlu mematuhi aturan-aturan hukum yang berlaku. Itulah esensi demokrasi, suatu kebebasan yang dipagari oleh etika dan perangkat hukum yang harus dipatuhi oleh semua orang. Dalam konteks Indonesia, kita memang tidak bisa segera mendapatkan buah dari upaya demokratisasi itu sendiri. Dalam hal ini kita masih butuh waktu dan sosialisasi yang tak pernah putus.

Oleh karena itu, etika dalam berpolitik dan berdemokrasi mestinya selalu ada dalam setiap helaan napas kita. Hanya dengan itu kita dapat melewati tahapan konsolidasi demokrasi dengan mulus dan sesuai harapan. Bukankah kita sudah sepakat untuk membangun Indonesia dengan cara-cara demokrasi setelah era Orde Baru berakhir. Ataukah memang ada cara lain yang lebih baik selain demokrasi?

Sumber: Republika.

No comments:

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.