Bila Anda datang ke suatu negeri di mana koran dan televisi hanya dijejali berita-berita baik, maka janganlah ragu bertaruh: pasti banyak orang baik-baik di negeri itu yang dijejalkan ke penjara. Kurang lebih begitulah senator Daniel Moynihan melukiskan pengaruh suatu budaya politik yang represif dengan praktik dan rutinitas profesional para pekerja sektor industri budaya beserta realitas simbolis yang mereka olah menjadi komoditas.
BUKU karya Angela Romano, dosen jurnalisme di Queensland University of Technology, Politics and The Press in Indonesia: Understanding an Evolving Political Culture, RoutledgeCurzon: 2003, pada intinya juga mendiskusikan bagaimana dinamika falsafah dan budaya politik yang dominan di Indonesia (macro-culture), telah menyentuh dan mempengaruhi journalistic culture (yang ia tempatkan sebagai micro-culture), baik yang menyangkut rutinitas praktik jurnalistik ataupun persepsi diri jurnalis-sebagai interpretive communities-tentang profesi mereka.
Dalam bidang kajian media, tesis seputar relasi dominasi-subordinasi antara budaya politik dan media semacam itu memang jauh dari sebuah terobosan. Namun, elaborasi terhadap varian-varian seputar tesis tersebut, dalam suatu konteks budaya spesifik melalui studi ideografis yang tak memuat klaim keberlakuan universal sekalipun, masih tetap memiliki signifikansi akademis, dan juga menjanjikan suatu signifikansi sosial, khususnya sebagai pelajaran bagi upaya penyadaran, pemberdayaan, dan transformasi sosial. Mungkin itu pula signifikansi buku Romano ini, yang didasarkan atas studi dalam konteks spesifik yang ada di Indonesia, khususnya dalam periode Orde Baru yang belum lama berlalu.
Struktur dan agensi
Hampir bisa dipastikan, akan banyak pembaca yang segera menempatkan buku ini dalam konteks kajian kritis relasi kekuasaan antara media dan struktur di mana media berada. Kajian-kajian kritis semacam itu sekurangnya bisa dikategorikan dalam tiga varian. Yang pertama, adalah varian yang cenderung menempatkan agencies (tindakan yang secara nyata dilakukan oleh aktor sosial atau agents) pada posisi lebih dominan dalam suatu struktur atau kultur. Salah satu analisis dalam varian ini dikenal sebagai instrumentalism, yang menempatkan media sebagai instrumen dominasi yang bisa dipergunakan sepenuhnya oleh penguasa politik dan pemilik modal seperti analisis klasik yang dilakukan oleh Herman dan Chomsky dalam Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media, New York: Pantheon Books, 1988.
Sejajar namun berlawanan arah dengan instrumentalism, terdapat pula analisis yang menempatkan para jurnalis sebagai human agents, yang independen dan memiliki otonomi atas kreativitas serta idealisme mereka. Premis kedua varian tersebut seolah mengabaikan fakta bahwa walaupun penguasa dan pemilik modal bisa menjadikan media sebagai instrumen dominasi, ataupun jurnalis bisa menjadikannya sebagai instrumen ekspresi idealisme, bagaimanapun juga media merupakan institusi bisnis yang berorientasi pada akumulasi modal dan beroperasi dalam struktur yang memiliki kaidah dan logika sendiri.
Varian kedua, structuralism, cenderung melihat struktur sebagai totalitas yang solid dan permanen. Para fundamentalis structuralism bahkan menilai produk dari proses pemberitaan, contohnya, secara langsung ditentukan oleh struktur ekonomi industri media. Apa pun juga di antara keduanya, seperti idealisme jurnalis dan ideologi politik pemilik modal adalah elemen yang tidak perlu diamati. Seperti dikemukakan Schudson dalam “The Sociology of news production”. Media, Culture, and Society, Volume 11, No 3; July, 1989: ” …everything in between is a black box that need not be examined “.
Varian ketiga, yang bisa disebut sebagai constructionism, pada intinya melihat adanya interplay atau interaksi timbal balik antara structure dan agencies. Struktur, memang membatasi ruang gerak para aktor sosial. Namun, bagaimanapun struktur adalah konstruksi atau formasi dinamis, yang secara konstan direproduksi dan diubah melalui tindakan para aktor sosial. Hal itu dimungkinkan oleh posisi struktural para aktor sendiri seperti dikemukakan dalam sebuah kajian media oleh Golding dan Murdock, “Culture, Communication, and Political Economy”, dalam Curran, James, dan Michael Gurevitch (Eds), Mass Media and Society, New York: Edward Arnold, 1991. Dalam varian pemikiran constructionism, penentuan mana yang lebih dominan, struktur dan kultur ataukah agencies, ditentukan oleh konteks historis spesifik yang ada seperti dikemukakan George Ritzer dalam Modern Sociological Theory, Fourth edition. New York: McGraw-Hill, 1996.
Dominasi terhadap media, pekerja media, dan konsumen media, dalam analisis ekonomi-politik media pun lebih dikaitkan dengan capitalist mode of production. Karenanya, analisis kelas (class analysis) memegang peran kunci dalam mengamati suatu struktur dominasi. Para fundamentalis strukturalisme, bahkan bersikukuh bahwa konteks makro sosial yang menentukan ruang gerak persepsi dan “ideologi” para jurnalis dalam mengonstruksi teks isi media (superstructure), bukanlah sistem budaya dan semacamnya, melainkan struktur ekonomi, atau tepatnya capitalist mode of production atau base.
Sejumlah analis media dari berbagai komunitas akademik, menolak premis bahwa struktur dominasi beserta praktik-praktik budaya yang terkait dengannya itu bermuara pada sistem produksi kapitalis. Bagi mereka, totalitas sosial dalam analisis hubungan dominasi-subordinasi di sektor media bisa dijelaskan melalui sistem budaya, praktik-praktik budaya, baik budaya dalam pengertian umum ataupun dalam pengertian khusus seperti budaya politik. Karenanya, analisis mereka tentang struktur dominasi juga didasarkan atas analisis gender, ras, budaya, dan berbagai cultural signifiers lainnya. Posisi seperti itulah yang tampaknya dipilih oleh Romano dalam melakukan analisisnya di buku ini.
Namun, kritik semacam itu tampaknya lebih tepat ditujukan kepada para fundamentalis strukturalisme. Sebab, bagi para konstruksionis dalam kubu ekonomi-politik, economic determinism tersebut diartikan secara lebih luwes. Artinya, konteks historis spesifik analisis ekonomi-politik mereka adalah sistem kapitalisme dalam perkembangan yang ada saat ini, di mana institusi media bagaimanapun juga adalah institusi bisnis yang berorientasi pada kepentingan modal. Karenanya, walaupun faktor-faktor budaya dan sebagainya bisa saja turut berperan, pilihan serta ruang gerak yang tersedia bagi media pertama-tama dibatasi, atau lebih didominasi, oleh realitas eksistensi dirinya sebagai institusi bisnis dalam sebuah sistem produksi kapitalis yang memiliki logika, dogma, dan kaidah sendiri.
Budaya politik dominan
Analisis dalam buku Romano secara jelas berupaya menjelaskan pengaruh suatu struktur atau kultur terhadap para jurnalis sebagai human agencies yang terlibat dalam proses produksi di sektor industri media. Tetapi, berbeda dengan pendekatan yang semata-mata mengupas dominasi struktur terhadap agen melalui studi struktur ekonomi makro, Romano memilih untuk memulai analisisnya dengan suatu analisis makro mengenai budaya politik yang dominan, kemudian mengombinasikannya dengan analisis mikro, melalui survei dan metode etnografi guna menggali apa yang dihayati oleh ordinary journalists (bukan figur signifikan atau key informants semacam Goenawan Mohamad atau Mochtar Lubis sebagaimana dilakukan oleh banyak studi terdahulu).
Budaya politik yang dominan tersebut, dalam buku ini tampaknya dilihat sebagai ramuan dinamis antara sejumlah falsafah konservatif, seperti integrasionalisme dan paternalisme. Falsafah integrasionalisme, dalam analisis Romano, merujuk pada pandangan bahwa sistem pengorganisasian negara integralistik merupakan bentuk paling sesuai dengan “karakter nasional yang otentik” dari bangsa Indonesia. Falsafah integralistik semacam itu dapat ditelusuri jejaknya ke ide-ide Supomo, seorang ahli hukum adat, anggota BPUPKI dalam penyusunan naskah Undang-Undang Dasar 1945, dan penganut pemikiran falsafah Hegelian yang reaksioner-konservatif.
Salah satu inti pemikiran faham integralistik melihat negara sebagai suatu kesatuan organik, seperti halnya kesatuan antara anggota-anggota sebuah keluarga. Yang ditekankan adalah kesatuan antara pemimpin dan yang dipimpin. Pemimpinlah yang memegang kedaulatan rakyat yang dipimpinnya karena pemimpin dan yang dipimpin merupakan suatu kesatuan. Salah satu implikasinya, pandangan tersebut pada dasarnya menolak penjaminan atas hak-hak asasi individu karena hal itu akan menciptakan dualisme antara negara dengan individu atau kelompok individu warganegara, dan antara pemimpin dan yang dipimpin. Di samping itu juga akan mengarah pada individualisme yang tidak sesuai dengan asas kekeluargaan.
Pemikiran negara integralistik tersebut dalam pengertiannya yang utuh, berkat usaha sejumlah anggota BPUPKI lainnya, telah tertolak dan terpatahkan di dalam UUD 1945 dengan dilekatkannya asas kedaulatan rakyat seperti dikemukakan Marsilam Simanjuntak dalam Pandangan Negara Integralistik. Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 1997. Namun, menurut Romano pemikiran itulah yang telah banyak mempengaruhi bentuk Undang-undang Dasar 1945 (hal 4). Romano menilai, Pasal 28 UUD 1945 (“Kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan oleh undang-undang”), yang merupakan kompromi antara Supomo dengan anggota BPUPKI lainnya, bila secara kritis dikaji sebenarnya tetap mengabaikan kemerdekaan itu semua sebagai hak rakyat, dan justru memberdayakan penguasa atau pihak yang memiliki kuasa untuk membuat undang-undang.
Tetapi, terlepas dari penilaian tersebut, yang menarik adalah Romano lebih lanjut mengungkapkan bahwa faham integralistik tetap dimanfaatkan oleh para elite penguasa untuk menafsirkan konstitusi dan demokrasi, menggelar praktik-praktik budaya politik, serta mengembangkan sistem politik yang mendominasi keseharian hidup masyarakat dan operasi industri media beserta para pekerjanya.
Falsafah integralistik itu pula yang dimanfaatkan oleh rezim Soeharto untuk melakukan konsolidasi kekuasaan serta membangun rezim authoritarian state-corporatism Orde Baru yang dikemas dalam Demokrasi Pancasila. Ideologi Pancasila yang selama era Soekarno telah diberi konotasi revolusioner, oleh rezim Soeharto juga diberi interpretasi yang menonjolkan faham integralistik. Falsafah integralistik itu pun menunjang ideologi developmentalisme yang dikembangkan Orde Baru. Walaupun para teknokrat Orde Baru belum tentu berminat dengan faham integralistik, elemen-elemen paradigma teori-teori pembangunan dan modernisasi yang mempengaruhi mereka saat itu banyak yang sejalan dengan faham integralistik. Teori-teori Daniel Bell, Seymour Lipset, dan Samuel Huntington, contohnya, cenderung menekankan perlunya suatu pemerintahan dan kepemimpinan yang kuat, bahkan otoriter, untuk membawa suatu negara Dunia Ketiga menempuh proses modernisasi yang penuh gejolak perubahan.
Falsafah integralistik itu jugalah menjadi dasar bagi rezim Orde Baru untuk merumuskan “Pers Pancasila”, yang pada intinya menempatkan pers bukan sebagai entitas yang otonom dan terpisah dari negara, melainkan sebagai bagian dari suatu kesatuan di bawah negara. Dengan konsepsi “Pers Pancasila” itu pula rezim penguasa mendefinisikan peran pers sebagai partner dalam proses pembangunan nasional, ataupun untuk memberi kebebasan pers dengan embel-embel “bertanggung-jawab”. Kesemuanya itu pun diterjemahkan dalam praktik-praktik budaya politik melalui berbagai ketentuan dan perundang-undangan yang secara langsung mempengaruhi praktik keseharian di sektor media, dan juga karakteristik teks isi media yang diproduksi selama era Orde Baru.
Budaya politik yang mempengaruhi sektor industri media bukan hanya budaya politik yang diproduksi dan dipelihara istana belaka, melainkan juga budaya paternalisme (ataupun patriarki) sebagai elemen budaya Jawa yang paling dominan di Tanah Air. Budaya yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi tersebut telah mendorong para jurnalis perempuan ke dalam keharusan menjalankan peran ganda (sebagai jurnalis dan ibu rumah tangga yang harus mengurus dapur dan anak, sesuai dengan “kodrat” mereka) sehingga membatasi gerak mereka dalam pekerjaan jurnalistik. Di lain sisi, kuatnya budaya paternalisitik tersebut menyebabkan profesi jurnalistik seorang perempuan juga bisa membatasi kehidupan pribadinya, seperti kesulitan dalam menemukan suami yang “mau memahami profesi istrinya sebagai wartawan”.
Budaya paternalistik semacam itu juga dimanfaatkan Orde Baru untuk membuat kebijakan gender yang dinilai bisa memperkuat sistem integralistik-developmentalis. Antara lain dengan pembentukan Dharma Wanita, yang secara implisit sebenarnya meletakkan para istri dalam posisi yang harus menomor-satukan karier suami mereka sebagai pegawai negeri.
Budaya politik Orde Baru yang integralistik dinilai Romano sebagai faktor yang telah menghambat kemampuan jurnalis untuk memperoleh akses informasi, khususnya informasi yang berkaitan dengan akuntabilitas penguasa (hal 132). Sebab, dalam kultur integralistik, informasi, khususnya yang secara umum dikategorikan sebagai public information, tidak dinilai sebagai sebagai hal yang secara terbuka bisa diakses publik, melainkan sebagai ranah yang dikuasai oleh negara sebagai penjaga kepentingan publik.
Praktik pewadah tunggalan kelompok profesi, yang menjadi ciri Orde Baru sebagai suatu authoritarian state-corporatism, juga bisa dilihat sebagai praktik yang ditopang premis-premis falsafah integralistik. Jurnalis yang dikategorikan sebagai kelompok profesi, misalnya, hanya bisa dan boleh menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Wadah-wadah alternatif dinilai hanya akan menciptakan kompetisi, perpecahan, dan ancaman bagi harmoni kesatuan organik. Klasifikasi jurnalis sebagai buruh juga dinilai akan menciptakan dualisme antara buruh dan pemilik modal, dan menciptakan konflik kelas antara keduanya. Penolakan Orde Baru untuk mengklasifikasikan kelompok jurnalis sebagai buruh, tetapi sebagai profesional atau karyawan, dinilai Romano konsisten dengan falsafah integralistik yang menolak konsepsi perburuhan kapitalis liberal (hal 77).
Konsekuensinya, para jurnalis tidak bisa membentuk serikat buruh serta dilindungi oleh undang-undang perburuhan yang berlaku. Organisasi PWI yang berdasarkan Kode Etik PWI 1955 berfungsi seperti serikat buruh, selama era Orde Baru menjadi organisasi profesi, yang tidak mempunyai peran melindungi kesejahteraan dan hak-hak para jurnalis sebagai pekerja institusi bisnis di sektor industri media. Argumen untuk membentuk serikat buruh juga semakin dipatahkan oleh ketentuan bahwa setiap media cetak harus memberikan 20 persen sahamnya kepada karyawan media, untuk mereka miliki secara kolektif. Dengan ketentuan tersebut, jurnalis dikategorikan sebagai bagian dari pemilik media, meskipun dalam praktiknya jurnalis tidak bisa menjual dan menginvestasikan saham tersebut, ataupun memiliki suara dalam Dewan Komisaris seperti pemilik saham lainnya.
Resistensi jurnalis
Sistem dan praktik-praktik budaya politik dominan yang diterapkan oleh istana telah demikian mendominasi praktik keseharian industri media dan para pekerjanya. Itu semua tercermin dari berbagai kasus pembredelan, penangkapan atau intimidasi terhadap jurnalis, kebijakan diskriminatif dalam memberikan lisensi, isi pemberitaan yang memaksa masyarakat berkerut-kening untuk bisa memahami apa yang tersirat di balik yang tersurat, ataupun memaksa para jurnalis sendiri untuk mempraktikkan self-censorship.
Namun, itu tidak berarti selama era Orde Baru ruang-ruang redaksi menjadi sepi dari resistensi para jurnalis. Serangkaian usaha untuk membentuk serikat buruh, contohnya, telah dilakukan oleh para jurnalis. Usaha tersebut kandas oleh adanya penolakan yang tidak hanya dilakukan aparatus represif Orde Baru, tetapi juga dari PWI dan pihak manajemen atau pemilik media sendiri. Untuk itu, berbagai bentuk konsekuensi harus diterima oleh para inisiator atau aktivisnya. Perlawanan terbuka terhadap pewadahtunggalan jurnalis juga tercatat dilakukan oleh sekelompok jurnalis yang membentuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan ini pun lahir dari sebuah perlawanan terbuka yang untuk pertama kalinya dilakukan jurnalis kita di era Orde Baru terhadap pembredelan media mereka.
Tampaknya resistensi semacam itu berkaitan dengan temuan Romano yang memperlihatkan penolakan para jurnalis terhadap falsafah dan praktik-praktik budaya politik yang diterapkan istana terhadap mereka. Dari survei yang dilakukan selama 1996-1998 terhadap sejumlah sampel, yang diakui memang tidak representatif dan tidak sepenuhnya ditarik secara random, Romano menemukan hanya segelintir jurnalis yang mempersepsikan fungsi mereka terkait dengan “Pers Pancasila”. Berbeda dengan penguasa yang mendefinisikan pers sebagai “partner pembangunan”, maka mayoritas jurnalis yang diteliti mempersepsikan peran profesional mereka sebagai “watchdog” atau “agent of empowerment” untuk memberdayakan masyarakat dalam posisinya terhadap penguasa.
Penolakan para jurnalis terhadap definisi peran pers yang dipaksakan oleh rezim Orde Baru juga terlihat dari data di mana hampir semua jurnalis yang diteliti menyebutkan bahwa role models mereka adalah jurnalis senior seperti Goenawan Mohammad, Mochtar Lubis, dan Rosihan Anwar, yang kesemuanya pernah menjadi korban tindakan represif penguasa, dan dinilai memiliki kemampuan menjadi watchdog, memiliki integritas, dan berani menentang penguasa.
Dari istana ke pasar
Pergantian rezim, dari Orde Baru ke rezim-rezim berikutnya, secara jelas telah membebaskan ruang-ruang redaksi dan sektor industri media dari dominasi praktik-praktik budaya politik integralistik. Liberalisasi tersebut dengan segera juga mengubah struktur industri media, berbagai tingkah-laku media, karakteristik teks yang diproduksinya, serta relasi kekuasaan antara istana dan pers.
Tetapi, yang juga penting diamati adalah adanya praktik-praktik budaya lama yang masih bertahan hingga ke era reformasi. Meskipun kebijakan pewadahtunggalan jurnalis telah berakhir dan berbagai organisasi jurnalis berdiri, namun penolakan terhadap upaya jurnalis untuk mendirikan serikat buruh masih terus diperlihatkan oleh manajer atau pemilik media. Direktur Grup Jawa Pos, contohnya, mengungkapkan sederet argumen untuk menentang in-house trade unions.
Masih adanya sikap semacam itu, oleh Romano dinilai menunjukkan bahwa falsafah integralistik Orde Baru masih terus mempengaruhi manager media (hal 82). Namun, di situlah masalahnya dengan perspektif yang menonjolkan faktor budaya dalam analisis hubungan struktur-agensi seperti yang dianut buku ini. Pembaca mungkin akan mempertanyakan apakah keberadaan dan bertahannya penolakan terhadap serikat “kuli tinta” dalam suatu organisasi media tersebut benar-benar disebabkan oleh faktor budaya (ideologi) integralistik, ataukah lebih disebabkan oleh tekanan dan pertimbangan kaidah pasar?
Kurang diperhatikannya faktor kekuatan pasar dan fakta bahwa media bagaimanapun juga adalah institusi ekonomi, menyebabkan dinamika interaksi antara pers dengan budaya politik penguasa, ataupun dinamika struktur dominasi penguasa-pers di era Orde Baru, terasa kurang tajam tergambar dalam buku ini. Buku The Press in New Order Indonesia karya David Hill, 1994, contohnya, mengamati bahwa dalam peristiwa pembantaian di Santa Cruz, Dili, 12 November 1991, tekanan persaingan merebut pasar telah turut berperan mendorong munculnya keberanian pers untuk mencari celah-celah pemberitaan di tengah ketatnya kontrol penguasa untuk menjadikan media sebagai intrumen dominasi.
Pemahaman pers sebagai institusi bisnis itu semakin penting mengingat bahwa apa pun budaya politik yang dipraktikkan Orde Baru untuk mendominasi pers, rezim itu sendiri bagaimanapun juga adalah sebuah rezim kapitalis. Karena itu, sejumlah analisis berkepentingan untuk mengamati dinamika struktur dominasi yang ada dengan melihat kontradiksi internal yang terjadi dalam kapitalisme Orde Baru, contohnya dalam buku Media, Culture, and Politics in Indonesia, karya David Hill dan Krishna Sen, 2000; atau Hidayat dkk, dalam Pers Dalam Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Gramedia Pustaka Utama, 2000. Kontradiksi internal tersebut muncul oleh karena di satu sisi, tampil kepentingan untuk melakukan represi politik, dengan menerapkan berbagai praktik budaya politik represif, sementara di sisi lain muncul kepentingan melakukan ekspansi ekonomi yang menjadi sumber legitimasi rezim. Kebutuhan untuk melakukan ekspansi ekonomi itu pula yang telah mendorong Orde Baru untuk lebih mengintegrasikan diri ke dalam tatanan kapitalisme global. Namun, langkah itu pula yang justru semakin membatasi praktik-praktik dominasi Orde Baru, termasuk kontrol terhadap media, dan sekaligus membuatnya lebih rentan terhadap tekanan eksternal. Terlebih lagi kondisi tersebut berlangsung dalam konteks historis spesifik struktur ekonomi global, di mana yang menjadi “fundamental ekonomi” tidak banyak terdiri atas faktor-faktor semacam cadangan devisa, melainkan faktor-faktor yang amat sensitif terhadap pemberitaan media, seperti persepsi para investor portofolio serta kelompok kelas menengah yang mudah panik memborong dollar dan bahan-bahan pokok di supermarket. Dalam konteks historis spesifik semacam itulah jurnalis sebagai human agencies mampu mengatasi dominasi struktur represif Orde Baru.
Pemahaman adanya kontradiksi internal semacam itulah yang akan melengkapi penjelasan tentang bagaimana budaya politik integralistik tersebut akhirnya memudar, ataupun bagaimana kontribusi jurnalis sendiri dalam proses delegitimasi budaya politik Orde Baru. Penjelasan tentang pasang surutnya struktur dominasi seperti itulah yang boleh dikata absen dalam buku ini.
Dedy N Hidayat Pengajar Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi-FISIP-UI
Sumber: Blog Aji.
No comments:
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.