Pilkada dan Pseudo Politik Kerakyatan

Gema Perpolitikan Pilkada Langsung ditanah air hari ini memberikan sebuah tanda sejarah bagi pencerahan proses demokratisasi di negeri ini. Tanda sejarah ini menuangkan sejumlah harapan dan kesejukan dihati rakyat, karena dalam prosesnya rakyat diberikan setumpuk harapan ideal akan cita kesejahteraan dan kemakmuran di negerinya. Harapan dan cita kehidupan ini kemudian melahirkan respon politik yang massif dari rakyat secara aspiratif untuk ikut menentukan pilihan, bahkan menjadi bagian kekuatan operasional politik serta menjadi bagian kekuatan inti penentu kemenangan.

Praksis kesadaran politik massa ini tentunya dipicu oleh beberapa kepentingan yakni yang pertama, menjadi kelompok ideologis yang praksisnya dibangun melalui kesadaran kelompok, komunitas, peguyuban agama dan lokalitas-lokalitas lainnya yang bertendensi pada kemenagan dan kepuasan sektariansme. Yang ke dua kesadaran praksis timbul dan melibatkan diri secara langsung karena adanya satu konsensus pragmatis baik konsesus tersebut dibangun secara personal maupun berkelompok demi untuk mencapai interest-interest tertentu. Fenomena yang ke dua ini hamper menjadi bagian yang setiap saat bermetamorfosa dengan dialektika perpolitikan bahkan menjadi chyndrome yang senantiasa melumpuhkan idealitas-idealitas yang terkandung dalam theology politik yang menjadi basis moral politik.

Dan yang ketiga praksis kesadaran politik muncul karena adanya dorongan kehendak ideal tentang perubahan (transformation) system, dan perubahan akan nasibnya (rakyat) yang ditumpukan dan dipercayakan kepada fanatisme kefiguran, ketokohan tertentu yang dianggap representatif memiliki kberpihakan. Pada bagian ke ketiga ini lebih meletakan dasar-dasar tujuan berpolitik pada universal atetude atau political atetude yang biasa bercirikan kejernihan moralitas. Cermin kejernihan moralatas politik yang dimaksudkan di sini adalah selalu melatakan kerangka politik pada nilai-nilai theologisme sebagai kesadaran tertinggi dalam kondisi apapun, terlepas dari terkooptasi atau tidaknya theology politik tersebut pada muatan nilai ajaran-ajaran tertentu (non sektarianisme).

Ketiga motifasi politik massa di atas sekaligus menjadi kekuatan pemicu psikologi politik (phsycological striiking forces) massa untuk melibatkan diri dalam praksis ranah perpolitikan di daerah (Pilkada). Yang menarik dari fenomena ini adalah ketiga fenomena motifasi di atas selalu muncul secara sporadis, dan muncul secara bersamaan dalam dinamika praktis perpolitikan daerah dan mewarnai keterlibatan rakyat secara massif, dan kendati demikian motifasi serta membangun kesadaran politik atas dasar frame ideology tetap memiliki keunggulan tersendiri dan merupakan hal yang unik ditengah pluralitas dan diasporik gerakan partai politik.
Beda halnya jika ketika kita tengok kebalakang sejarah, fragmentasi politik massa lebih besar didorong oleh kekuatan ideologis, sekaligus pigmentasi politik lebih banyak diwarnai oleh politik perjuangan yang diilhami oleh adanya kesadaran akan nasib dirinya (masyarakat) dan bangsanya. Kondisi ini bisa terbentuk karena dinamika perpolitikan ketika itu lebih besar didorong oleh fakta sejarah yang meniscayakan perlu adanya sebuah tindakan politik yang memilih frame ideologi yang bernuansa perjuangan untuk sebuah perubahan massif terhadapa tatangan negeri ini baik untuk rakyatnya dan untuk pemerintahannya. Proses ini terlihat pada zaman atau periode kolonialisme.

Dorongan realitas obyektif dalam kiprah politik kerakyatan inilah yang terkesan kabur ditengah eforia kita tentang demokrasi. Koherensi demokrasi sebagai basis theology politik nampaknya kabur dalam kesadaran faktual dinamika perpolitikan baik dari tingkat daerah hinga ketingkat pusat. Fundamentalisasi demokrasi dalam praksis politik begitu terpisah jauh dalam kenyataan yang sesungguhnya jika kita lihat faktanya bahwa masyarakat atau rakyat hanya menjadi bagian penentu kemenagan yang pada akhirnya hasil dari proses politik tersebut tidak memberikan bekas apa-apa pada perubahan nasib rakyat.

Kenyataan sesungguhnya membicarakan hal tersebut, bahwa beberapa proses pilkada dinegeri ini sering menuai kericuhan yang melibatkan rakyat hanya karena terjadai kekalahan elit-elit tertentu dalam pemilihan Kepala Daerah, lagi-lagi yang terlibat langsung dalam berbagai konfrontasi adalah rakyat dan ini merupakan sebuah fakta bahwa rakyat hanyalah menjadi mesin pendorong proses kemenangan politik dan sekaligus subyek kekuatan untuk melawan keinginan elit politik. dan dalang politik selalu bersembunyi dibalik kejadaian-kejadian tersebut. Hal ini menunjukan bahwa pendewasaan demokrasi di negeri ini masih terjebak pada personalisasi mainstream di lingkaran elit. Rakyat hanyalah korban dari pemassan dan kepicikkan paradigma politik.

Kondisi ini bukan berarti bahwa kita terlalu sering menyalahkan tanpa berbuat (skeptis) tetapi dalam kenyataannya kita tengah berada pada suatu lingkaran skeptis paradigmatik. Mengapa demikian?, kerenan perpolitikkan dinegeri ini tengah rapuh di atas sebuah mainstream kamuflase yang kabur artikulasi kerakyatannya. Coba kita analisah sejauh mungkin atas kenyataan-kenyataan yang terjadi disepanjang proses pilkada di seluruh Indonesia, ternyata bahwa proses politik sampai hari ini hanya menjadi duri dalam proses demokratisasi. Manipulasi, politik uang, anarkisme massa yang didalangi masi menjadi bagian warna demokrasi yang sangat pekat dan sulit teridentifikasi.

Kita lihat saja pada hasil survei Pilkada DKI yang dilakukan oleh lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tanggal 08 Agustus 2007 hampir 60 % masyarakat kota Jakarta lebih memilih Golput dan tidak ikut dalam Pilkada, angka ini dalam rasio perbandingan terhadap partisipasi politik rakyat menjadi suatu kenyataan partisipasi politik yang sangat mengkhuatirkan atau berada di “ambang batas kritis demokrasi”. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa harapan-harapan paradigma dan pendidikan politik yang dilakukan selama kampanye tidak begitu mengakar dalam mainstream kepercayaan rakyat terhadap pemimpin di negeri ini. Skepstis paradigma dari proses politik selama ini dikhuatirkan menjadi sebuah bom waktu yang meledak dan menimbulkan kekosongan partisipasi dari rakyat. Dengan demikian restorasi sistemik serta revitalisasi peran politik harus menjadi suatu mainstream untuk mengukuhkan sistem Demokrasi di Negeri ini.

Oleh: Abdul Munir Sara, d/a Jln. Sukarno. No. 09. Timur Barat. Perbatasan Negara Republik Demokratik Timur Leste. NTT/Tlp/HP: 081353858191

Sumber: Fahmina.

No comments:

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.