Perempuan Juga Punya Hak Politik

Perempuan dalam panggung politik selama ini belum bisa maksimal. Dalam sejarah pemilihan umum, masyarakat Indonesia masih menjadikan perempuan sebagai pilihan kedua untuk menduduki jabatan politik. Hal ini bisa dibuktikan dari data yang ada dalam sejarah politik Indonesia sejak pemilihan pertama tahun 1955.

Pada pemilihan umum pertama tahun 1955 hanya ada 3,8 % perempuan di parlemen Indonesia dan tahun 1960-an ada 6,3 %. Angka tertinggi ada pada periode 1987-1992 yaitu 13 %. Tetapi turun lagi menjadi 12,5 peratus tahun 1992-1997, 10,8 % menjelang Soeharto jatuh, dan hanya 9 % pada periode 1999-2004. Sedangkan pada tahun 2004-2009, hanya ada 11,4 % atau sekitar 63 perempuan saja yang menjadi anggota parlemen (DPR) periode 2004-2009. Padahal jumlah anggota legislatif di Indonesia mencapai 500 orang.Minimnya partisipasi perempuan dalam politik lebih disebabkan adanya keragu-raguan dari perempuan terjun ke dunia politik. Selain itu, ada sebagian perempuan yang berpendapat bahwa politik itu keras dan hanya menjadi urusan laki-laki sehingga perempuan tidak perlu berpolitik. Pandangan tersebut barangkali membuat perempuan tidak mau memasuki dunia politik. Budaya patriarki nampaknya masih melekat pada masyarakat Indonesia.

Sebenarnya perempuan merupakan salah satu kelompok yang banyak diincar oleh parpol, sebab berdasarkan sensus penduduk, jumlah kaum perempuan mencapai 51% dari jumlah penduduk Indonesia. Keterlibatan perempuan dalam politik dengan jumlah yang seimbang dengan laki-laki, memerlukan proses dan perjuangan yang sangat panjang serta semangat tidak kenal menyerah.

Kaum perempuan yang terpasung hak politiknya selama ini bisa bernafas lega ketika pemerintah bersama DPR telah melakukan reformasi dibidang politik. Hal ini terbukti dengan munculnya beberapa paket undang-undang politik yang memberikan harapan besar bagi upaya untuk memaksimal pemberdayaan perempuan.

Salah satu bentuk reformasi tersebut adalah dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, mewajibkan parpol menyertakan 30 % keterwakilan perempuan sebagai pengurus partai sebagaimana tertuang pada pasal 2 ayat (2). Parpol diharapkan mampu meningkatkan partisipasi perempuan dalam berpolitik dengan cara memberikan kesempatan untuk dapat terjun dalam bidang politik dan meningkatkan kualitas serta memberikan pendidikan politik kepada perempuan yang ada di partai politik.

Seharusnya kebijakan kesetaraan gender harus dimplemetasikan para pemimpin parpol dalam penentuan dan pengajuan bakal caleg. Sehingga kuota 30 % dapat terpenuhi dan kesetaraan gender yang digembar-gemborkan tidak hanya sekedar retorika.

Selain itu, kaum perempuan juga harus menangkap peluang tersebut dengan cara lebih memiliki komitmen yang jelas mengenai politik dan memperdalam pengetahuan. Dengan demikian, anggapan selama ini mengenai ketidakmampuannya dapat ditepis, mengingat ada kesan dari masyarakat bahwa perempuan hanya bisa mengurus rumah tangga saja, tambahnya menjelaskan.

Apalagi berdasarkan undang-undang partai politik Nomor 2 tahun 2008, partai politik di Indonesia diwajibkan memberikan 30 % pengurus partai dan calon anggota legislatifnya kepada perempuan. Artinya setiap tiga nama yang didaftarkan menjadi calon anggota parlemen oleh partai politik harus menyertakan satu nama perempuan.

Hal ini sebenarnya merupakan tantangan tersendiri bagi kaum perempuan. Dimana perempuan ditantang untuk mendobrak lobi-lobi politisi laki-laki yang elitis, misalnya dalam pencalonan dan penentuan nomor urut, terlepas dari pertimbangan dan keputusan akan suara terbanyak dalam pemilu mendatang. Belum lagi, budaya politik parpol yang masih cenderung sentralistis dan patriarkat yang membuat caleg perempuan tidak ditempatkan di nomor jadi dan dinominasikan hanya sebagai formalitas tanpa kematangan mekanisme pendidikan dan rekrutmen politik yang memadai demi memenuhi kuota 30% yang diamanatkan undang-undang.

Kuota 30 % itu bisa dipenuhi atau tidak itu tergantung dari perempuan itu sendiri dan partai politik. Politisi perempuan dianjurkan untuk aktif bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) dan aktivis perempuan lainnya agar bersama-sama secara kolektif memperjuangkan hak politiknya. Dukungan dari partai politik juga memiliki signifikansi untuk mencapai quota 30%. Partai politik harus berkomitmen tinggi dalam melakukan perekrutan yang baik sehingga menempatkan jumlah calon anggota parlemen perempuan yang cukup signifikan. Karenanya, adalah tugas bagi perempuan itu sendiri dan juga partai politik untuk meningkatkan partisipasi mereka dalam berpolitik.

Partai politik terutama diharapkan mampu memberikan kesempatan kepada perempuan untuk dapat terjun dalam bidang politik dan meningkatkan kualitas perempuan-perempuan yang ada di partai politik. Partai politik jangan hanya menjadikan perempuan sebagai objek propaganda politik saja tetapi juga diharapkan mampu memberikan pendidikan politik dan menjadikan perempuan sebagai ’subjek’ untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam berpolitik.

Selain itu, peran parpol sebagai salah satu pilar demokrasi yang memiliki fungsi pendidikan dan rekrutmen serta sosialisasi politik juga harus terus ditingkatkan. Hal itu bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk belajar berpolitik praktis dengan memberikan tanggung jawab di posisi-posisi yang strategis (tidak hanya administrasi dan keuangan, meskipun juga merupakan bagian dari keandalan perempuan), tapi juga dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan agar perempuan memiliki kesempatan yang sama dan kontribusi yang signifikan seperti halnya laki-laki.

Akhirnya, selama anggota legislatif masih berasal dari parpol, keterwakilan perempuan dalam politik akan kembali kepada kesungguhan dan political good will dari parpol dan segenap jajaran elitenya. Pesan lain yang perlu digariskan, berapa pun persentase keterwakilan perempuan dalam politik juga harus didasari pertimbangan rasional dan strategis, seperti kapabilitas untuk bersaing dan berkontribusi dalam politik praktis secara signifikan, dukungan basis massa yang jelas, dan pengalaman yang relevan, dan visi serta misi yang sejalan dengan parpol. Hal ini adalah tantangan yang berat bagi perempuan, tapi bukan tidak mungkin untuk diwujudkan. Selama perempuan masih punya nyali untuk berjuang, maka jalan akan senantiasa terbuka lebar.


Sumber: Edi Purwanto.

No comments:

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.