Mencari Asumsi Dasar Berpolitik

Oleh: A SETYO WIBOWO

Buku ini mengajak kita membaca situasi politik pasca-Reformasi 1998 dengan teori-teori mutakhir supaya energi demokrasi tidak padam.

Buku persembahan ulang tahun untuk Rahman Tolleng ini mengajak kita memelihara gairah akan ”yang politis”. Para penulisnya ingin agar event singular Reformasi terus dirasakan apinya meski rutinitas politicking harian membuat kita sinis kepada politik.

Kata pengantar Rocky Gerung dengan gamblang menggambarkan suasana Indonesia yang diliputi konstruk antipolitik. Bila secara global asimetri Utara-Selatan ciptaan rezim kapitalisme neoliberal begitu kukuh tidak memberi ruang pikiran alternatif, secara nasional kita pun digiring oleh logika efisiensi. Efisiensi teologis tampak dalam kekerasan dan intoleransi kaum fanatis agama. Efisiensi teknokratis menggantikan kebijakan publik. Dan efisiensi simulasi buatan media menggantikan hubungan riil antara caleg dan capres dengan konstituennya. Itukah hidup berpolitik kita? Bila politik adalah ujud dari niat hidup bersama sebuah masyarakat, di mana nilai keadilan atau pengejaran kebahagiaan yang menjadi landasan politik itu sendiri?

Pertanyaan terakhir tentang nilai tidak bisa dijawab dengan praktik politicking harian. Soal nilai mengajak kita menukik tajam ke asumsi politik itu sendiri. Itu sebabnya buku ini mau berbicara tentang ”yang politis” (bdk hal 36-37), yang berbeda dari keribetan praktis operasional politik sehari-hari. Bila ”yang politis” adalah roh, gairah, semangat yang menggerakkan manusia untuk berpolitik, maka politik sehari-hari berurusan dengan prosedur rutin kampanye, pemilu, pat gulipat koalisi, dan tetek bengek mengisi waktu setelah revolusi usai. Bila ”yang politis” adalah event sebesar Reformasi, atau dalam bahasa lain metapolitik, maka politik sehari-hari adalah politicking.

Menghidupkan lagi ”yang politis” berarti menukik dalam menyelidiki asumsi paling dasar hidup politik sehari-hari kita. Artinya, mengikuti intuisi Hannah Arendt, merefleksikan kebebasan (bdk hal 3-33); atau, mengikuti inspirasi Aristoteles, merefleksikan hidup bersama sebagai pencarian kebahagiaan. Oksigen ”yang politis” ditawarkan buku ini dalam pembacaan atas pengarang-pengarang kontemporer seperti Claude Lefort, Alain Badiou, Slavoj Zizek, dan Ernesto Laclau.

Kebebasan

Yang paling khas dari manusia adalah kebebasannya sebagai makhluk ber-logos (dalam arti berbahasa). Ketika hidupnya tidak dikebawahkan pada perbudakan aktivitas survival (ekonomi) dan ketika manusia mengaktualkan potensi logos-nya dalam ruang terbuka demokrasi, di situ inspirasi ”yang politis” ditemukan. Setelah sebelas tahun menghirup udara Reformasi, apakah sekarang ini hawanya masih segar? Bukankah korupsi yang tidak hilang-hilang, relativisme etis, serta pola pikir klenik di negeri ini terlalu mengakar sehingga Reformasi belum memberikan tubuh politik yang sesuai dengan inspirasi kebebasan?

Inspirasi kebebasan ditawarkan buku ini dari telaah atas pemikiran Badiou dan Zizek, yang kita tahu sedang berusaha membongkar kepengapan rezim parlementaro-kapitalis di Barat. Mereka berdua melampaui pesimisme destruksi subyek (manusia) dan kebenaran à la postmodernisme. Bagi mereka, subyek dan kebenaran muncul dalam sebuah kejadian singular (event). Masalahnya, sekali event pudar, saat itulah banalitas politik mengancam menundukkan semua orang pada rutinitas bisnis sehari-hari.

Inspirasi segar kita dapat dari Badiou yang percaya bahwa kendati larut dalam massa, subyek tetap ada sejauh ia setia kepada event. Terjemahan lokalnya, subyek politis di Indonesia tetap ada sejauh ia setia pada idea dan spirit Reformasi. Di tengah kedangkalan berpolitik, kesetiaan inilah yang akan menjaga api gairah berpolitik.

Kritik

Buku ini layak dibaca oleh para aktivis atau mereka yang berhasrat tinggi memajukan iklim demokrasi di Indonesia. Bisa jadi buku ini akan dinilai elitis. Banyaknya teori baru dalam buku ini akan menantang hanya sekelompok elite intelektual dan politik. Tetapi, di tengah sesaknya hawa polutif politik saat ini, elitisme buku ini justru menawarkan inspirasi segar. Dan tidak ada salahnya menjadi elite di bidang di mana kita memang dipanggil untuk terlibat.

Dan persis di ranah keterlibatan ini, ada dua kritik saya berkenaan dengan kegunaan langsung buku ini dan cara kita menyerap teori-teori dari Barat. Pertama, ditulis mereka-mereka yang bergulat dengan politik, tentu buku ini memiliki alasan serius mengapa ide-ide Badiou dan Zizek yang diajukan. Mengingat di Perancis sendiri, sejauh saya tahu, resonansi politis ide-ide Badiou tidak mendapatkan kaki di partai politik karena terlalu ekstrem, apakah anjuran mereka pada revolusi dan penjungkirbalikkan tatanan rezim parlementaro-kapitalisme cocok dengan kebutuhan Indonesia? Bukankah ada pengarang lain yang lebih reformatif, seperti Marcel Gauchet, yang bisa menolong kita memajukan cara kita berargumen melawan spirit obskurantis oknum beragama tetapi garang dan intoleran? Pendasaran kokoh untuk pluralisme dan kebebasan, tetapi tetap beranjak dari pencapaian Reformasi sejauh ini, membutuhkan ide-ide segar dari pemikir-pemikir yang mungkin kurang seksi, tetapi lebih cocok dengan kegeniusan Pancasila.

Kedua, sejauh berkenaan dengan elite pencinta filsafat politik, saya memiliki kesan buku ini kurang berani mempertanyakan pikiran para pemikir yang dipaparkan. Misalnya, soal teori Hannah Arendt yang banyak dijadikan titik pijak karena dianggap berhasil dengan kokoh mendasarkan ”yang politis sebagai kebebasan” pada polis Yunani abad ke-6 SM. Benarkah? Masih perlu dikaji!

Kebebasan warga negara Athena yang tampak dalam praksis mengandaikan bahwa urusan keseharian mereka (makan, minum, dan kebutuhan ekonomis lainnya) sudah dipenuhi oleh mayoritas warga Athena yang adalah wanita, anak-anak, dan kaum budak! Dan yang terakhir ini sama sekali tidak memiliki kebebasan!

Bila demikian, bukankah Athena justru menjadi contoh sebuah polis/kota bebas yang mensyaratkan adanya perbudakan? Dan ironisnya, bukankah dalam asimetri gobal seperti kondisi kita sekarang ini, kita justru menyaksikan hal yang mirip: ada negara bebas (Amerika, misalnya) yang bisa seperti itu karena adanya the rest of the world yang menjadi kacungnya?

A Setyo Wibowo, Pengajar STF Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat Hellenistik dari Université Paris-I, Panthéon-Sorbonne, Paris

No comments:

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.