GERAKAN perlawanan anti golput semakin meluas. Apalagi adanya prediksi golput pada pemilu 9 April mendatang di atas 40 persen. Perkembangan terakhir, Sidang Ijtima Ulama Fatwa III MUI yang diselenggarakan 24-26 Januari di Padang Panjang, Sumatra Barat, memutuskan fatwa haram golput. Fatwa ini muncul dari prediksi tingginya persentase golput atau penurunan tingkat partisipasi pemilih pada 9 April mendatang.
Kenaikan jumlah Golput diperkirakan cukup signifikan dibandingkan dengan pada pemilu legislatif atau Pilpres 2004. Karena itu, tidak heran bila KPU menyelenggarakan kampanye antigolput menjelang masa pemilihan 9 April mendatang. Kampanye antigolput tersebut diharapkan dapat meningkatkan tingkat partisipasi pemilih (voters turn out).
Fatwa MUI bukanlah fatwa yang baru yang menegasi masalah golput. Ketika perhelatan Pilkada Jawa Timur digelar, fatwa yang sama juga pernah dikeluarkan oleh MUI Madura. Lalu, mengapa golput harus ditentang? Apakah golput ancaman atas demokrasi di republik ini?
UUD 1945 sebagai konstitusi kita meletakkan persoalan memilih pada saat pemilu sebagai "hak", bukan "kewajiban". Namun rumusan tersebut tidak dapat dibaca bahwa mendorong para pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya dapat dibenarkan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu tegas mengatur bahwa menganjurkan atau melakukan sesuatu yang mengakibatkan orang lain tidak bisa menggunakan hak pilihnya dapat dipidana.
Setelah tumbangnya Orde Baru, terjadi tren peningkatan jumlah golput dari tahun ke tahun. Pada Pemilu 1999 angka golput mencapai 10,21 persen. Namun pada Pemilu 2004 jumlah golput naik menjadi 23,34 persen. Pemilu 2004 sesungguhnya "dimenangi" oleh golput. Pada saat itu jumlah golput tercatat sekitar 34 juta orang. Sebagai perbandingan, Partai Golkar, pemenang pemilu saat itu, hanya meraih suara 24 juta, jauh di bawah golput.
Pada beberapa pemilihan kepala daerah, baru-baru ini, jumlah golput meningkat tajam, bahkan melebihi jumlah yang memilih. Pilkada Banten mencatat 40 persen golput. Pilkada Jawa Barat mencatatkan angka golput lebih dari 33 persen, Pilkada DKI Jakarta 35 persen, Pilkada Kepulauan Riau 46 persen, dan yang paling fenomenal di Jawa Tengah golput mencapai 69 persen.
Gerakan golput muncul tidak secara sistemik. Tapi lebih merupakan pilihan individu sebagai konstituen. Para pemilih yang mengambil sikap untuk golput dipengaruhi oleh paham pragmatisme. Mereka meyakini bahwa menggunakan hak pilih jelas tidak akan berpengaruh apa-apa terhadapnya. Mereka meyakini pilihan yang ada tetap tidak akan membawa perubahan apa-apa.
Secara teoretis, tidak ada konsep akademis yang bisa menjelaskan korelasi antara tingkat partisipasi pemilih dan pengaruhnya terhadap legitimasi caleg terpilih. Hanya saja, sampai hari ini diyakini bahwa rendahnya persentase pemilih akan memengaruhi jalannya pemerintahan, khususnya kedudukan legislator terpilih sebagai wakil rakyat.
Sebagai wakil rakyat dengan masyarakat yang dinamis, persoalan legitimasi legislator ke depan melalui sebuah pemilu yang demokratis memang menjadi persyaratan yang mutlak. Di sinilah pentingnya "membunuh" golput sedini mungkin.
Namun, di sisi lain, tingginya angka partisipasi pemilih pada setiap pemilu di Indonesia tidak otomatis menunjukkan adanya kesadaran politik di masyarakat. Dengan kata lain, mereka memilih caleg tertentu bukan karena memang betul-betul sadar dan ingin mengubah keadaan, atau karena tertarik dengan visi, misi, dan program yang bersangkutan. Berbagai macam preferensi politik digunakan oleh para pemilih (konstituen) untuk menentukan pilihannya di bilik tempat pemungutan suara (TPS).
Kenyataan membuktikan bahwa tingginya tingkat partisipasi pemilih di Indonesia juga disebabkan oleh proses mobilisasi pemilih. Bahkan cenderung karena adanya praktik money politics, misalnya dengan pembagian sembako menjelang hari pemungutan suara. Di samping itu, persoalan administrasi pemilu juga ikut memengaruhi para pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Misalnya pindah alamat, atau tidak terdaftar dalam daftar pemilih.
Meski demikian, kita mesti mengakui bahwa pemilih yang menentukan pilihannya dengan sangat rasional tentu tidak sedikit jumlahnya. Mereka memilih dengan keyakinan bahwa partai politik yang mengusulkan atau caleg yang mereka pilih akan membawa perubahan nasib republik ini. Pada bagian ini, mereka meyakini pemilihan 9 April mendatang sebagai alat social engineering yang mesti diselamatkan dengan jalan menggunakan hak pilih sesuai dengan hati nurani masing-masing.
Persoalannya adalah kita tidak memiliki teori ataupun alat ukur yang bisa digunakan untuk mendeteksi jumlah pemilih yang rasional sehingga sangatlah prematur untuk dapat mengatakan bahwa jumlah pemilih dan jumlah golput akan berpengaruh langsung terhadap legitimasi hasil pemilu. Kendati demikian, pilihan pemilih untuk tidak memilih pada tanggal 9 April mendatang jelas merupakan pilihan politik yang mesti dihargai. Biarkan gerakan golput menjadi opisisi sosial sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap sistem politik yang sedang mencari bentuk dan karakteristik. Mengapa harus ditentang?
Oleh: SUHARIZAL SH MH, Mahasiswa Program Doktor FH Universitas Padjadjaran Staf Profesional Panwaslu Kota Bandung
Sumber: Tribun Jabar.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
duh ini kemana adminnya sudah tidak ada kah?
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.