KEADAAN HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK INDONESIA SATU DASA WARSA REFORMASI

Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHS) (International Convention on Civil and Political Rights) telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005. Oleh karena itu produk hukum internasional tersebut telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Dengan demikian, Negara yakni pemerintah terikat untuk menjalankan kewajiban-kewajibannya di bawah KIHS.

Pada sisi yang lain, setiap orang yang tinggal di wilayah dan yurisdiksi Indonesia berhak untuk memperoleh penghormatan dan perlindungan hak-hak asasinya, sebagaimana tertuang dalam KIHS. Penghormatan dan perlindungan ini wajib diberikan oleh Negara, tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran atau status lainnya.

KIHS memuat 24 (dua puluh empat) hak-hak dasar sebagai berikut :
1. Pasal 1 Hak untuk menentukan nasib sendiri.
2. Pasal 3 Persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
3. Pasal 6 Hak untuk hidup.
4. Pasal 7 Hak untuk bebas dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
5. Pasal 8 Hak untuk bebas dari perbudakan, perhambaan dan pekerjaan paksa.
6. Pasal 9 Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi.
7. Pasal 10 Hak atas sistem penahanan yang manusiawi.
8. Pasal 11 Hak atas kebebasan dari pemenjaraan atas dasar ketidakmampuan memenuhi kewajiban kontraktual.
9. Pasal 12 Hak atas kebebasan bergerak dan pilihan tempat tinggal.
10. Pasal 13 Kebebasan orang asing dari pengusiran semena-mena.
11. Pasal 14 Hak atas pemeriksaan adil dan proses hukum yang semestinya.
12. Pasal 15 Hak atas kebebasan dari hukum pidana yang berlaku surut.
13. Pasal 16 Hak atas pengakuan sebagai pribadi di hadapan hukum.
14. Pasal 17 Hak atas kebebasan dan keleluasaan pribadi (privacy).
15. Pasal 18 Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.
16. Pasal 19 Hak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat.
17. Pasal 20 Larangan atas propaganda untuk perang dan hasutan kebencian.
18. Pasal 21 Hak atas perkumpulan damai.
19. Pasal 22 Hak atas kebebasan berserikat.
20. Pasal 23 Hak atas pernikahan dan membentuk keluarga.
21. Pasal 24 Hak-hak anak.
22. Pasal 25 Hak-hak politik.
23. Pasal 26 Hak atas kedudukan yang sama di depan hukum.
24. Pasal 27 Hak-hak minoritas etnis, agama atau bahasa.


Begitu luasnya substansi KIHS sebagaimana tersebut di atas. Ia menyangkut pengakuan, penghormatan, dan perlindungan keutuhan fisik, sukma, dan spiritualitas manusia. Karena itu dalam kesempatan yang terbatas ini saya hanya akan menyoroti sebagian saja dari kondisi Hak-hak Sipil dan Politik (HSP) yang sama-sama telah kita saksikan hampir mendekati satu dasa warsa reformasi, yang bolehlah disebut secara resmi dicanangkan sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaan pada bulan Mei, tahun 1998.

Namun, sebelum menggambarkan kondisi HSP itu, saya terlebih dahulu ingin menguraikan perkembangan pada tataran norma hukum, yaitu pembuatan berbagai undang-undang yang dimaksudkan untuk memberikan penghormatan dan perlindungan beberapa HSP. Pada masa rejim otoriter Orde Baru, selama sepuluh tahun, ada paling tidak 4 (empat) produk hukum yang menunjukkan keperdulian negara pada HSP, yaitu, UU Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No.14 Tahun 1970), UU Hukum Acara Pidana (UU No.8 Tahun 1981), UU Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrikminasi terhadap Perempuan, Keputusan Presiden pengesahan Konvensi Hak Anak. Di luar 4 produk hukum ini, pemerintah otoriter Orde Baru terus memproduksi berbagai UU dan peraturan perundangan yang melanggar HSP, misalnya, UU Pemilu, UU Parpol dan Golkar, UU Kemasyarakatan, Kebijakan Litsus (Penelitian khusus) untuk mengeliminasi orang-orang yang dituduh mempunyai hubungan dengan PKI, dan lain sebagainya, disamping itu pemerintah tetap mempertahankan dan secara intensif dan ekstensif menggunakan UU Anti Subversif, pasal-pasal anti HSP yang termuat dalam KUHP untuk memberangus para aktifis pro-demokrasi.

Sejak reformasi nasional yang resmi di tandai dengan jatuhnya Soeharto pada bulan Mei, tahun 1998, kita menyaksikan lahirnya berbagai produk hukum yang dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi HSP, antara lain, Tap MPR tentang HAM, UU Pers, UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (UU Unjuk rasa), UU HAM (UU No.39 Tahun 1999), UU Pemilu, UU Parpol, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Otonomi Daerah, UU ratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, UU ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi Rasial. Pada tahun 2000, ketika memasuki Amandemen ke II UUD 1945, suatu daftar panjang HAM dimasukkan kedalam Konstitusi, yaitu pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J UUD 1945. Dengan demikian HAM tidak lagi semata-mata hak moral dan hak atas dasar UU. Tapi HAM sudah merupakan bagian dari hak-hak Konstitusional yang mesti di patuhi oleh pembuat UU (pemerintah dan DPR) dan jajaran aparat yudisial.

Sesungguhnya sebagian dari substansi KIHSP dimasukan kedalam UU HAM, misalnya hak hidup (pasal 9), hak untuk bebas dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat (pasal 33 ayat 1), hak untuk bebas dari perbudakan, perhambaan dan pekerjaan paksa (pasal 20), hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi (pasal 30, pasal 29), hak atas pemeriksaan adil dan proses hukum yang semestinya (pasal 17, pasal 18 (1) (2) (3) (4) (5)), hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama (pasal 22, pasal 23, pasal 25), hak atas kebebasan dari pemenjaraan atas dasar ketidak-mampuan memenuhi kewajiban kontraktual (pasal 19 (2)), hak atas kebebasan bergerak dan memilih tempat tinggal (pasal 27 (1) (2)), hak atas kebebasan dari hukum pidana yang berlaku surut (pasal 18 (2)), hak atas pengakuan pribadi di depan hukum (pasal 29 (2)), hak atas kebebasan dan keleluasaan pribadi (pasal 29 (1), pasal 32), hak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat (pasal 23 (2), pasal 25), hak atas perkumpulan damai (pasal 24 (1)), hak atas kebebasan berserikat (pasal 24 (1) (2)), hak atas pernikahan dan membentuk keluarga (pasal 10), hak-hak anak (pasal 52 sampai dengan pasal 66).

Bila kita mencermati daftar HAM yang tertuang dalam pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J UUD 1945, kita akan menemukan disitu substansi yang berkaitan dengan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan HSP. Misalnya, hak hidup (pasal 28 A), hak untuk bebas dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. (pasal 28 G (2) yo pasal 28 I (1), hak untuk bebas dari perbudakan (pasal 28 I (1), hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi (pasal 28 G (1)), hak atas pemeriksaan adil dan proses hukum yang semestinya. (pasal 28 D (1)), hak untuk bebas dari hukum pidana yang berlaku surut.(pasal 28 I (1)), hak atas pengakuan pribadi di depan hukum. (pasal 28 I (1)), hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. (pasal 28 E (1) (2) yo pasal 28 I (1)), hak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat. (pasal 28 E (3) yo pasal 28 I (1), hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. (pasal 28 F), hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. (pasal 28 E (3)).



Untuk waktu yang panjang, hak-hak sipil yang begitu penting bagi tiap orang untuk memperoleh pelayanan negara, yakni hak atas kedudukan yang sama di depan hukum (pasal 26 KIHSP) dan hak atas pengakuan pribadi di depan hukum (pasal 16 KIHSP) diabaikan baik oleh rejim otoriter demokrasi Terpimpin maupun oleh rejim otoriter Orde Baru. Pengabaian ini mengakibatkan sejumlah orang diingkari haknya untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia, dan seterusnya orang-orang itu dan keluarganya mengalami diskriminasi dan tidak memperoleh akses pada pelayanan publik oleh negara, antara lain, orang tua dan anak-anak mereka tidak bisa leluasa bergerak atau berpindah, anak-anak yang lahir dari orang tua yang tak berwarganegara itu, tak dapat memperoleh akta kelahiran, dan lain sebagainya. Rejim pemerintahan reformasi tidak ingin membiarkan keadaan pelanggaran HAM itu terus berlangsung. Karena itu pada tahun 2006 pemerintah dan DPR menyetujui dua undang-undang yang dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi hak-hak sipil sebagaimana tersebut di atas. Dua undang-undang tersebut adalah, 1. UU No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia ; 2. UU No.23 Tentang Administrasi Kependudukan. UU Tentang Kewarganegaraan RI, bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu peristiwa, di mana seseorang tidak mempunyai kewarganegaraan. Dalam jaman masyarakat bangsa bernegara hukum, seseorang yang tanpa kewarganegaraan hampir dipastikan akan dengan mudah diingkari hak asasinya, baik itu hak-hak sipil dan politiknya, maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya. Pada sisi yang lain UU tersebut hendak mencegah atau mengakhiri peristiwa di mana orang memperoleh kewarganegaraan ganda.UU Administrasi Kependudukan, dibuat untuk tujuan memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang di alami oleh Penduduk Indonesia, seperti, kelahiran, kematian, perpindahan, dan lain sebagainya, yang berada di dalam dan/ atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hak-hak politik sebagai salah satu hak yang diakui dan dilindungi oleh KIHSP, diwujudkan dalam bentuk hak warga negara untuk turut serta memilih atau dipilih dalam pengisian jabatan-jabatan publik, baik di pemerintah atau eksekutif maupun badan perwakilan rakyat (legislatif). Hak politik juga berarti keikut-sertaan rakyat dalam proses pengambilan keputusan publik, serta mengawasi bekerjanya badan-badan publik seperti, DPR, pemerintah, dan badan-badan yudisial, yakni, polisi, jaksa, dan pengadilan. Selain itu, pengawasan oleh warga negara di arahkan pula pada tentara sebagai bagian dari aparat negara. Dalam upaya untuk memperkuat aktualisasi hak politik warga negara itu, khususnya hak untuk mengawasi proses pengambilan keputusan publik, pemerintah dan DPR menyetujui UU Tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. UU itu menegaskan, bahwa hak anggota masyarakat untuk memperoleh informasi merupakan faktor penting dalam meningkatkan kualitas pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik.


Selain kemajuan-kemajuan pada tataran normatif sebagaimana diuraikan di atas, pemerintah dengan dukungan DPR telah pula mendirikan lembaga-lembaga independen, yang dimaksudkan untuk pemajuan dan perlindungan HAM, termasuk HSP, seperti, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Perlindungan Hak-Hak Perempuan dari Tindakan Kekerasan, Komisi Perlindungan Hak Anak, Komisi Ombudsman Nasional, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hubungan Industrial, dan Mahkamah Konstitusi, yang antara lain mempunyai kewenangan untuk menguji suatu produk UU yang diduga melanggar HAM sebagai Hak Konstitusional. Baik pada tataran norma hukum maupun kehadiran lembaga-lembaga independen tersebut di atas, sesungguhnya negara Indonesia telah mempunyai perangkat hukum dan kelembagaan yang memadai sebagai dasar untuk menghormati dan melindungi HAM, termasuk HSP.

Di lapangan politik, selama hampir sepuluh tahun terakhir ini, kita bersama telah menyaksikan rakyat Indonesia telah menikmati kebebasan politik yang luas. Empat kebebasan dasar, yaitu hak atas kebebasan berekspresi dan berkomunikasi, hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berorganisasi, dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan, yang vital bagi bekerjanya Sistem Politik dan Pemerintahan demokratis telah dinikmati oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Melalui berbagai media dewasa ini hampir semua lapisan rakyat Indonesia sudah dapat mengekspresikan perasaan dan pendapatnya tanpa rasa takut atau was-was seperti pada jaman Orde Baru. Rakyat Indonesia relatif bebas mengkomunikasikan gagasan dan informasi yang dimilikinya. Rakyat menikmati pula hak atas kebebasan berkumpul. Pertemuan-pertemuan rakyat, seperti, konferensi, seminar, rapat-rapat akbar tidak lagi mengharuskan meminta izin penguasa seperti di masa Orde Baru. Perorangan atau kelompok-kelompok masyarakat, seperti, buruh, petani, seniman, dan lain sebagainya yang ingin melakukan demonstrasi atau unjuk rasa di depan kantor atau pejabat publik tidak memerlukan izin, tapi mereka sebelum menjalankan unjuk rasa diwajibkan untuk memberitahu polisi. Sudah hampir sepuluh tahun terakhir ini rakyat Indonesia menikmati pula kebebasan berorganisasi. Rakyat tidak hanya bebas mendirikan partai-partai politik sebagai wahana untuk memperjuangkan aspirasi politiknya. Rakyat bebas pula untuk mendirikian organisasi-organisasi kemasyarakatan, seperti, Serikat Petani, Serikat Buruh, Perkumpulan Masyarakat Adat, dan lain sebagainya. Perwujudan hak atas kebebasan berorganisasi ini sangat vital bagi upaya rakyat untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Selain itu, tumbuhnya organisasi-organisasi rakyat dari bawah ini akan memperkuat masyarakat sipil yang diperlukan bagi berlangsungnya sistem politik dan pemerintahan yang demokratis. Selama hampir sepuluh tahun terakhir ini rakyat Indonesia telah pula menikmati hak politiknya, yaitu hak untuk turut serta dalam pemerintahan di mana rakyat berperan serta memilih secara langsung para anggota DPR dan DPRD pada tahun 1999 dan tahun 2004. Pada tahun 2004 untuk pertama kali rakyat memilih langsung Presiden dan Wakil Presiden. Selanjutnya rakyat di propinsi dan di kabupaten, serta kotamadya memilih langsung Gubernur, Bupati, dan Walikota. Perwujudan hak atas kebebasan politik ini tidak pernah ada presedennya dalam sejarah Indonesia.

Kebebasan politik yang membuka jalan bagi terpenuhinya empat kebebasan dasar tersebut di atas, belum dinikmati oleh kelompok minoritas agama, termasuk kelompok minoritas dalam suatu agama. Para pemeluk agama-agama minoritas, seperti, kaum Bahai, penganut agama/aliran kepercayaan tetap diperlakukan secara khusus berbeda atau didiskriminasi oleh negara. Demikian pula kelompok minoritas dalam agama, misalnya Ahmadiyah terus mengalami diskriminasi dan pengawasan oleh negara. Selain itu, kelompok minoritas politik, seperti, mantan tahanan / narapidana politik PKI atau yang didakwa anggota atau simpatisan PKI dan partai-partai kiri terus mengalami pengingkaran hak-hak politik mereka oleh negara. Gagasan politiki revolusioner kiri atau komunisme, dan gagasan negara Islam, dan para pendukung gagasan-gagasan tersebut tetap terus diwaspadai dan dicurigai oleh sebagian masyarakat dan pemerintah. Kebijakan pemerintah melalui Kejaksaan Agung yang tetap melarang beredarnya sejumlah buku yang di nilai menyebarkan gagasan dan ajaran kiri, serta kebijakan Mendiknas yang menarik dari peredaran buku pelajaran sejarah yang di revisi, berkenaan dengan peristiwa G-30-S PKI, menunjukkan kewaspadaan dan kecurigaan penguasa terhadap gagasan atau pendapat yang berbau kiri yang di nilainya radikal itu. Sikap dan pandangan penguasa ini jelas akan memberikan pengaruh negatif pada kondisi HSP.


Kebebasan politik yang dinikmati oleh masyarakat Indonesia sebagaimana diuraikan di atas, tidak diimbangi dengan perlindungan hukum yang semestinya bagi hak-hak sipil, seperti, hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi, hak atas kebebasan dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, hak atas pemeriksaan yang adil dan proses hukum yang semestinya, hak atas pengakuan pribadi di depan hukum, dan larangan atas propaganda untuk perang dan hasutan kebencian. Dilaporkan di berbagai daerah, seperti, Poso, Lombok, Papua, juga Jakarta, dan tempat-tempat lain di Indonesia, masih terjadi kekerasan horisontal yang melibatkan unsur-unsur polisi dan militer. Penganiayaan dilaporkan masih terus di alami oleh kelompok-kelompok masyarakat, seperti, buruh, petani, masyarakat adat, kelompok minoritas agama, dan para mahasiswa. Dilaporkan pula dalam hampir setiap peristiwa kekerasan horisontal, aparat keamanan, seperti, polisi seolah-olah tidak berdaya melindungi kelompok-kelompok yang menjadi sasaran kekerasan tersebut. Laporan-laporan HAM yang dikeluarkan oleh LSM dan PBB menyatakan, penyiksaan masih terus terjadi di pusat-pusat penahanan di kepolisian. Selama hampir sepuluh tahun terakhir ini, Sistem hukum dan jajaran aparaturnya, seperti, Polisi, Jaksa, dan Hakim tidak mampu menjawab secara semestinya kasus-kasus kekerasan horisontal dan vertikal yang melibatkan aparat Polisi dan atau tentara. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti, kasus pembunuhan, penculikan, penahanan sewenang-wenang terhadap ratusan ribu orang yang disangka mempunyai kaitan dengan PKI, kasus Talang Sari, dan lain sebagainya sampai hari ini belum memperoleh penanganan yang adil. Mereka yang diduga keras terlibat melakukan pelanggaran HAM berat (Kejahatan terhadap Kemanusiaan) tetap bebas berkeliaran tanpa pernah tersentuh oleh hukum. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi yang terjadi sejak berlangsungnya reformasi, seperti, kasus Trisakti I dan II, kasus Kerusuhan Mei, 1998, kasus penghilangan paksa para aktifis pro-demokrasi, tahun 1997-1998, dan kasus-kasus penembakan rakyat oleh polisi atau tentara, tidak ditangani dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah dan aparat penegak hukum.
Kalaupun ada sejumlah pelaku pelanggaran HAM yang diajukan ke pengadilan, biasanya para terdakwa itu akan dikenakan pasal pidana ringan, misalnya, antara lain, kasus penembakan para petani oleh Polisi, di Manggarai, biasanya para terdakwa itu akan dikenakan pasal pidana ringan, dan akhirnya dikenakan hukuman ringan, antara 1, 2 tahun atau beberapa bulan saja, atau bahkan di bebaskan samasekali, seperti, dalam kasus-kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur, paska jajak pendapat, dan kasus Tanjung Priok, tahun 1984. Inilah yang kemudian menjadi budaya pembiaran (culture of impunity) yang terus menjangkiti sistem hukum dan aparaturnya, seperti Polisi, Jaksa dan Hakim, terutama ketika aparat penegak hukum harus menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan Polisi dan Tentara. Budaya pembiaran (culture of impunity) inilah yang melumpuhkan setiap upaya penegakan hukum. Budaya impunity itu bila dibiarkan terus berkembang dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama akan menghancurkan kedaulatan hukum, dan pada gilirannya akan menghancurkan sistem demokrasi itu sendiri.

Kejahatan terorisme yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai Jemaah Islamiyah telah menimbulkan korban, berupa hilangnya nyawa manusia, dan hancurnya harta benda miliknya. Kejahatan terorisme telah menimbulkan rasa takut dan tidak aman yang relatif luas di kalangan masyarakat sipil. Pada sisi yang lain kejahatan terorisme di Indonesia telah mengundang lahirnya UU Anti Kejahatan Terorisme yang mengesampingkan UU Hukum Acara Pidana biasa. Di bawah UU Anti Kejahatan Terorisme itu, Polisi dengan mengesampingkan perlindungan Hak Sipil yang di atur di bawah hukum acara pidana biasa, dapat dengan mudah melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan pemeriksaan terhadap siapa saja yang diduga menjadi bagian dari jaringan aktivitas terorisme. Pelaksanaan UU baru ini telah memberikan dampak buruk bagi hak-hak sipil mereka yang meskipun belum tentu berdosa, tapi karena di curigai mempunyai hubungan dengan pelaku kejahatan terorisme, harus mengalami penangkapan, penahanan, kekerasan, penyiksaan, dan pemeriksaan. Keadaan ini jelas memperburuk kondisi HSP. Karena itu, Komnas HAM bersama Komnas-HAM se Asia Pasifik, mendesak agar negara-negara Asia Pasifik tetap tegas dalam memberantas kejahatan terorisme, namun pemberantasan kejahatan itu harus dilakukan dengan mengindahkan Hukum HAM.


Ralf Dahrendorf, ahli sosiologi yang mengamati konflik dan kebebasan di Jerman, berpendapat, bahwa Negara Hukum demokratis (NHD) mensyaratkan 4 (empat) perangkat kondisi sosial, yaitu pertama, perwujudan nyata atas persamaan status kewarganegaraan bagi semua peserta dalam proses politik ; kedua, kehadiran kelompok-kelompok kepentingan dan elite di mana tak satupun mampu memonopoli jalan menuju ke kekuasaan; ketiga, berlakunya nilai-nilai yang boleh disebut sebagai kebajikan publik; keempat, menerima perbedaan pendapat dan konflik kepentingan sebagai sesuatu yang tak terhindarkan dan elemen kreatif dalam kehidupan sosial (Ralf Dahrendorf “Conflict and Liberty: Some Remarks on the Social Structure of German Politics “dalam Reinhard Bendix et al “State and Society “, University of California Press, Ltd, 1973).

Dalam perspektif hukum pandangan Dahrendorf tersebut akan berarti, pertama, bahwa dalam NHD harus ada Konstitusi yang mengakui prinsip persamaan kedudukan bagi tiap warga negara di depan hukum dan pemerintahan. Atas dasar Konstitusi itu tiap warganegara sebagai aktor demokrasi mempunyai hak untuk turut serta, baik langsung maupun melalui wakil-wakil rakyat di Parlemen dalam pembuatan hukum (yaitu proses legislasi). Lebih jauh tiap warga negara mempunyai hak untuk turut serta mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan hukum. Atas dasar prinsip persamaan di depan hukum dan pemerintahan itu pula setiap bentuk dan kecenderungan monopoli akses pada kekuasaan negara harus dinyatakan inkonstitusional (melanggar konstitusi). Kedua, dalam NHD Konstitusi sebagai aturan dasar bermain aktor-aktor demokrasi mengakui sejumlah nilai sosial seperti, persamaan, keadilan, keseimbangan, persatuan, fairness, due process of law, semuanya merupakan nilai-nilai kebajikan publik yang diterima dan dieja-wantahkan ke dalam Pembukaan dan Batang tubuh Konstitusi itu. Ketiga, dalam NHD Konstitusi mengakui, adanya perbedaan pendapat dan konflik kepentingan di antara aktor-aktor demokrasi di mana perbedaan pendapat dan konflik kepentingan itu harus diselesaikan melalui jalan hukum dan bukan melalui jalan kekerasan. Keempat, guna menyelesaikan konflik-konflik hukum, sosial, politik, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya, Konstitusi memberikan wewenang kepada Pengadilan yang harus merupakan zona netral (imparsial), mandiri, otonom, merdeka, bebas dari pengaruh politik dan atau ekonomi baik yang datang dari pemerintah maupun dari pihak parlemen, partai-partai politik, korporasi atau yang datang khusus dari pihak-pihak yang bersengketa.

Setelah mengalami empat kali amandemen, UUD 1945 merupakan sebuah Konstitusi yang memadai sebagai dasar hukum bagi bekerjanya Sistem politik, hukum dan pemerintahan yang demokratis, di mana perlindungan HSP memperoleh tempat yang semestinya. Persoalannya bukan pada rumusan kalimat yang membentuk substansi Konstitusi itu. Persoalannya terletak pada syarat-syarat politik dan ekonomi yang diperlukan untuk mewujudkan imperatif-imperatif Konstitusi. Negara Hukum Demokratis (NHD) Indonesia sebagaimana tersirat dan tersurat dalam UUD 1945 mensyaratkan hadirnya masyarakat sipil (civil society) yang kuat mampu melakukan kontrol terhadap perilaku Negara. Masyarakat sipil acap dinilai sebagai kunci untuk mencapai NHD, dimana demokrasi dan kedaulatan hukum berjalan. Namun, seperti yang dikemukakan oleh Schiller, masyarakat sipil itu merupakan konsep yang bermakna ganda. Konsep masyarakat sipil sedikit-dikitnya mengacu pada situasi dan kondisi yang berbeda. Pertama, kehadiran masyarakat sipil mewujud dalam bentuk lembaga-lembaga sosial yang kuat dan mempunyai akar yang mendalam dalam masyarakat sehingga mampu melawan kontrol rezim-rezim otoriter. Kedua, masyarakat sipil itu hadir dalam wujud suatu jaringan organisasi-organisasi sosial yang rapat yang memberikan model sivilitas, kerjasama dan toleransi serta menciptakan hubungan-hubungan antara bagian-bagian masyarakat yang mendorong partisipasi, civic trust, dan kerjasama. Inilah yang acap disebut modal sosial. Baik masyarakat sipil pada situasi yang pertama, maupun masyarakat sipil pada situasi yang kedua tidak kita jumpai di Indonesia. Namun, agar tidak menjadi pesimis, layak untuk dicatat adanya usaha-usaha di Indonesia untuk membangun masyarakat sipil yang kuat, baik seperti pada situasi pertama, ataupun seperti situasi kedua, yang diupayakan oleh organisasi non-pemerintah seperti, Lsm Lsm, organisasi-organisasi Keagamaan, organisasi organisasi Kemasyarakatan, organisasi Profesi, organisasi-organisasi Buruh, bahkan unsur-unsur dalam partai-partai politik, dan unsur-unsur dalam dunia usaha.

Schiller menyebutkan problematika perwujudan masyarakat sipil seperti tersebut di atas. Misalnya, jika masyarakat sipil itu berupa hadirnya lembaga-lembaga kuat yang mampu melawan kemauan negara otoriter, apakah lembaga-lembaga kuat itu juga dapat mengalahkan proses-proses demokrasi dan membajak sistem-sistem demokrasi. Lembaga-lembaga kuat itulah yang pada akhirnya bisa saja mendominasi negara, dengan meninggalkan atau bahkan mengorbankan kepentingan sebagian rakyat negara yang bersangkutan. Pada sisi yang lain, jika masyarakat sipil itu berupa hadirnya jaringan organisasi-organisasi sosial rapat yang mendorong civic trust dan kerjasama. Lalu, bagaimana membuat jaringan sosial seperti itu sehingga NHD dapat berjalan.

UUD 1945 menegaskan prinsip persamaan kedudukan di depan hukum dan pemerintahan. Prinsip mengandung arti sebagai suatu penolakan total terhadap setiap kecenderungan dan bentuk monopoli akses pada kekuasaan. Tidak ada seorangpun yang hidup di Indonesia, berani secara terbuka menentang prinsip itu. Namun, adalah suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri, bahwa hanya para pemilik modal, terutama modal besar asing atau domestik, para birokrat, terutama birokrat klas atas, baik sipil maupun militer yang memonopoli akses pada kekuasaan negara. Mereka tidak hanya mampu mengendalikan proses politik, tapi lebih dari itu proses hukum. Fakta itu menyimpulkan, bahwa syarat politik dan ekonomi yang diperlukan bagi pelaksanaan imperatif Konstitusi tidak terpenuhi.

Tidak dipenuhi syarat-syarat politik dan ekonomi yang diperlukan bagi pelaksanaan imperatif-imperatif Konstitusi, khususnya berkaitan pelaksanaan kedaulatan hukum telah membawa dampak buruk bagi perlindungan hak-hak Sipil, yakni, hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi, hak untuk bebas dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, hak atas pemeriksaan yang adil dan proses hukum yang semestinya, hak atas kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan, dan hak minoritas agama dan politik.

Jakarta 9-Juli-2008




Bahan Rujukan :

1. Ralf Dahrendorf “Conflict and Liberty: Some Remarks on the Social Structure of German Politics” dalam Reinhard Bendix et al “State and Society”, University of California Press, Ltd, 1973.
2. Jim Schiller “Masyarakat Sipil di Jepara: Mudah Terpecah Tapi Inklusif “dalam Henk Schulte Nordholt dan Gery van Klinken, “Politik Lokal di Indonesia”, KITLV-Jakarta Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2007.
3. Mashood Baderin, Hukum Hak Asasi Manusia Internasional dan Hukum Islam, Komnas-Ham, 2008.
4. UUD 1945.
5. UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM.
6. UU No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
7. UU No.23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.



Oleh: Abdul hakim G. Nusantara
Sumber: Komnasham.

No comments:

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.