Melihat prosentase perempuan yang bersaing dalam pemilu legislatif bulan April lalu, 35,35% dari 11,301 total kandidat, orang bisa saja menyimpulkan bahwa hak perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik di Indonesia telah benar-benar dijamin. Untuk soal hak memilih dan dipilih, kesimpulan ini mungkin saja benar. Tetapi, perempuan Indonesia masih harus berjuang untuk bisa mempengaruhi kebijakan publik yang berkaitan dengan kehidupan mereka.
Sejumlah organisasi perempuan tengah berusaha untuk merubah realitas ini dengan menyelenggarakan program pendidikan pemilih yang mengulas tak hanya faktor politik dan budaya, tetapi juga faktor agama yang mempengaruhi peran politik perempuan. Sejak tahun 1999, organisasi-organisasi ini telah melatih kaum perempuan untuk menggunakan hak politik mereka agar bisa meningkatkan kualitas partisipasi mereka dalam politik.
Keterlibatan saya di Muslimat, organisasi perempuan NU, membuat saya menyadari bahwa banyak perempuan Indonesia yang tidak menyadari potensi yang mereka miliki untuk menentukan kualitas demokrasi di negeri ini.
Selain itu, mereka pun tak memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk menggunakan hak politik mereka dan akhirnya memilih untuk bungkam. Akibatnya, mereka tak bisa terlibat dalam pembuatan legislasi yang mempengaruhi hak-hak mereka dan tak terwakili dengan baik di lembaga-lembaga pengambilan kebijakan.
Tapi kurangnya pengetahuan politik bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi kualitas partisipasi mereka dalam perpolitikan negeri ini, nilai-nilai budaya dan agama juga turut berperan di dalamnya. Agama, termasuk Islam, telah digunakan sedemikian rupa untuk melanggengkan pemisahan ruang publik bagi laki-laki dan ruang privat bagi perempuan.
Politik hampir selalu disebut-sebut sebagai domain laki-laki hingga perempuan dianggap tak pantas untuk berpartisipasi di dalamnya.
Karena itu, program pendidikan pemilih bagi perempuan-terutama yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi perempuan Muslim, tidak boleh hanya menekankan ide tentang hak politik perempuan sebagai hak-hak asasi dan bahwa pengalaman perempuan itu perlu dipertimbangkan dalam kebijakan publik, tetapi juga menekankan bahwa Islam sebagai agama mayoritas penduduk negeri ini menjamin hak-hak politik perempuan sepenuhnya.
Dalam Surat al-Mumtahanah, al-Qur’an memerintahkan Nabi untuk menerima baiat perempuan yang ikut dalam pertemuan Aqabah yang terlaksana sebelum beliau hijrah ke Madinah. Perintah ini memperlihatkan bahwa Islam menghargai pentingnya suara perempuan. Keputusan Nabi Muhammad untuk memberikan izin kepada sepupunya, Ummu Hani, untuk memberikan perlindungan kepada seorang serdadu Mekah pada peristiwa Futuh Mekah memperlihatkan bahwa suara perempuan dan tindakannya dihargai.
Qur’an juga mendorong perempuan dan laki-laki untuk terlibat dalam mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka melalui syura, mekanisme pengambilan keputusan kebijakan publik dalam Islam. Ini menunjukkan Islam melihat perempuan sebagai pihak yang berhak membentuk kebijakan publik. Qur’an bahkan menyatakan bahwa Muslim dan Muslimah adalah partner dalam menegakkan kebajikan dan mencegah kemunkaran (Qs 9:71).
Berkat justifikasi keagamaan ini, sejumlah perempuan yang pada awalnya enggan berpartisipasi dalam politik mulai berani bergabung dengan partai politik, bahkan menjadi kandidat dalam pemilu legislatif di tingkat pusat maupun daerah. Sebagian perempuan bahkan ikut memperebutkan kursi ketua partai politik di tingkat daerah. Dengan panduan nilai-nilai Islam, para perempuan kandidat ini menunjukkan komitmen mereka untuk merubah masyarakat dengan cara yang positif.
Tak hanya itu, justifikasi keagamaan ini juga memberikan dorongan kepada feminis dan organisasi-organisasi perempuan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik, memonitor kebijakan dan peraturan yang dianggap melanggar dan merugikan hak perempuan serta mengajukan peraturan yang bisa meningkatkan kesetaraan perempuan dalam berbagai sektor.
Hasil pemilu menunjukkan bahwa perempuan kemungkinan besar akan mendapatkan kurang lebih 15 persen kursi di lembaga legislatif. Meski masih terbatas, perolehan ini sudah menuju arah yang tepat dan bisa mendorong perempuan lain untuk terlibat lebih aktif dalam politik.
Pendidikan pemilih bagi perempuan yang mengulas berbagai faktor yang menghambat partisipasi perempuan dalam politik dan sekaligus menyediakan justifikasi keagamaan untuk memberdayakan perempuan bisa membuat partisipasi perempuan dalam politik lebih bermakna.
Oleh: Siti Musdah Mulia
Sumber: commongroundnews.
No comments:
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.