Pemberhentian Bibit-Chandra Langgar UUD

KEBERADAAN Pasal 32 ayat 1 huruf (c) Undang Undang No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai telah mengabaikan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Dengan demikian, pasal itu harus segera dibatalkan karena telah bertentangan dengan UUD 1945.

Hal itu disampaikan oleh saksi ahli Abdul Hakim Garuda Nusantara pada sidang lanjutan uji materi UU KPK terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, kemarin.

"Tidakkah ini bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 32 di UU KPK telah mengedepankan asas praduga bersalah sehingga melanggar Pasal 28D UUD 1945," kata mantan Ketua Komnas HAM itu. Menurut Abdul Hakim, asas praduga tak bersalah sangat jelas dalam konstruksi UUD 1945.

Duduk sebagai pemohon uji materi dua pimpinan nonaktif KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Mereka berdua diberhentikan sementara oleh Presiden lewat Keputusan Presiden No 74/P/2009 yang diterbitkan pada 22 September lalu. Diterangkan Abdul Hakim, asas praduga tak bersalah adalah nilai tertinggi dalam kontrak sosial yang menjadi pembatas antara warga dan negara. Itu dijabarkan dalam bentuk diperbolehkannya negara menuntut warganya, namun negara masih harus menunggu putusan pengadilan jika ingin menghukum warganya.

Pendapat saksi ahli itu didukung oleh pakar pidana UI Rudi Satrio yang juga menjadi saksi ahli di persidangan.
Menurutnya, dalam logika hukum pidana, seseorang tidak boleh diberi sanksi tanpa dinyatakan bersalah terlebih dahulu oleh pengadilan.

"Pemberhentian tetap bermakna sanksi, padahal status terdakwa belum bisa dinyatakan bersalah," ujarnya.

Ia menambahkan, Pasal 32 UU KPK itu juga telah bersifat diskriminatif. Pasalnya, UU lainnya yang mengatur pembentukan lembaga-lembaga negara di luar KPK menyatakan baru akan memberhentikan seorang pejabat lembaga jika sudah dijatuhi vonis yang telah berkekuatan hukum tetap.

Menjawab keterangan saksi ahli itu, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, selaku pihak termohon, mengatakan ketentuan Pasal 32 UU KPK tersebut didasari keinginan untuk menjaga kredibilitas dan integritas pimpinan KPK.

Relevansi rekaman Sementara itu, Ketua MK Mahfud MD yang memimpin sidang tidak memberi komentar apa pun. Mahfud mempersilakan seluruh anggota majelis hakim untuk bertanya dan memberi pendapat guna merespons pendapat para saksi ahli tersebut.

Mahfud juga meminta agar pihak pemohon dan termohon menyampaikan kesimpulannya ke panitera MK paling lambat 11 November. Setelah itu, putusan perkara tersebut akan diputus sepekan kemudian.

Di awal persidangan, Patrialis selaku wakil pemerintah sempat mempertanyakan relevansi diperdengarkannya rekaman penyadapan yang dilakukan KPK di persidangan tersebut, sehari sebelumnya.

"Dalam undang-undang, tak ada larangan. Jadi terserah hakim untuk menghadirkan bukti-bukti. Ketika menguji undang-undang pornografi, kami menghadirkan penari di sini. Begitu juga ketika menguji ketentuan hukuman mati, kami mengundang kiai. Ini bukan yang pertama kali," ujarnya enteng.


Sumber: Media Indonesia.

No comments:

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.