Politik Identitas

Politik Identitas

Tantangan Terhadap Fundamentalisme Moderen

1. Skenario Perbenturan Peradaban

Serangan tanggal 11 September oleh fundamentalis Islam terhadap lambang dominasi dunia Amerika di New York dan Washington telah secara masif menghidupkan kembali debat mengenai tantangan perbenturan peradaban di dunia. Argumentasi yang disampaikan oleh Samuel Huntington, bahwa kita sedang menghadapi sebuah perbenturan dapat dihindari antara peradaban-peradaban dunia, khususnya antara Islam dan Barat. Sebagai alasan krusial yang mendukung prospek yang tidak menyenangkan ini adalah adanya hipotesa bahwa dengan adanya peradaban dunia yang berbeda-beda saat ini, tidak dapat melewati batasan yang terbentuk dari semakin luasnya beberapa interpretasi tentang nilai-nilai politik mendasar untuk dapat hidup bersama.

Skenario peradaban yang saling berbenturan semakin mendapat kekuatan, hal mana dapat diterima bila melihat kejahatan yang dilakukan oleh satu kelompok etnik terhadap lainya di Yugoslavia yang runtuh atau kegiatan jaringan teror Bin Laden. Skenario ini telah menjadi sebuah paradigma untuk pandangan dunia baru, yang mengakibatkan goncangan di seluruh dunia, di kantor-kantor editorial, dalam berbagai seminar, sidang perencanaan dan rapat konsultasi politik, serta juga dalam pemikiran kekuatan-kekuatan yang ingin muncul yang mengharapkan mendapatkan keuntungan politik darinya. Sebetulnya tidak mengherankan, banyak yang sudah mulai berperilaku seolah-olah model tersebut berlaku. Setiap pihak menganggap dirinya paling mengerti dalam menghadapi realitas yang disebutkan tadi, juga karena pihak-pihak lain melakukan hal yang sama sesuai dengan perkiraan yang ditentukan oleh model tersebut. Dengan demikian paradigma fundamentalisme dapat melebarkan sayapnya di luar penganut setianya.

2. Identitas Budaya: Kondisi Sekarang

Bilamana kita mengamati teori skenario Huntington mengenai perbenturan peradaban lebih mendalam, maka dapat ditemukan gambaran-gambaran klasik dari ideologi-ideologi menarik yang ingin menproklamasikan hasil akhirnya. Dengan mengambil beberapa fakta pilihan dari kejadian-kejadian dunia yang sesungguhnya sesuai dengan kebutuhan masing-masing, maka teori ini mengikatkan semua unsur di atas dalam pernyataan konklusif mengenai kejadian sebagai keseluruhan, dan mengesampingkan semua hal yang tidak cocok dengan gambaran yang sengaja diedarkan. Dibangun dalam bentuk demikian, teori ini dapat digunakan sebagai pembenaran bagi berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kekuasaan dan supremasi, dimana sebuah pandangan adil dan tak berpihak tidak dapat memberikan pembelaan pada tingkat keyakinan manapun. Huntington memperlakukan peradaban-peradaban yang berbeda seolah-olah mereka hanya terdiri dari fundamentalisme.Namun demikian, fundamentalisme adalah salah satu dari berbagai pilihan untuk dapat mengerti dan mempraktekan tradisi budaya. Sebagai bentuk ekstrem dari politisasi perbedaan budaya, fundamentalisme tidak terbatas pada budaya barat (yang menciptakan terminologi tersebut), atau pada peradaban tertentu seperti Islam, walaupun banyak sekali pandangan yang menentangnya.

Fundamentalisme juga bukan merupakan sebuah instrumen analisa barat, seperti contoh dapat ditemukan dalam budaya lainnya, tetapi mungkin cara penerapannya di budaya lain melalui perspektif barat.Sebaliknya, semua budaya dunia terbukti berupa sekat-sekat diskusi dan wacana sosial yang pada hakekatnya sangat beranekaragam dan dinamis. Dalam budaya tersebut, dengan ukuran berbeda-beda, fundamentalisme muncul; dan dalam semua budaya itu pula, fundamentalisme merupakan ekspresi yang mendapat tentangan dalam keseluruhan identitas budaya. Perbandingan empiris yang menjangkau semua budaya menunjukan bahwa dalam kondisi tertentu setiap budaya menghasilkan aliran fundamentalisme berbarengan dengan modernisasi dan tradisionalisasi yang mengitarinya. Walaupun terdapat perbedaan yang luas dalam lingkungan-lingkungan budaya, aliran fundamentalisme dalam struktur dan fungsinya menunjukan karakteristik yang sama dimanapun dan memberi bahan untuk kebutuhan politis dan psikologis dalam semua budaya, yaitu kebutuhan akan kepastian, identitas dan pengakuan bagi mereka yang terisolasi atau terancam oleh kekuatan yang lebih tinggi atau oleh perkembangan pembangunan. Dalam masing-masing budaya ini, fundamentalisme menyatakan perang terhadap kedua aliran bersaing, yaitu modernisme dan tradisionalisme, dan dengan tak tergoyahkan mengupayakan dikembalikannya identitas yang sesungguhnya dari budaya tradisional yang saat itu berada dalam keterpurukan, dengan membangkitkannya kembali dengan cara mengambil alih kendali kekuasaan politik dan mencapai supremasi absolut. Dengan demikian masyarakat dibebaskan secara menyeluruh terhadap penderitaan kontradiksi modernisasi. Semua label fundamentalisme, apakah itu Kristen, Yahudi, Islam, Hindu atau Buddha, senantiasa bertendensi untuk membentuk sebuah sistem berpikir tertutup yang dengan demikian secara sintetis mengisolasikan perbedaan pendapat, keraguan, alternatif, dan keterbukaan.

Oleh karena itu, tujuannya adalah untuk memberikan keamanan, keyakinan orientasi, identitas yang mantap dan kebenaran yang menyeluruh. Mereka akan tiba pada sebuah kepastian sistem kepercayaan yang dihasilkan sendiri dan disterilkan terhadap keraguan. Fundamentalisme modern memberikan pelayanan dalam bentuk militannya sebagai legitimasi tuntutan intelektual, agama dan supremasi terhadap mereka yang berbeda pendapat. Sistem iman yang tertutup dan penerapan peraturan dalam format fundamentalisme mewakili suatu paham kembali secara absolut dalam politik sampai pada batas bahwa mereka berasumsi memiliki peran dalam lingkungan publik dan mematikan kritik, semua alternatif, keraguan, serta dialog terbuka mengenai tuntutan kognitif diantara mereka yang setara. Apa yang terjadi selanjutnya adalah pengabaian penuh (atau kadang-kadang dalam masyarakat demokratis yang telah berkembang hanya secara selektif) terhadap hak azasi manusia, pluralisme, toleransi, hukum dan prinsip mayoritas demokrasi atas nama kebenaran yang absolut yang dipercayai oleh kaum fundamentalis. Dalam budaya barat akhir-akhir ini kita telah menjadi saksi beraneka ragam gerakan fundamentalisme: Fundemantalisme Protestan di Amerika Serikat, fundamentalisme etnis di Balkan atau Jerman, dan Marxisme-Leninisme dalam berbagai bentuknya.

Pada akhir abad ke-20 fundamentalisme moderen telah menjadi formula tanpa banding untuk mendapatkan keberhasilan dalam politisasi perbedaan budaya dalam semua peradaban, walaupun ia juga memperlihatkan unsur-unsur yang sama beranekaragamnya seperti modernisasi yang ingin dilawannya di berbagai pusat di mana ia timbul sebagai kekuatan dominan .Dengan berakhirnya konflik Timur-Barat, maka pola-pola budaya yang berbeda-beda malah menjadi lebih jelas sebagai nilai-nilai dasar dan bentuk-bentuk hidup, sebagai merek dan harapan kolektif. Fakta yang kurang menonjol ini tidak begitu berhasil meninggalkan kesan di benak masyarakat luas dalam beberapa tahun setelah era ideologi, sama gagalnya dengan usahanya untuk menjadi pusat publisitas dan eksploitasi politik. Dibentuk sebagian untuk tujuan politik, dibuat berlebihan sebagian untuk mempertahankan pengakuan, ditelan oleh publik yang tak terorientasi dengan sebuah perasaan kelegaan dengan jarak aman terhadap kejadian tidak menyenangkan, perasaan kesadaran budaya dan bersamanya juga kesadaran perbedaan budaya kelihatannya telah mengambil alih keadaan konfrontasi terbesar yang mendominasikan abad ke-20.Dalam isi ajaran-ajarannya, kebiasaan hidup masyarakat yang tergabung dalam lingkungannya dan bentuk/struktur tujuan politik sosial yang dituju, terdapat perbedaan yang besar antara fundamentalisme Protestan di Amerika Serikat, fundamentalisme Hindu di India, fundamentalisme Evangelis di Guatemala, fundamentalisme Yahudi di Israel, funda-mentalisme Buddha di Sri Langka, fundamentalisme Islam di Iran atau Aljazair, fundamentalisme Khong Hu Cu di Asia Timur, fundamentalisme Katolik Roma di Eropa dan Amerika Serikat.

Perbedaan-perbedaan tersebut terungkap dalam kasus-kasus yang terjadi dengan jelas dan dalam ungkapan-ungkapan lumrah yang berakar pada masing-masing budaya yang berbeda. Namun, di antara semua perbedaan itu, ada satu elemen bersama yang mengikat mereka, yaitu suatu gaya yang ditandai oleh sebuah pendekatan permusuhan terhadap perbedaan budaya, sebuah strategi yang berorientasi untuk mencapai supremasi dengan cara mempolitisasikan budayanya sendiri melawan budaya pihak lainya, baik dalam lingkungan masyarakatnya sendiri maupun dengan masyarakat di luarnya.

3. Politisasi Perbedaan Budaya

Proses pemahaman naturalisasi budaya itu sendirilah – suatu proses yang aneh untuk akhir abad ke-20 – yang telah membuka jalan proses berpikir kawan-lawan agar dapat kembali melalui pintu belakang untuk memasuki pusat daerah politik, seolah-olah peradaban dan afiliasi individu-individu hanyalah final dan tidak dapat dirubah sama sekali, sama seperti makhluk hidup dengan genus dan spesies biologi. Strategi ‘rasisme budaya” secara diametris bertentangan dengan solusi politik kelanjutan hidup kemanusiaan saat kini: yaitu pengamanan perdamaian, pengamanan sumber daya alam kehidupan, dan kerjasama ekonomi. Dengan kata lain kita memerlukan kerjasama global yang menyatukan semua perbedaan tradisi, budaya, agama, dan daerah.

Bersamaan dengan itu, strategi ini juga secara diametris bertentangan pada kenyataan global di mana budaya-budaya telah lama saling mengintegrasikan diri dan tidak lagi berhenti untuk bersikap melanjutkan kebiasaan lama. Tetapi di lain sisi, jika perbedaan budaya dipolitisasikan dengan maksud untuk membangun perbedaan, yaitu perbedaan-perbedaan yang jika dibaca dengan cara yang diatur dengan baik, dapat membentuk dasar kebijakan saling pengertian umum bagi manusia dalam semua peradaban, maka bukan hanya kesempatan untuk hidup yang baik dalam setiap peradaban yang kini terancam (demikian juga dalam zaman dimana kita hidup), tetapi juga dasar-dasar penting untuk dapat melanjutkan kehidupan itu sendiri.

Konsekuensi secara menyeleruh, politisasi perbedaan budaya adalah suatu pekerjaan bunuh diri untuk semua. Dalam kasus individu mungkin saja bagi kelompok politik bisa berfungsi sebagai obat penenang kehidupan yang dipinjam, tetapi hal ini tidak memberikan solusi untuk hal-hal yang diperlukan seperti penciptaan pekerjaan, keadilan, keamanan, standar kehidupan sehat, pendidikan dan masa depan.Politisasi perbedaan budaya merupakan sebuah ancaman terhadap politik luar negeri dan merupakan sebuah tantangan bagi politik dalam negeri. Dalam banyak hal tantangan di kedua front tersebut dengan sendirinya akan saling bertautan, seperti yang dicontohkan dengan kejelasan klasik di Asia Selatan.

Perbedaan budaya di kedua negara berkekuatan nuklir, India dan Pakistan, mendominasi baik politik luar negeri maupun politik dalam negeri dalam masing-masing masyarakat, membuktikan bahwa keadaan tersebut sangat eksplosif jika dipolitisasi dengan tujuan untuk menciptakan antagonisme. Walaupun demikian bukanlah perbedaan budaya per se, tetapi eksploitasi politik yang seringkali menyusul dibelakang konflik ekonomi.Politisasi perbedaan budaya telah terbukti sebagai resep universal yang selama-lamanya berguna untuk membangkit-kan pendapat publik yang kemudian dapat diolah menjadi suara atau persetujuan kapan saja ada kekuatan yang berusaha untuk berkuasa tanpa memberikan kontribusi agar politik dapat mencapai tujuan sesungguhnya. Sebaliknya, jika yang ada hanya perbedaan sebagai pelengkap yang dalam kehidupan sehari-hari sama sekali tidak memberikan konflik, atau sekurang-kurangnya tidak perlu dirasakan demikian, dan perbedaan tersebut digunakan sedemikian rupa untuk menjadi instrumen rekayasa politik simbolis yang sengaja diarahkan dalam kampanye atau provokasi kekerasan menjadi masalah mati atau hidup, harga diri atau penghinaan, kebahagian hidup atau pengasingan, jaminan sosial atau ancaman, maka harapan ambisius dapat dibangkitkan, hambatan-hambatan menggangu dihentikan dan emosi digugah di luar kemampuan yang mungkin dilakukan oleh politik yang sesungguhnya. Dengan menerapkan strategi budaya eksklusif, maka pendukung loyal yang bingung dilemparkan dalam arena kawan-musuh. Dalam prosesnya, tantangan dan tanggung jawab sesungguhnya dengan sendirinya menghilang dari mata publik.

Ini merupakan hal yang sangat menggairahkan bagi politik dan politisi di dunia, dimana disposisi jumlah besar manusia membuat strategi demikian menjadi sangat menarik untuk memberikan hasil.Apakah konsekuensi politisasi budaya? Masalah-masalah yang dapat dan harus diselesaikan secara politis, misalnya pengangguran, semakin luasnya ketidakadilan, eksklusivitas ekonomi, tidak adanya tanggung jawab sosial, tuntutan hak atas supremasi, korupsi atau ketidakmampuan untuk kerjasama, dan kompromi sama sekali diabaikan atau dibuat menjadi sulit, semua ini dalam konsekuensi kegagalan mempertahankan perbedaan budaya, yang perbaikannya sangat vital untuk penyelesaian masalah-masalah ini. Keadaan sosial dan ekonomi yang telah membangkitkan kemarahan banyak orang dicerminkan sebagai hasil yang akan muncul dari degenerasi identitas budaya atau kesengajaan pencampuran budaya. Dilihat dari sudut pandang ini, politik identitas budaya, dengan cara menggeser yang lain dari lingkungan haknya, merupakan dasar yang tak terpisahkan untuk kesejahteraan „kaumnya sendiri”.Politisasi budaya berjalan di dalam maupun di luar.

Dari dalam mewakili strategi fundamentalisme yang berupaya untuk meyakinkan kita bahwa kejahatan yang timbul di dunia hanya dapat disembuhkan jika tuntutan kepastian yang dipegang oleh pemimpin-pemimpin fundamental dalam masing-masing kejadian, dapat berkuasa tanpa ketakutan dan kontradiksi. Dari luar mewakili strategi-strategi yang dinyatakan oleh orang-orang seperti Huntington yang tanpa menjadi fundamentalis sendiri, membuka jalan untuk tindakan fundamentalisme dengan pernyataan bahwa peradaban yang sudah menyebar di dunia pada hakekat alaminya bersifat fundamental. Teori ini bahkan memaksa orang non-fundamental untuk membayar dengan uang yang sama, jika mereka tidak mau menggoncangkan kekuasaan penilaian dalam anggapan adanya perbenturan peradaban secara global.Masih dalam lingkungan konfirmasi bersama, politisasi budaya baik internal maupun eksternal, mempersiapkan diri untuk mengisi dengan cara fatal, kekosongan yang ditinggalkan oleh runtuhnya ideologi-ideologi besar abad ke-20. Baik dari awalnya maupun hasilnya, proses ini jauh lebih tidak manusiawi dibandingkan dengan tuntutan kekuasaan ideologi-ideologi di abad yang baru lewat. Hal tersebut disebabkan politisasi demikian membuat individu dicap sesuai dengan latar belakang budayanya dan untuk selamanya dilihat sebagai unsur yang tidak berubah.

Sedangkan ideologi-ideologi besar setidaknya membiarkan pintu perubahan terbuka yang memungkinkan masing-masing individu memilih sendiri ideologinya, sehingga masih memberikan sedikit ukuran harkat dan penentuan diri bagi mereka.Selain itu, politisasi budaya memiliki efek samping yang sangat jahat. Dengan ditekannya keistimewaan dalam lingkup kawan-lawan, maka perbedaan budaya sesungguhnya hilang dari kesadaran publik bersama dengan pentingnya perbedaan tersebut untuk eksistensi dunia, untuk masyarakat sipil, politik dan ekonomi. Dipandang dari sudut pandang politisasi palsu, maka dunia mereka menjadi dunia asing yang tidak dapat saling mengerti, sedangkan mereka yang berminat terhadap saling pengertian menghindari tematisasi perbedaan agar tidak memunculkan demagogi.

Oleh karena itu, saat ini terdapat banyak kesempatan politisasi budaya untuk menjadi sebuah proses berkelanjutan. Mereka yang berupaya mengejarnya dari dalam dan mereka yang berusaha dari luar pada akhirnya saling memberikan bantuan dengan tidak sengaja. Penjelasan dan ramalan mereka saling memberikan dukungan secara menyesatkan, sedangkan energi mereka saling memberikan kekuatan. Ketidakjujuran dari kedua pihak dapat dibuka melalui sebuah pandangan tak terbias dan jujur terhadap dimensi, keluasan, akibat dan implikasi perbedaan budaya yang jujur.

4. Fundamentalisme: Fenomena Dunia

Fundamentalisme adalah sebuah ideologi politik abad ke-20 yang merekrut anggotanya berdasarkan kebersamaan karakteristik ethnik-agamanya. Dengan mengkombinasikan elemen-elemen zaman modern dengan cara pragmatis dengan aspek-aspek yang diambil dari pandangan dogmatis dari tradisi-tradisi pra moderen, maka fundamentalisme berupaya untuk menyerang struktur dasar dan konsekuensi budaya era moderen yang tidak sesuai dengannya, bahkan dengan cara menggunakan perangkat modern dan dengan cara yang modern. Fundamentalisme mencerminkan diri sebagai ideologi politik yang memiliki sebagian besar etika agama dan sebagian kecil etika sekuler ideologis sebagai jawaban politik absolut terhadap krisis modernisasi. Selain itu ia berusaha untuk membuat ikatan etik terhadap lingkungan masyarakat baik secara menyeluruh maupun dalam bentuk masalah fundamental yang diberikan simbolisme untuk melawan etika-etika alternatif dan institusi-institusi politik dalam masyarakat moderen.

Dengan cara demikian fundamentalisme menyatakan diri dapat memberikan penjelasan mengapa krisis terjadi dan menunjukan jalan keluarnya, dengan menyatakan akan tercapai keberhasilan yang pasti atas dasar kepastian absolut. Moralitas kolektif dimana semua orang hidup dalam komunitas politik akan dapat terlaksana, jika setiap individu menyatakan kebebasan tempat bagi masing-masing sistem etika atau agama, orientasi atau konsep hidup. Hal ini mendapat penggusuran dalam fundamentalisme dengan penerapan salah satu model etika yang bersaing dalam keteraturan dan kehidupan. Dari perspektif ini, gaya peradaban fundamentalisme pada dasarnya adalah penolakan untuk menghormati perbedaan budaya dengan adil, damai, dan pikiran terbuka. Budaya diperlakukan sebagai alat untuk memberikan kekuasaan kepada yang lainnya.Ini membuat sebuah struktur kebersamaan mendalam dalam “impuls fundemantalis”, walaupun perbedaan formal dan isi telah timbul diantara ideologi-ideologi fundamentalisme dalam semua peradaban dunia sejak ideologi-ideologi ini mendapat pengaruh budaya zaman moderen.

Struktur khas dan ideal ini dan bukan isi budaya tertentu yang membedakan fundamentalisme dengan gaya peradaban lainnya. Hal ini jugalah yang membuat fundamentalisme yang beranekaragam saat ini menjadi mirip satu dengan lainya, walaupun dengan gaya budaya masing-masing. Penemuan ini adalah hasil penelitian empiris tentang perbandingan antar budaya.Dengan demikian, baik dalam teori maupun dalam prakteknya, fundamentalisme terbukti merupakan sebuah bentuk spesifik penentangan modernisme budaya. Karena dalam semua bentuknya, intinya ditujukan untuk melawan keterbukaan yang pada hakekatnya merupakan inti dari budaya moderen. Di dalam setiap manifestasi khususnya, fundamentalisme terlihat beranekaragam seperti dinamika modernisasi dalam berbagai peradaban di mana fundamentalisme menampilkan dirinya. Karena alasan ini, peneliti fundamentalisme Amerika Martin. E. Marty menyarankan dalam sebuah rangkuman proyek riset antar budaya basis lebar yang dipimpinnya, agar fundamentalisme dimengerti sebagai sebuah pengertian kolektif “shared commonalities”, sebuah pengertian keluarga yang dikembangkan oleh Wittgenstein.

Dalam pemikiran dan tindakannya, semua bentuk fundamentalisme memiliki beberapa persamaan karakteristik, walaupun tidak semuanya memperlihatkan tepat yang sama. Walaupun demikian, dalam hal “keluarga fundamentalisme” dapat diperhatikan bahwa semua anggota memiliki atribut-atribut yang tertanam mendalam dalam bentuk yang dapat dimengerti dan jelas. Dengan demikian, walaupun perbedaan digunakan dalam menjelasan dan menilai setiap jenis fundamentalisme, baik dari segi sosial budaya dari mana ia muncul maupun dari segi bentuk, cara bertindak dan tujuan, masing-masing dengan caranya sendiri-sendiri mengandung “impuls fundamental yang ideal-typical”. Dengan demikian fundamentalisme membentuk sebuah ideologi politik yang lain dari pada yang lain dan gerakan dalam zaman modern dalam abad ke-20. Ia menggunakan perangkat teknis dan organisatoris yang dihasilkan oleh zaman modern untuk menyerang pondasi budaya lawannya.

Proses modernisasi mengakibatkan sistem-sistem budaya, sosial dan politik dalam masyarakat terbuka terhadap interprestasi, tata susun, gaya hidup dan perjalanan pembangunan alternatif. Dalam masyarakat barat proses ini digerakan oleh dinamika internal sendiri; dalam banyak masyarakat berkembang proses dirangsang oleh pengaruh luar, walaupun hampir tidak pernah tanpa unsur modernisasi yang berasal dari dinamika masyarakat itu sendiri. Modernisasi membutuhkan kepastian tradisi yang perlu dipertanyakan melalui kritik dan pertimbangan alternatif; sesungguhnya kemampuan meresap alternatif menjadi sangat fundamental terhadap semua bagian pemikiran dan tindakan. Tata aturan publik harus melalui sebuah perubahan fundamental agar dapat mencapai kapasitas untuk dapat mengatur komunikasi dan kebebasan sistem bersaing dalam orientasi, dengan demikian memungkinkan integrasi sosial secara menyeluruh. Tata aturan harus belajar untuk dapat mengatur produktivitas dengan perbedaan dan mengatur interaksi-interaksi secara permanen.

Dengan berpegang pada prasyarat kebebasan dan hak menentukan diri sendiri, pembukaaan dalam masyarakat pada saat yang sama dengan tidak sengaja menciptakan kejadian sejarah yang tidak pernah terjadi yaitu resiko kehilangan orientasi dan erosi arti kepada individu dan kelompok. Baik kepada individu maupun masyarakat kini tersedia kesempatan besar untuk pengembangan hak penentuan sendiri, tetapi tanpa jaminan keberhasilan dalam membentuk sebuah identitas imdividu dan kollektif secara memuaskan. Dengan alasan ini tradisi dengan orientasinya, kemungkinan identifikasi dan keyakinan status senantiasa berada di bawah pertimbangan kondisi-kondisi moderen, tidak pernah sekaligus keseluruhan eksistensi tradisi, tetapi secara esensial satu per satu, dan tidak lebih dahulu dari tantangan perkembangan sosial. Tradisi tidak lagi berlaku per se, tetapi hanya dalam proporsi kekuasaan untuk meyakinkan para lawanya pada setiap saat.

Di bawah prasyarat ini, perkembangan dan upaya mempertahankan identitas individu dan kolektif menjadi tantangan yang tiada henti-hentinya.Sebagai sebuah ideologi politik dan gerakan, fundamentalisme merupakan sebuah upaya untuk membalikkan proses modernisasi keterbukaan dan ketidakpastian, Apakah fundamentalisme, menumbangkan modernitas secara menyeluruh atau hanya yakin pada keyakinan utamanya, sikap mendasar fundamentalisme adalah senantiasa memaksakan pandangan dunianya, etikanya, gaya hidupnya dan bentuk bentuk organisasi sosialnya kepada orang lain, dan untuk menyisihkan orientasi-orientasi lainnya. Sebagai produk zaman modern, fundamentalisme mencari upaya untuk mengatasi ketidakpastian dan keterbukaan dengan cara memilih satu alternatif diantara tradisi-tradisi yang sempit atau kebiasaan yang diterima tanpa kritik menjadi hal yang absolut.

Orang-orang fundamentalis dengan demikian bermaksud untuk melanjutkan sistem berpikir dan tindakan yang tertutup berdasarkan hal absolut tersebut – sistem yang secara sintetis menyisihkan perbedaan, keraguan dan alternatif – untuk menggantikan keterbukaan moderen. Dengan demikian, mereka memperbaharui dukungan dan jaminan keamanan, keyakinan akan orientasi, identitas yang mantap dan kebenaran, dengan cara membuat keyakinan ini bersifat mengikat bagi setiap orang dengan cara yang sama dan meletakkan mereka di luar lingkup perubahan-perubahan yang mungkin terjadi di masa mendatang. Terakar dalam tawaran ini untuk individu dan kelompok yang belum yakin adalah prasyarat dan motivasi psiko-sosial yang memungkinkan dilakukannya instrumentalisasi politis perbedaan budaya agar dapat berhasil dalam skala besar. Jadi selalu terdapat dua sisi instrumentalisasi perbedaan budaya untuk kepentingan politik: perhitungan pelaku instrumentalisasi dan motivasi-motivasi mereka yang diinstrumentalisasikan, dimana keduanya harus sesuai satu dengan yang lainnya.

Pengimunisasian fondasi dari keraguan dilakukan fundamentalisme moderen dalam bentuk-bentuk militannya sebagai legitimasi intelektual, agama dan tuntutan politik terhadap kekuasaan, serta supremasi terhadap mereka yang berbeda. Sistem iman tertutup dan tata aturan bentuk seorang fundamentalis mencerminkan kembalinya absolut dalam politik hingga pada keadaan dimana mereka merampas peranan publik dan mematikan kritik, semua alternatif, keraguan dan dialog terbuka mengenai tuntutan diantara mereka yang setara. Apa yang umumnya terjadi selanjutnya adalah pengabaian total (atau kadang-kadang dalam peradaban demokrasi yang telah berkembang hanya secara selektif) terhadap hak azasi manusia, pluralisme, toleransi, hukum dan prinsip mayoritas demokratis atas nama kebenaran absolut, kepada siapa para fundamentalis percaya mereka memiliki komitmen penuh.

Sebagai fenomena, fundamentalisme telah ada sejak dimulainya modernisasi budaya sebagai impuls penentangnya. Istilah itu sendiri muncul untuk pertama kali dalam kaitannya dengan rangkaian publikasi dengan judul “The Fundamentals” antara 1910 dan 1915 di Amerika Serikat.

Rangkaian ini juga memegang judul terpandang “A Testimony to Truth”. Pada tahun 1919 kaum Kristen Protestan yang mempublikasikan rangkaian ini mendirikan sebuah organisasi sedunia yang bernama “World’s Christian Fundamentals Association”. Dengan demikin, istilah “Fundamentalisme” menjadi semacam keyakinan Kristen dengan dapat menempatkan diri untuk keperluan umum dan akademik. Selanjutnya, istilah ini juga digunakan untuk merujuk kepada ideologi dan gerakan lainya, awalnya dalam Katholikisme dan berikutnya dalam lingkungan budaya lainya yang memiliki karakteristik yang sama.Ada empat dasar yang memberikan karakter gerakan fundamentalis awal yang memberikan nama pada fenomena ini:

(1) Penggunaan tidak tepat atas keseluruhan isi Alkitab. (2) Pernyataan bahwa semua teologi, agama, dan ilmu pengetahuan adalah tidak berlaku, jika bertentangan dengan kata-kata dalam alkitab. (3) Keyakinan bahwa siapa saja yang keluar dari teks Alkitab (sesuai dengan interpretasi kaum fundamentalis) tidak dapat menjadi seorang Kristen yang benar, walaupun dengan yakin menyatakan dirinya demikian, (4) Kemauan yang pasti untuk membatalkan pemisahan moderen atas gereja dan negara, serta agama dan politik demi kepentingan politik, dengan cara menginterpretasikan agama sebagai jalan masing-masing, jika terdapat ketentuan hukum/politik dalam masalah-masalah krusial yang bertentangan dengan etika masing-masing.

Sebuah perbandingan berbagai gerakan fundamentalis dan kerangka berpikir dalam beberapa budaya yang sangat berbeda telah memperlihatkan bahwa walaupun terdapat perbedaan isi dalam bentuk dan pendekatan, fundamentalisme dipimpin oleh “impuls ideal-typical” yang sama di mana-mana. Keanekaragaman budaya dalam perwujudan impuls ideal-typical ini, variasi dalam kesamaan dalam kelompok keluarga ini, menyebar ke semua peradaban di dunia dan dicontohkan dengan baik oleh dua buah gerakan agama dan politik yang berbeda, masing-masing fundamentalisme Kristen di Amerika Serikat dan fundamentalisme Hindu di India. Yang di India tertanam terutama dalam organisasi-organisasi budaya dari Vishwa Hindu Parishad (VHP) dan Rashtriya Sewak Singh (RSS) maupun dalam partai politik Shiv Sena dan Bharatiya Janata (BJP).

Diantara mereka berdua, varian fundamentalisme mencakup perbedaan yang cukup besar dalam kerangka referensi agama, pada tingkat negara berkembang, tempat munculnya hal ini, dan dalam budaya politiknya.Baik pengikut fundamentalis Hindu dan rekannya Protestan menyatakan bahwa mereka adalah satu-satunya juru bicara yang paling sah dari agama mereka masing-masing. Kedua-duanya membenarkan intervensi mereka dalam politik dengan cara mengutuk hak-hak khusus dan konsensus budaya mayoritas yang menurut mereka telah melenceng dari fondasi agama sebenarnya di dalam budaya yang didasarkan pada agama, di mana agama dianggap berlaku abadi pada masing-masing negara. Gerakan fundamentalisme Protestan di Amerika Serikat menuntut haknya untuk menentang keputusan mayoritas demokrasi dan keputusan pengadilan dalam hal legalisasi aborsi dan larangan doa dalam sekolah.

Fundamentalis Hindu menyatakan perlawanan yang serupa untuk pertama kalinya ketika terjadi pembangunan kembali pura Hindu tua Ayodhya pada lokasi Mesjid abad ke-17 yang harus dibongkar untuk tujuan tersebut. Pada saat yang sama mereka juga mengumumkan maksud mereka untuk memulai gerakan-gerakan lebih lanjut dengan tujuan yang sama.Dengan mengungkapkan sebuah hak istimewa yang lebih tinggi yang didasarkan pada kebenaran agama, mereka membenarkan tuntutan agar etika yang berlaku dalam kelompok mereka ditingkatkan menjadi suatu moralitas yang mengikat dalam masalah-masalah utama dalam kehidupan normal. Mereka juga menuntut agar dogma mereka dipaksakan dengan cara apapun, termasuk pelanggaran hak-hak dasar orang lain dan pengecualian terhadap ketentuan pengambilan keputusan demokratis, jika diperlukan. Kedua kelompok tersebut sama-sama berkeyakinan penuh bahwa mereka dapat menjaga identitas mereka yang superior dan mengikat dalam masyarakat dengan cara memastikan bahwa kebenaran agama yang tunggal diturunkan dengan cara yang tidak bisa dipertanyakan. Dalam konteks ini, interpretasi lain dalam agama yang sama atau weltanschauung (Idiologi) dalam negara masing-masing dianggap oleh kedua kelompok sebagai hal yang menyesatkan.

Jika tulisan Alkitab dianggap sakral oleh fundamentalis Protestan di Amerika Serikat, sebaliknya kaum Hindu tidak memiliki teks tertulis yang mengikat bagi semua, bahkan dogma yang dengan jelas disebutkan bagi pengikutnya juga tidak ada. Dengan keadaan ini, fundamentalis Hindu tidak berupaya untuk mensucikan teks atau mengeluarkan sebuah hukum Hindu untuk keperluan itu. Untuk memilah antara kawan dengan lawan, pemeluk orthodoks dan yang bukan, mereka kembali kepada kejadian-kejadian simbolik yang direkam oleh tradisi, menginterpretasikannya secara dogmatis untuk melihat kejadian mana yang melambangkan tindakan-tindakan masa sekarang.Fundamentalis protestan di Amerika Serikat menggunakan produk-produk tercanggih teknologi komunikasi moderen, mulai dari televisi swasta sampai pada direct mailing untuk dapat menyebarkan pesan mereka.

Fundamentalis Hindu, di sisi lain, hingga kini tetap bertahan dengan cara komunikasi pra-moderen seperti prosesi simbolik dari kampung ke kampung atau pertemuan masa di desa dan kota, semua cara ini adalah sangat efektif dalam konteks budaya kegiatan mereka. Fundamentalis Protestan di Amerika Serikat dengan pendapat bersatu mempengaruhi program-program dan seleksi kandidat-kandidat berbagai partai yang ada dengan skala yang demikian besar, agar dapat mengambil bagian dalam kekuasaan politik, tanpa berupaya sendiri untuk mendirikan sebuah partai. Fundamentalis Hindu di India, disisi lain, memiliki dua buah partai, masing masing Shiv Sena dan BJP. Kedua partai tersebut mendapatkan kemenangan dalam masing-masing negara bagian, bahkan BJP di pusat melalui kemenangan elektoral.

Di kedua negara tersebut, kaum fundamentalis mempertahan-kan klaimnya akan kepastian pendapatnya dan berhadapan dengan kelompok-kelompok yang jumlahnya jauh lebih besar yang juga menginterpretasikan agama dan tradisi budaya yang sama dengan cara liberal atau orthodoks dan memiliki pandangan lain mengenai kehidupan bersama. Selain itu, klaim ini juga harus dipertahankan terhadap kelompok-kelompok perwakilan agama lain. Di India, upaya-upaya kaum fundamentalis terutama ditujukan kepada agama-agama lain; di Amerika Serikat agama lain sebagian ditentang, sebagian diabaikan.Oleh karena itu fundamentalisme selalu merupakan bentuk komunikasi yang terdistorsi secara sistematis. Komunikasi simetris, yaitu dialog terbuka antara mitra yang sejajar dengan asumsi bahwa orang-orang yang dianggap oleh peserta sebagai orang yang sama-sama bertanggung jawab berupaya melakukan pertemuan antar pikiran dengan pandangan, kepentingan, konsep, interpretasi tradisi, signifikansi teks, dan elemen dalam tradisi yang berbeda-beda. Dalam hal demikian semua pihak menyetujui bahwa tidak ada diantara mereka yang memiliki akses atas pengetahuan yang tidak dapat dibantah karena mereka yang memiliki akses tersebut mempunyai kewenangan apriori untuk berbicara atas nama yang lainya.

Prinsip-prinsip dialog, hak azasi manusia dan demokrasi di satu sisi sangat sesuai dengan berbagai tuntutan kebenaran yang berperilaku dalam sebuah cara yang saling menunjang, tetapi di lain sisi tidak sesuai dengan tuntutan kepastian yang disahkan oleh satu pihak atas nama pihak-pihak lainya.Fundamentalisme dapat berkembang menjadi “totalitarisme”, tetapi hal ini tidak selalu terjadi pada setiap kasus. Fundamentalisme lebih bersifat sebuah ideologi politik baru dalam zaman moderen yang menerima dorongan saat terjadinya krisis. Seperti yang telah diperlihatkan dalam analisa empiris komparatif, fundamentalisme tidak terdiri atas esensi aktual dari peradaban dunia manapun melainkan sebuah gaya peradaban khusus, yang menginterpretasikan tradisi khusus dari masing-masing peradaban yang bersaing dengan gaya lainya dalam peradaban yang sama dan menjadikan ini semua dalam sebuah praktek khusus.

Berbicara mengenai penampilan manusia dan lingkungan sosial yang ingin dibentuk, fundamentalisme adalah sebuah mania identitas moderen yang harus merendahkan derajat, menundukkan atau mengusir identitas-identitas lain yang ada di dalam diri manusia itu sendiri dan dalam lingkungan hidupnya agar tercapai keyakinan akan identitas dirinya.

5. Bahasa Analisa Empiris

Teori Huntington mengenai perbenturan peradaban yang tidak dapat dihindarkan didasarkan pada asumsi bahwa saling pengertian yang murni atau kehidupan bersama antara buaya-budaya pada hakekatnya adalah hal yang tidak mungkin disebabkan adanya nilai-nilai dasar sosio-politik yang bertentangan dalam struktur pusatnya. Asumsi ini bukan hanya terbantah oleh banyak kasus penelitian empiris mengenai hadirnya eksistensi dan dialog antar budaya, seperti Parlemen Agama Sedunia (Chicago 1993) dengan deklarasinya “Towards Global Ethics”. Bahkan dengan sangat meyakinkan dipalsukan oleh penelitian empiris dalam distribusi nilai-nilai sosio-politik dalam masyarakat yang berasal dari berbagai budaya. Jika dilihat dari, contohnya, dukungan luas yang diberikan kepada nilai-nilai dasar sosio-politik seperti individualisme vs. kolektifisme, keadilan vs. ketidakadilan, penghindaran ketidakpastian vs. toleransi ketidakpastian, yang sangat relefan sebagai anggota sebuah struktur sosio-politik bersama, maka Portugal dan Turki, walaupun tidak tergabung dalam tradisi budaya yang sama, menunjukkan profil yang sama, yaitu penilaian yang sama rendah terhadap individualisme, penerimaan yang tinggi terhadap ketidakadilan, dan banyaknya kejadian penghindaran ketidakpastian.

Sebaliknya, Portugal dan Inggris Raya, walaupun tergabung dalam tradisi budaya yang sama, menunjukkan suatu perbedaan maksimal dalam setiap nilai sosio-politik. Data penelitian menunjukan bahwa di masing-masing budaya dan antar budaya yang berbeda terdapat perbedaan yang sama tinggi. Semua budaya yang ada saat ini sudah sangat jauh dari bentuk kesatuan yang homogen: Budaya-budaya dunia sekarang tidak lagi dibedakan oleh batas-batas yang jelas dalam keabsahan nilai-nilai dasar inti yang merupakan dasar hidup bersama. Adalah sangat benar bahwa masing-masing budaya sampai batas tertentu dikarakterisasikan oleh perhatian khusus yang diberikannya kepada nilai politik dasar seperti individualisme, persamaan hak, keinginan untuk lebih banyak atau sedikit, dan petentuan kehidupan social, dan sebagainya.Tetapi pada saat yang bersamaan terdapat sebuah overlapping yang besar dalam hal profil nilai dasar relevan yang utuh antara semua budaya yang ada saat ini.

Pengalaman sejarah masing-masing negara dan tingkatan perkembangan sosio-ekonomi secara menyeluruh mereka ternyata memberikan dampak yang lebih besar terhadap masing-masing profil nilai dibandingkan akar-akar agama-kultural. Perbedaan budaya tidak berfungsi sebagai hambatan terhadap kesamaan dan bertumpang tindih pada profil nilai. Kesamaan budaya, di lain pihak, tidak memberikan jaminan adanya kesamaan atau tumpang tindih pada profil nilai. Hanya untuk memberikan dua buah contoh: dalam hal nilai politis individualisme, kesamaan hak dan penghindaran ketidak-pastian, Portugal dan Inggris Raya yang tergabung dalam peradaban yang sama, menemukan diri masing-masing pada sisi yang bertentangan dalam skala, sedangkan di lain pihak Portugal dan Turki yang berbeda peradaban, memiliki profil nilai yang sama.Dengan demikian, data empiris sama sekali tidak memvalidasi ideologi perbenturan peradaban atas dasar perbedaan nilai-nilai dasar sosial politik yang tidak mungkin disatukan. Sebaliknya, kesamaan dan ketumpangtindihan dapat diidentifi-kasikan dalam semua budaya yang disurvei.

Perselisihan justru terjadi di dalam peradaban-peradaban tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil usaha pencapaian sebuah pengertian bersama dalam hal nilai hidup bersama yang baru-baru ini dibuat oleh semua wakil agama yang relevan saat kini, seperti yang tertuang dalam “Declaration of World Ethos”: dimana tercantum hak setiap individu untuk mendapatkan perlakuan manusiawi, prinsip kebebasan dari kekerasan dan menghormati hidup, solidaritas antar manusia di seluruh dunia dan advokasi sebuah tata ekonomi sedunia yang adil, toleransi terhadap agama, pendapat, dan budaya lain, hak perlakuan yang sama bagi semua orang dan kemitraan yang didasarkan pada kesamaan hak antara pria dan wanita. Dari sini terlihat bahwa ada sebuah dasar yang sama untuk saling pengertian dan ko-eksistensi dalam semua peradaban dunia.Hasil survey empiris ini sangat informatif, jika pasangan negara dengan pertemuan maximal profil nilai dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki perbedaan maximal dalam profil nilai. Secara transkultural, terdapat 48 negara yang menunjukan kesaman profil nilai, sedangkan secara intrakultural hanya 43 negara.

Pasangan-pasangan negara selanjutnya menunjukan kesamaan tertinggi dalam profil nilai dasar dengan semua 5 nilai dasar dipertimbangkan, data yang disediakan juga berguna untuk orientasi jangka panjang: Malaysia/Filipina. Indonesia/Afrika Barat, Afrika Timur/ Thailand, Afrika Timur/Taiwan, Negara-Negara Arab/Mexico, Pakistan/Peru, Brazil/Turki, Korea Selatan/Peru/ ElSalvador/ Chile/Yugoslavia, Portugal/Uruguay, Argentina/Spanyol, Portugal/Turki, Portugal/Korea Selatan.Temuan ini sangat jelas: terdapat kecocokan profil nilai yang sama banyaknya antar negara dengan afiliasi budaya yang sama dengan negara yang memiliki afiliasi budaya berbeda. Beberapa negara dengan profil nilai yang mirip, termasuk dalam kelompok budaya yang sama sekali lain, tetapi mereka mempunyai tingkat sosio-ekonomi yang hampir sama.

Atas dasar data yang terkumpul mengenai pasangan negara dengan profil nilai dasar yang sangat berbeda digabung dengan kelompok budaya terkait, negara berikut ini hampir tidak memiliki kesamaan dalam beberapa segmen nilai dasar dan memiliki perbedaan yang jauh dalam hal jumlah semua nilai dasar. Dalam peradaban barat pasangan-pasangan negara berikut ini dapat didentifikasi: Yunani/Denmark, Portugal/Denmark, Portugal/Irlandia, Portugal/Inggris Raya; Dalam dunia Kong Hu Cu: Korea Selatan/Singapur; dalam Islam: Malaysia/Turki; Dalam Amerika Latin: Guatemala/ Argentina, Kosta Rika/Ekuador, dan lain-lain.

Dengan demikian nilai dasar yang ditentukan menunjukan beberapa karakteristik data rata-rata beberapa kelompok budaya, tetapi yang lebih signifikan adalah keheterogenan antar-budaya di satu sisi dan sebuah kesesuaian yang ekstensif, di lain sisi, pada profil nilai negara-negara yang memiliki budaya yang sangat berbeda. Atas dasar data tersebut, maka secara logis dapat diambil beberapa kesimpulan hati-hati, tetapi jelas dan memiliki dasar yang kuat:Budaya-budaya dunia ini sama sekali tidak dibedakan oleh perbedaan tajam atau yang jelas batas-batasnya dalam validitas nilai-nilai dasar inti.

Adalah sungguh benar bahwa masing-masing budaya dikarakteristikan oleh penilaian khusus terhadap satu atau dua nilai dasar, tetapi pada saat yang bersamaan terdapat juga tumpang tindih dengan nilai dasar lainnya. Bahkan di tempat-tempat yang terdapat keyakinan akan adanya perbedaan karakteristik pada beberapa nilai dasar antar-budaya, perbedaan-perbedaan tersebut sangatlah terbatas dalam perbandingan. Walaupun penekanan budaya dapat diobservasikan dalam temuan rata-rata dalam hal beberapa nilai dasar, perbedaan yang timbul adalah sangat sempit dalam perbandingan.Beberapa negara dengan perbedaan profil nilai yang jelas tergabung dalam kelompok budaya yang sama, sedangkan negara-negara lain dengan kesamaan yang terbesar tergabung dalam budaya-budaya yang sangat berbeda. Pengalaman negara-negara dan tingkat perkembangan sosio-ekonomi secara menyeluruh mereka, dengan jelas memberikan dampak pada masing-masing profil nilai dibandingkan akar-akar agama-budaya. Perbedaan budaya tidak menjadi hambatan bagi kesamaan dan meberikan tumpang tindih pada profil nilai.

Kesamaan budaya, di pihak lain, sama sekali bukan sebuah jaminan adanya kesamaan dan tumpang tindih dalam profil nilai.Dengan demikian data empiris sama sekali tidak memvalidasikan ideologi perbenturan budaya atas dasar perbedaan diantara nilai sosial dasar yang tak dapat disatukan. Bahkan kesamaan dan tumpang tindih dapat diidentifikasikan dalam semua budaya yang disurvei. Garis-garis konflik justru berada di dalam peradaban itu sendiri.

6. Istrumentalisasi Politik terhadap Perbedaan Budaya

Politisasi perbedaan budaya terjadi baik di dalam maupun dari luar. Dari dalam mewakili strategi fundamentalisme yang berupaya meyakinkan kita bahwa kejahatan yang timbul di dunia hanya dapat disembuhkan, jika tuntutan kepastian yang dipegang oleh pemimpin-pemimpin fundamental dalam masing-masing kasus, dapat berlangsung tanpa ketakutan akan kontradiksi. Dari luar mewakili strategi dari pihak luar seperti Huntington yang tanpa menjadi fundamentalis sendiri, membuka jalan untuk tindakan fundamentalisme dengan mengungkapkan pernyataan bahwa peradaban yang sudah menyebar di dunia pada hakekat bersifat fundamental.

Bahkan orang non-fundamentalis juga harus membayar dengan uang yang sama, jika mereka tidak mau membahayakan kekuasaan untuk menuntut yang mereka miliki dalam perbenturan peradaban global yang diasumsikan. Fundamentalisme adalah sebuah ideologi abad ke-20 yang merekrut anggotanya atas dasar kesamaan karakteristik ethnis dan agama. Pengalaman penghinaan, penderitaan, keputusasaan, atau kurangnya pengakuan memberikan kontribusi besar pada kesuksesan politisnya. Dengan menggabungan elemen zaman moderen secara pragmatis dualis dengan aspek-aspek dogma yang berasal dari tradisi zaman pra-moderen, fundamentalisme berupaya untuk menyerang struktur dasar dan konsekuensi budaya yang tidak toleran dalam era moderen -yang tidak mendapat dukungan- dengan menggunakan perangkat modern dan dengan cara modern.

Fundamentalisme meproyeksikan diri sebagai ideologi politik yang memiliki sebagian besar etika agama dan sebagian kecil etika sekuler-ideologis sebagai jawaban politis absolut terhadap krisis modernisasi.Mania identitas fundamentalis merupakan bagian instrumentalisasi politik terhadap perbedaan budaya, walaupun sering dengan maksud dan penekanan yang berbeda pada kedua pihak. Demikian pula halnya dengan pengikutnya. Hal ini disebabkan mereka mendapatkan identitas melalui pernyataan supremasi terhadap orang lain, pernyataan yang hampir pasti ditegaskan kapanpun diperlukan. Hampir tanpa pengecualian, kepemimpinan fundamentalis diilhami dengan kemauan untuk menggunakan energi pengikut setia yang dimobilisasikan untuk meraih atau mengkonsolidasikan kepentingan politik atau membenarkan perlakuan kekerasan terhadap pihak yang dinyatakan sebagai musuh.

Penelitian sosiologi terperinci terhadap fundamentalis-me Islam di Iran dan fundamentalisme Protestan di Amerika Serikat dengan jelas menunjukan bahwa terutama lingkup tradisional memberikan reaksi terhadap bahaya disintegrasi diri yang diakibatkan oleh modernisasi kota dengan cara mundur ke dalam isolasi fundamentalis. Fundamentalis dalam kedua negara ini memiliki tendensi untuk mencari suaka kepada rekan-rekan yang berpikiran sama dengan tiga alasan. Ada ketakutan dalam diri mereka bahwa pengakuan sosial terhadap kebiasaan hidupnya akan sedikit demi sedikit berkurang; mereka menolak identitas sosial yang telah mereka raih di devaluasikan; atau ada kekuatiran bahwa anak-anak mereka akan memeluk gaya hidup modern dan terbuka. Pilihan terhadap gaya hidup terbuka akan memberikan ancaman terhadap existensi keseluruhan mereka sebagai komunitas yang terpisah.Impuls fundementalis dapat tumbuh dengan baik di mana terjadi penurunan harkat sosio-kultural secara tak terduga yang dikombinasikan dengan pengalaman atau ancaman penurunan mobilitas dan ketidakpastian ekonomi.

Krisis ganda budaya-ekonomi jenis seperti ini akan memberikan lahan yang subur bagi pertumbuhan cepat fundamentalisme. Contoh yang paling baik adalah nasional-sosialisme Jerman dengan semangat luar biasa yang dipegangnya dengan latar belakang keruntuhan budaya, perpecahan dengan krisis tradisi dan ekonomi. Contoh lainnya adalah fundamentalisme Islam di Iran yang muncul dari modernisasi yang dipaksakan dari atas digabung dengan sikap resmi yang melecehkan identitas tradisional sosial-budaya. Aljazair saat ini menunjukkan adanya peningkatan dramatis dalam perasaan bahwa masa depan tidak memberikan prospek, jika elit kepemimpinan politik membuktikan dirinya korupsi dan tidak mampu bereformasi.

Fundamentalisme dengan daya tarik bagi massa bekerja melalui organisasi yang berpengaruh, pemimpin yang karismatik, teknik komunikasi yang efektif dan slogan-slogan populer yang digabungkan dengan penjelasan superfisial mengenai keadaan saat ini dengan janji-janji politik akan mengatasinya. Kredibilitas tawaran yang diberikan dalam banyak kasus didukung oleh fakta bahwa organisasi-organisasi fundamental memberikan bantuan praktis pada lingkungan kelompok yang diminati.Semua contoh ini menunjukan bahwa pemimpin-pemimpin fundamentalis beserta organisasi-organisasi mereka seringkali bersikap santai dalam waktu jangka panjang tanpa ada respons besar hingga saatnya datang sebuah krisis. Seperti yang diamati oleh Gilles Keppel, bukanlah sebuah kebetulan bahwa fundamentalisme telah mendapatkan pengaruh dan daya tarik di seluruh dunia sejak pertengahan tahun tujuh puluhan.

Masa ini menentukan titik dimana krisis dalam model budaya pada zaman modern, khususnya dalam alternatif Marxisme, bertepatan dengan manifes stagnasi sosio-ekonomi dan pengalaman pertumbuhan ketidaksamaan sebagai akibat globalisasi. Pengalaman krisis sesungguhnya, janji perkembangan yang tidak dipenuhi dan ketakutan yang amat sangat akan merasa terancam memberikan dampak-dampak yang berbeda di masing-masing negara, walaupun semua itu dalam ukuran tertentu telah menguatkan fundamentalisme.Tergantung pada kelompok yang terkena imbas dan situasi yang memicu impuls fundamentalis, pengalaman penghinaan budaya atau ketakutan sosio-ekonomi dapat menjadi titik tolak dimana pengalaman krisis budaya, sosial dan ekonomi digabung dengan penyesatan politik dapat menciptakan fundamentalisme. Bahkan dalam hal ini fundamentalisme memperlihatkan banyak unsur.

Dengan demikian, sebuah strategi perlawanan budaya yang murni tidak akan banyak menunjukan keberhasilan, seperti yang dijelaskan di atas bahwa kekuatan fundamentalisme yang datang ke tempat dimana kita tinggal. Pada saat yang sama kita perlu memerangi akibat akibat nyata fundamentalisme dengan kebijakan yang dipercaya untuk menghindari tergiring orang-orang ke dalam pelukannya.

7. Sebuah Risiko Besar untuk Masa Depan Bersama

Sangat jelas bahwa pengalaman sosial dan situasi kehidupanlah, beserta kedekatan pada modernisasi budaya yang ditentukan olehnya, berada pada posisi utama untuk menentukan pendefinisikan cara hidup berbudaya kelompok-kelompok, dalam hal afiliasi pada tradisi agama-budaya. Termasuk dalam pengalaman-pengalaman yang membentuk ini adalah krisis, gejolak dan penyisihan, seperti yang telah diperlihatkan dalam hal fundamentalisme. Akan tetapi, nilai-nilai sosial yang menyangkut cara hidup bersama yang dianut oleh semua budaya yang ada akan membuka tempat bagi ko-eksistensi identitas budaya yang berbeda-beda sebagai cara untuk percaya dan hidup. Namun demikian, saat ini bertentangan dengan kesempatan nyata yang telah diberikan untuk saling mengerti, risiko berubahnya politisasi budaya menjadi sebuah proses mempertahankan diri sangatlah dekat.

Mereka yang berusaha dari dalam dan mereka yang melakukannya dari luar akan bertemu dan saling mendukung, penjelasan dan ramalan mereka bekerjasama secara menyesatkan, dan tenaga mereka saling memberikan kekuatan.Seperti masyarakat dimanapun, munculnya tata global memerlukan nilai-nilai dan norma norma untuk hidup bersama yang umum. Kesamaan mendasar terdapat dalam inti semua budaya, walaupun diucapkan dalam bahasa, simbol dan gambar yang berbeda-beda. Seringkali hal ini sulit terlihat, tetapi perlu ditemukan dan di taruh di tempat yang jelas.

Diperlukan usaha keras untuk mengenal, mengembangkan dan membawa elemen-elemen dalam berbagai budaya tersebut menjadi dekat satu dengan yang lain, sehingga memudahkan terjadinya saling pengertian dan tindakan bersama, khususnya karena selalu muncul dalam bentuk yang berbeda-beda. Ini adalah tantangan yang sesungguhnya setelah 11 September.

Sumber: Sekedar Catatan.


Bahaya Politik Identitas

Oleh DJASÉPUDIN

Kebebasan demokrasi yang cenderung kebablasan amat membahayakan. Selain korban jiwa, keutuhan bangsa dan negara pun jadi taruhan. Apalagi potensi konflik di negeri kita amat pelik. Celakanya, ihwal perbedaan suku bangsa, bahasa, budaya, agama, kepercayaan, ras, ideologi, atau golongan tidak dihadapi sebagai alasan utama guna membangun Indonesia yang adil dan sejahtera.

Politik identitas malah dijadikan dagangan. Isu presiden dari Jawa versus luar Jawa, partai nasionalis vs religius, penghadangan calon perseorangan, atau pengharaman golput pun merupakan isu politik yang terus diulik para elite. Dibukanya sayap keagamaan dan kebangsaan di beberapa partai, belum cukup kuat untuk meredam anak bangsa berbenam dalam perpecahan.

Politik identitas memang ancaman menakutkan saban pemilu dilaksanakan. Padahal Pemilu 2009 merupakan ujian sukses-tidaknya demokrasi sebagai salah satu cara guna mengelola negara. Oleh karena itu, Pemilu 2009 mesti berjalan dengan baik dan benar untuk kepentingan semua pihak.

Sayangnya, cita-cita mewujudkan bangsa dan negara yang lebih baik habis terkikis oleh kepentingan pribadi dan golongan. Bahkan, pasca-Keputusan MK tentang suara terbanyak untuk caleg terpilih, makin menandaskan kepentingan pribadi di atas segala-galanya. Persaingan bukan melulu antarcaleg berbeda partai, antarcaleg di partai yang sama pun potensi perpecahannya makin menganga.

Maka, impian merengkuh kursi legislatif dilakukan dengan pelbagai cara. Akhirnya, strategi politik yang penuh intrik dan cenderung licik dipraktikkan. Biarkan yang lain meradang, yang penting diriku menang. Begitulah mantranya.

Yang namanya kontes, tentu ada yang kalah dan ada yang menang. Karena proses awalnya salah kaprah, hasilnya pun sulit diharapkan. Yang menang membusungkan dada, yang kalah berujung memendam dendam berkepanjangan. Terjadilah tarik-menarik kepentingan dan pergolakan atau kerusuhan sosial tak terelakkan.

Di sinilah Panwaslu-Bawaslu, KPU, MK, serta para penegak konstitusi dan hukum lainnya, dituntut keberanian dan ketegasannya dalam melaksanakan beragam aturan. Para penyelenggara demokrasi tersebut harus jadi wasit yang adil dalam menghadapi para caleg dan partai yang keluar dari rel.

Unsur lain yang bisa memberantas politik identitas adalah para pemuka agama dan masyarakat. Sebab, masyarakat Indonesia lebih patuh pada kiai sepuh ketimbang tunduk kepada aparat pemerintah.

Suku-suku bangsa di nusantara lainnya pun nyaris serupa. Raja, kepala suku, datuk, sesepuh atau tetua, ucap dan tindakannya selalu jadi rujukan. Bahkan rakyat cenderung taklid. Sebab, dalam keyakinan masyarakat tradisional sabda pemimpin merupakan kepanjangan tangan dari titah Tuhan.

Ironisnya, para pemuka masyarakat pun tak lepas dari belenggu intrik para elite. Mereka memanfaatkan tokoh berpengaruh untuk memuluskan ambisi pribadinya.

Setegas dan semahir apa pun para penegak hukum dan konstitusi dalam melaksanakan perannya, secerdik dan selicik apa pun para elite dalam mengelabui para pemuka masyarakat dan agama, tak akan berpengaruh jika masyarakat kita cermat dan cerdas dalam memilih.

Pertanyaannya, sudah secerdas apa rakyat Indonesia dalam menghadapi hajat politik 2009? Masalah kecerdasan, jangankan masyarakat awam, para pelaku politik (caleg) sekalipun, masih terlihat kekanak-kanakan. Terbuki, mereka masih melakukan politik uang, politik diskriminasi, kampanye hitam, mencari kambing hitam, juga menjadikan isu kedaerahan dan kebangsaan sebagai bagian dari memenangi perlombaan.

Jelas, politik identitas ada di antara kita. Lantas, akankah kita larung dalam pusaran yang membahayakan itu?***

Penulis, alumnus Prodi Sastra Sunda Unpad, bergiat di Institut Nalar Jatinangor.

No comments:

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.