SBY Minta Santri Diajari Etika Politik
Seolah menyentil rival politiknya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginginkan adanya generasi masa depan yang beretika dalam berpolitik. Ia bahkan meminta pesantren mengajarkan santri empat perkara. Apa saja?
"Perlu diingat bahwa tanda kehidupan yang baik itu ditandai oleh empat perkara," pesan Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam acara peluncuran program bantuan rehabilitasi madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah di Ponpes Al-Fitrah, Kelurahan Kedinding, Kecamatan Kenjeran, Surabaya, Rabu (28/1).
Empat perkara itu adalah mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam berperilaku, seperti taat hukum, aturan dan berperilaku jujur. Kemudian, hendaknya para santri diajarkan tentang pengetahuan ekonomi yang baik. Selanjutnya, diajarkan etika berpolitik yang baik, dan terakhir diajarkan tentang mencintai lingkungan yang baik.
"Kalau semua itu bisa kita ajarkan kepada para santri, saya yakin kehidupan ini jadi lebih baik," terangnya di hadapan ribuan warga yang memadati Masjid Al- Fitrah.
Terkait penjelasan etika politik yang baik, SBY mengharapkan generasi mendatang sadar akan bahasa halus. "Hendaknya para santri itu diajarkan etika politik yang baik. Jangan berpolitik kotor dengan mengembangkan isu-isu yang tidak baik," paparnya.
Sumber: Inilah.
Presidential Bukan Etika Politik
Pengokohan sistem presidensial memang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Multipartai yang demikian kuat akan membawa kita pada musim semideadlock. Di sini artikel saya ”Kediktatoran Konstitusional” (17/11) dan artikel Denny Indrayana ”Mengokohkan Sistem Presidensial” (26/11) berbagi idealisme yang sama.
Namun, satu hal yang membedakan saya dari jalan pikiran Denny. Denny menghubungkan sistem presidensial dengan etika politik. Saya tidak melihat ada sangkut paut antara presidensial dan etika politik. Pendeknya, tidak ada muatan moral setinta pun dalam artikel saya terdahulu.
Kata kediktatoran dalam frase kediktatoran konstitusional bukan karakter kepemimpinan. Kediktatoran adalah karakter konstitusi yang meleluasakan keputusan eksekutif presiden. Singkat kata, kediktatoran konstitusional berbicara tentang karakter konstitusi, bukan pribadi.
Apabila etika dimengerti sebagai kewajaran, maka keputusan presiden dapat menerabas batas-batas kewajaran. Keputusan bukan sesuatu yang harus dikebawahkan pada dekrit-dekrit moral. Carl Schmitt menegaskan posisi itu. Demikian pula Nietszcshe. Keputusan disebut keputusan justru karena tak terpenjara dalam dekrit moral tertentu. Keputusan menciptakan, bukan melayani moral.
Denny mengidolakan sistem presidensial yang berlaku di Amerika. Berdasarkan argumen di atas, saya justru memandang tinggi sistem presidensial di Peru. Sistem presidensial Peru membawa napas kediktatoran konstitusional sampai ke tarikan terakhirnya. Dalam sistem itu, konstitusi meleluasakan presiden untuk membatalkan keputusan atau bahkan membubarkan kongres (Denny Indrayana).
Sistem presidensial Peru memberi ruang bagi ”yang tak wajar” dalam keputusan eksekutif. Apabila sistem Peru berlaku di Indonesia, seorang Gus Dur dapat dengan mudah mencabut Tap MPRS Nomor XXV. Seorang SBY dapat memeriksa UU yang anti-NKRI dan membatalkannya. Di republik ini kenegarawanan beradu dengan kepentingan. Konstitusi yang baik harus memungkinkan kemenangan kenegarawanan.
Politik anomali
Jadi, jelas kiranya desain konstitusi demi kokohnya presidensial tidak untuk menciptakan pemimpin bermoral. Desain konstitusi ditujukan untuk memungkinkan jatuhnya keputusan-keputusan ”tak wajar” yang bisa jadi bertentangan dengan opini umum tentang apa yang baik. Perilaku politik tidak dijaga oleh desain konstitusi. Konstitusi justru memberi ruang bagi keputusan politik anomali.
Tidak ada sangkut paut antara karakter kediktatoran konstitusi dan etika politik seorang presiden. Sungguh naif menyamakan kekokohan sistem presidensial dengan kebesaran hati seorang calon presiden yang kalah. Kekokohan sistem presidensial berhubungan dengan prasyarat dukungan politik terhadap calon presiden, penyederhanaan sistem multipartai, penambahan hak prerogatif presiden, sampai dengan penjaminan hak veto.
Karakter kediktatoran konstitusi pun tidak bersangkutan dengan tingkat pendidikan calon presiden. Seorang doktor yang menjadi presiden tidak dapat dipastikan lebih tegas dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan seorang lulusan SMU. Gus Dur bukan doktor. Namun, ketika republik ini di bawah komandonya, beliau banyak menjatuhkan keputusan tegas, tak wajar, dan tak populer.
Presiden ke depan diharapkan dapat mengambil keputusan-keputusan cepat, tegas, tak wajar, dan tak populer. Apalagi, kita sedang menghadapi krisis ekonomi yang sarat ketidakpastian. Kita tidak memerlukan sosok yang lama berdiskusi. Kita memerlukan sosok yang segera memutuskan dan menghitung cepat collateral damage dari keputusannya. Untuk itulah kediktatoran konstitusional diperlukan. Bukan untuk mencetak diktator, melainkan memungkinkan pengambilan keputusan yang tak terkendala konstitusi.
Kediktatoran konstitusional menuntut perbaikan karakter konstitusi. Tidak lebih. Moralitas politik adalah urusan individu, bukan konstitusi. Saya sepakat dengan Denny bahwa kita memerlukan legal engineering untuk mengokohkan sistem presidensial. Namun, kita tidak memerlukan moral engineering. Semoga tulisan ini dapat meluruskan apa yang lengkung sekaligus melengkungkan apa yang lurus (baca: wajar) dalam politik kita. Let free spirit flies alone!
Oleh: Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Universitas Indonesia
Kita Harus Harus Memiliki Kesadaran dan Etika Pluralisme
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, yang terdiri dari berbagai suku, golongan, agama dan budaya. Fakta kemajemukan atau pluralitas ini harus kita terima sebagai kekayaan kita. Karena itu, para pemimpin bangsa dan warga negara harus menerima fakta pluralitas ini dan memiliki kesadaran, semangat atau etika pluralisme.
Demikian sari pendapat yang dirangkum dalam acara diskusi dan bedah buku “Politik Antara Legalitas dan Moralitas” karya P. Dr. Otto Gusti SVD, yang berlangsung di Auditorium III Kampus STFK Ledalero, Maumere, Rabu (20/5). Acara ini adalah bagian dari rangkaian kegiatan dalam rangka perayaan 40 Tahun STFK Ledalero. Tampil sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut antara lain, P. Felix Baghi, SVD yang mengupas buku
“Kewarganegaraan Demokratis dalam Sorotan Filsafat Politik”, P. Dr. Otto Gusti SVD, dan Dr. Nobert Jegalus yang membedah buku karya P. Otto Gusti dengan makalah berjudul “Pluralitas adalah Dasar Politik Modern dan Pluralisme adalah Etika Politiknya” dengan moderator Fr. Alex Dancar, SVD. Diskusi dan bedah buku ini diikuti sejumlah dosen, alumni dan mahasiswa STFK Ledalero.
Dalam pemaparannya, Nobert Jegalus mengatakan buku karya Pater Otto Gusti adalah sebuah karya yang mengulas topik filsafat politik dengan mengangkat pemikiran dua filsuf politik terkemuka yakni Juergen Habermas dan John Rawls, dan kemudian mengkritisi persoalan-persoalan aktual yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini, seperti persoalan HAM, pornografi dll.
Satu persoalan pokok yang mengemuka dalam diskusi tersebut adalah kondisi aktual bangsa Indonesia yang majemuk. Menurut Jegalus, kemajemukan ini adalah sebuah fakta yang kita hadapi. Karena itu, sikap dasar yang mesti kita ambil adalah menerima fakta pluralitas yang merupakan dasar politik modern. Berbarengan dengan itu, kita juga perlu memiliki kesadaran, semangat dan etika pluralisme. “
Dalam kondisi kemajemukan, kita bisa mengalami perselisihan, pertentangan dan konflik. Kalau kemajemukan itu dihapuskan maka akan ada individu yang dikorbankan. Kita tidak menghendaki ini terjadi. Karena itu, yang tengah dikembangkan sekarang adalah etika, kesadaran atau semangat pluralisme. Dalam rangka inilah kita membangun diskusi dan komunikasi agar menemukan kesepahaman bersama,” katanya.
Sedangkan penulis buku “Politik Antara Legalitas dan Moralitas”, P. Otto Gusti, dalam pemaparannya, mengungkapkan beberapa pertanyaan mendasar dalam kaitannya dengan pembentukan sebuah negara. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan antara lain apa yang menjadi dasar legitimasi sebuah negara, atas alasan apa manusia menjadikan negara sebagai sarana untuk mengorganisir hidup sosialnya. “Pertanyaan ini penting karena negara bukan satu-satunya lembaga yang mengorganisir hidup sosial karena masih ada keluarga, kelompok suku, kelompok budaya, dan lain-lain. Lalu, mengapa kita menginginkan negara,” kata Pater Otto.
Menurut Pater Otto, negara pada prinsipnya dipandang sebagai lembaga kekuasaan yang legitim jika dibandingkan dengan para bandit yang mungkin memiliki kekuasaan atas wilayah tertentu, tetapi kekuasaannya dipandang sebagai ilegitim. Pertanyaan yang muncul adalah apa dasar legitimasi bahwa manusia boleh menguasai yang lain? Pertanyaan ini telah menjadi bahan refleksi para pemikir dan filsuf politik sepanjang zaman. Secara garis besar ada dua bentuk legitimasi terhadap keberadaan negara yakni legitimasi moral dan pandangan positivisme hukum. Legitimasi moral bermula dari konsep hukum kodrat dari Aristoteles dan dikembangkan kemudian oleh beberapa pemikir. Mereka memandang negara dan tatanan hukumnya sebagai sarana menciptakan keadilan.
Sumber legitimasi negara adalah moralitas yang berlaku universal. Negara tidak bisa bertindak sewenang-wenang. Ia hanya ditaati sejauh menjalankan fungsinya dalam batas-batas moral. Legitimasi moral berseberangan dengan pandangan posivisme hukum yang berpandangan bahwa konsep dan validitas hukum tak berkaitan sama sekali dengan penilaian moral dan bentuk-bentuk penilaian lainnya. Bentuk ekstremnya adalah pandangan Thomas Hobbes bahwa otoritas penguasa yang menjadi sumber legitimasi hukum. “Dewasa ini legitimasi hukum tidak lagi berasal dari otoritas penguasa, tetapi lebih merujuk pada paradigma fungsional dari berbagai elemen dalam negara,” jelas Pater Otto.
Rangkaian kegiatan dalam rangka Perayaan 40 Tahun STFK Ledalero pada hari ini Jumat (22/5) antara lain seminar dengan dua pembicara utama, yakni P. Dr. John Prior SVD dan Dr. Nobert Jegalus serta peluncuran buku kenangan Pancawindu STFK Ledalero. Perayaan puncaknya akan berlangsung pada Sabtu.
Sumber: Flores Pos.
Jangan Lakukan Politik Kotor
Jakarta-Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo mengajak kader Partai Demokrat untuk melakukan etika politik yang baik, santun, dan cerdas. Jadi, jangan melakukan praktik politik yang kotor, black campaign, karena itu tidak mendidik dalam alam demokrasi ini. Apalagi pemilu sudah tidak lama lagi.
Hadi mengatakan itu daam acara Silaturahmi Nasional (Silatnas) para anggota dewan Partai Demokrat se-Indonesia di Jakarta, Minggu (24/8).
Menurutnya, jangan hanya karena ingin menang di pemilu kemudian harus menggunakan cara-cara kotor, bahkan sebuah kejujuran diabaikan. Kalau cara ini digunakan itu artinya bukan berdemokrasi. “Demokrasi jangan dilalui dengan cara-cara yang kotor demi mencapai kemenangan pemilu. Karena itu saya mengajak untuk mengggunakan etika politik,” katanya.
Dia mengatakan Partai Demokrat tampil di depan untuk praktik demokrasi sesungguhnya. Untuk itu, jangan mencederai prinsip demokrasi. Apalagi tujuan dasar dari pemilu yang diselenggarakan 2009 mendatang adalah siapa yang dipilih rakyat itulah yang dipercaya oleh yang memilih.
Pemerintahan Yudhoyono-Kalla harus didukung dan diamankan demi untuk kepentingan rakyat. Dengan sistem presidensil ini, kata Hadi Utomo, Partai Demokrat harus punya kekuatan di parlemen. Karena itu, forum silatnas dipastikan sebagai bagian upaya dalam menghadapi pemilu tahun 2009.
Forum silatnas yang dihadiri selluruh anggota dewan Partai Demokrat se Indonesia ditambah Ketua DPD PD akan berlangsung hingga Selasa 26 Agustus. Direncanakan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono memberi pembekalan kepada para peserta, Selasa (26/8) ini.
Sebelum sambutan Ketua Umum, Ketua Panitia Silatnas Max Sopacoa melaporkan mengenai kegiatan tahunan itu kepada Ketua dan peserta.
Sumber: Sinar Harapan.
SAATNYA ETIKA POLITIK BICARA
Oleh :Muhammad Mubibbuddin*
Karyana adalah guru Madrasah Ibtidaiyah Nurul Ikhlas Muara Baru Jakarta Utara. Tanggung Jawabnya sebagai pengajar tergolong cukup besar, pagi hari mengajar di kelas IV dan siang harinya mengajar di Madarsah Tsanawiyah yang sama. Di samping itu, Karyana juga mengerjakan urusan administrasi sekolah. Namun imbalan yang diterimanya tidak sebesar tanggung jawabnya. Guru honorer yang sudah lima tahun dengan ikhlas mengabdikan diri pada bangsa dan negaranya ini hanya mendapatkan gaji sebesar Rp 150.000,- per bulan. Hidup di ibu kota dengan gaji sekecil itu jelas sangat tidak mencukupi. Maka Karyana pun nyambi jualan ikan di pelelangan untuk menutup kekurangannya.
Namun di tengah penderitaan guru itu, belum lama, negara ini digoncang oleh sejumlah sekandal korupsi para pejabat negara yang mencapai miliaran rupiah. Ini jelas sebuah ironi. Dengan ini menandakan bahwa ada yang tak beres dalam soal managemen sistem perpolitikan di Indonesia.
Tujuan didirikannya negara adalah untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bersama. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya: ketidakadilan dan kesenjangan yang merajalela. Para pejabat yang masuk dalam lingkaran kekuasaan bisa mengeruk keuntungan material secara berlebihan, sementara orang-orang seperti Karyana yang berada di luar lingkaran kekuasaan terus termarginalkan.
Politik yang tanpa etika
Munculnya kesenjangan antara masyarakat dengan pejabat,antara pihak struktural dengan pihak kultural merupakan indikasi bahwa politik di Indonesia sudah tidak dikelola berdasarkan etika. Akibatnya, politik berjalan secara banal yang kering dari niliai-nilai moral dan intelektual. Para politisi yang ada di dalamnya bukan lagi mencerminkan sosok-sosok negarawan yang peduli terhadap kepentingan bersama, tapi sudah menjadi aktor-aktor minimal yang berprilaku dangkal dan egois.
Dalam analisis Haryatmoko (2003), terdapat kecenderungan orang yang terjun dalam dunia politik bermental animal laborans di mana orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus produksi-konsumsi sangat dominan, cenderung menjadikan politik tempat mata pencarian utama. Dengan mental yang rendah semacam itu, para politisi akhirnya menajdikan dunia politik sebagai ladang pencarian. Akibatnya korupsi, kolusi dan nepotisme berkembang subur. Mereka cenderung mengabaikan kepentingan orang banyak karena terlalu mengurusi diri sendiri, keluarga dan golongannya.
Dalam situasi semacam itu, maka yang menjadi tumbal kekuasaan tidak lain adalah rakyat. Rakyat akhirnya menjadi korban para politisi yang tidak beretika itu. Keberadaan rakyat hanya dipandang sebagai obyek komoditas ekonomi dan politik tanpa pernah benar-benar diperjuangkan aspirasinya. Kepentingan rakyat adalah nomor kesekian kalinya setelah kepentingan pribadi terpenuhi. Para pemimpin atau pejabat yang seharusnya mengabdikan diri sebagai pelayan rakyat justru menjadi penjilat dan monster yang serakah. Mereka seharusnya lebih mendahulukan hajat hidup orang banyak dalam distribusi kekayaan, namun justru sebaliknya, berebut untuk mengambil yang pertama. Tentu saja akan mengambil bagian yang terbesar.
Etika Politik perlu digaungkan
Untuk mengembalikan fungsi politik yang sebenarnya, yakni sebagai ruang publik untuk mengatur dan mengakomodasi semua kepentingan indifidu dan kelompok, maka etika politik harus ditegakkan. Tujuan etika politik, seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1990) adalah mengarahkan ke hidup baik bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Politik, dalam kerangka makna ini, digunakan untuk menjembatani antara kepentingan individual, kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Tuntutan pertama etika politik adalah hidup baik bersama. Artinya bagaimana sistem politik yang ada bisa benar-benar difungsikan untuk menciptakan kesejahteraan bersama, kemakmuran bersama dan keamanan bersama. Sehingga masing-masing pihak merasakan kemaslahatan eksisnya sebuah pmerintahan, eksisnya sebuah negara dan instiyusi-instityusi politik di dalamnya.
Karena orientasinya semacam itu, maka etika poltik bukan sekedar berbicara soal prilaku para politisi dalam konteks individual, tetapi juga dalam konteks kebersamaan. Artinya seorang politisi tidak hanya dituntut untuk berprilaku baik dan terpuji dalam praktik berpolitik, etapi lebih dari itu—dan ini yang lebih substansial—-menempatkan kemaslahaan bersama sebagai agenda utamanya. Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap individu sekaligus kolektif. Jadi, Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jelasnya, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral untuk kepentingan orang banyak.
Dengan demikian seorang politisi dituntut untuk berani berkorban untuk kepentingan umum. Pengorbanan yang paling minimal adalah mengalahkan kepentingan pribadi demi kepentingan orang banyak. Mempunyai mobil mewah itu enak, mempunyai istri banyak dan cantik itu menggairahkan, mempunyai vila dan hotel di mana-mana itu membanggakan, tapi batalkan terlebih dahulu karena masih ada saudara yang tidak kuat makan, masih ada guru yang gajinya jauh dari standar, masih banyak anak yang kurang gizi, masih banyak orang yang hidup di lorong-lorong jembatan dan sebagainya.
Artinya, berani menjadi politisi adalah berani mewakafkan dirinya untuk orang lain, berani berkorban untuk memenuhi kepentingan rakyat banyak dan bukannya justru sebaliknya—mengabaikan kepentingan umum untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian etika politik mengandaikan terciptanya keadilan sosial. Inti keadilan sosial, secara simplisif, adalah terciptanya kesadaran untuk selalu peduli terhadap orang lain, terutama yang tak berdaya, sebagai manifestasi semangat terhadap nilai-nilai sosial-kemanusiaan dalam sebuah masyarakat atau bangsa.
Sebab seperti yang dikatakan oleh Frans Magnis-Suseno bahwa kemanusiaan sebuah masyarakat diukur dari perhatiannya kepada angota-anggotanya yang paling lemah, miskin dan menderita. Dengan keadilan sosial ini secara implisit meneguhkan sebuah prinsip bahwa selama dalam sebuah masyarakat masih dijumpai orang miskin, terbelakang, tidak punya tempat tinggal, tertindas dan termarginalkan, maka unsur masyarakat lain, terutama para pemimpinnya tidak boleh berpangku tangan dan pura-pura tidak tahu. Para pejabat sebagai abdi masyarakat harus segera membantu secara konkrit terhadap masyarakat yang berada dalam jurang kemiskinan dan keterbelakangan tersebut.
Maka dari itu, untuk menjernihkan dunia politik yang sudah banyak terkotori oleh prilaku para politisi yang tidak beretika alias busuk seperti sekarang ini, etika politik sudah saatnya bicara dalam dunia politik. Ini harus menjadi pedoman bagi politisi yang sudah maupun yang akan terjun ke gelanggang politik. Ingat politik bukan ladang bisnis individu maupun keluarga, tetapi tempat untuk menciptakan kebaikan dan kebahagiaan bersama. Maka perhatikanlah saudara-saudara kita seperti guru Karyana itu.
*Muhammad Muhibbuddin adalah Koordinator komunitas studi filsafat “Sophos alaikum” Fak.Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.