Parpol Terjebak Politik Dagang Sapi. Kontrak politik bagi parpol yang harus bergabung dalam mengajukan calon presiden (capres) dan atau calon wakil presiden (cawapres) pada pemilihan presiden (pilpres), apalagi dibuat dengan akta notaris, justru bisa membuat parpol terjebak dalam politik dagang sapi. Kontrak politik seperti itu juga bisa melampaui sistem presidensial yang dianut meski tujuannya baik, yakni parpol berkomitmen untuk koalisi permanen.
Pendapat tersebut mengemuka dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilpres di Panitia Khusus (Pansus) DPR, Rabu (4/6). Dalam rapat kerja yang dipimpin Ketua Pansus Ferry Mursyidan Baldan dan dihadiri Mensesneg Hatta Rajasa yang mewakili pemerintah, diskusi berkisar pada penentuan gabungan parpol ketika mengusung capres/cawapres.
Dalam pandangan Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), gabungan parpol yang mengusung capres/cawapres seharusnya membuat kontrak politik. Menurut Badriyah Fayumi (FKB), kontrak politik tersebut bahkan dibuat berkekuatan hukum yang bersifat mengikat selama lima tahun.
Langkah ini, kata Lukman Hakim Saifuddin (FPPP), agar parpol tidak menjadi kutu loncat, setidaknya selama lima tahun. "Sebentar di pemerintahan, sebentar di oposisi. Itu tidak benar dan dengan kontrak politik setidaknya ada komitmen selama lima tahun, mau mendukung atau beroposisi," katanya.
Diakui, tidak tepat juga jika kontrak politik kemudian berkonsekuensi hukum menjatuhkan pemerintahan, karena sistem yang dianut bukan parlementer. Selain itu, presiden/wapres dipilih langsung oleh rakyat. "Setidaknya ada pegangan dan parpol yang melanggar kontrak politik diketahui dan rakyat yang kemudian memberi sanksi," kata Lukman Hakim.
Keliru
Menurut Agun Gunandjar Sudarsa (FPG), usulan yang dikemukakan tiga fraksi tersebut dari sisi gagasan memang benar. "Namun, menurut kami di FPG, keliru mengimplementasikannya, karena seharusnya itu dituangkan di visi dan misi serta program capres dan cawapres bersama parpol pendukung," kata Agun.
Dengan visi, misi, dan program yang disepakati bersama sejak masa kampanye dan menjadi kebijakan ketika terpilih, koalisi bisa dipastikan menjadi permanen. Hal itu terjadi karena visi, misi, dan program tersebut kemudian menjadi semacam GBHN yang mengikat presiden/wapres dan parpol pengusung di legislatif.
"Kalau yang dilakukan adalah kontrak politik, yang terjadi adalah dagang sapi. Nanti, justru yang terjadi parpol bersuara kecil di gabungan itu, minta jatah sekian menteri, parpol besar sekian menteri," kata Agun.
Menurut Ryaas Rasyid (Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi/FBPD), UU Pilpres sebenarnya hanya mengantarkan seseorang menjadi presiden, bukan UU yang mengatur presiden ketika menjabat. Untuk mengatur presiden ketika menjalankan jabatannya, seharusnya ada UU Kepresidenan, yang beberapa kali gagal dibahas DPR selama kurun waktu 10 tahun terakhir.
Di tempat terpisah, Rektor Universitas Indonesia Gumilar R Somantri mengatakan koalisi permanen mampu menjamin pemerintahan yang kuat dan program dapat berjalan baik. Namun, pada Pemilu 2009, upaya membangun koalisi permanen seperti itu tampaknya belum optimal.
Menurut dia, UU 10/2008 tentang Pemilu Legislatif belum mampu menghasilkan penyederhanaan parpol. UU itu juga dinilai cenderung tidak menghasilkan pemerintahan yang kuat.
Sekretaris Jenderal PDI-P Pramono Anung menilai dalam sistem presidensil sistem yang dibangun harus diikuti dengan penyederhanaan parpol. "Jika pemilu masih banyak parpol, presiden terpilih tidak bisa dikonsolidasikan. Maka, apa pun yang kami siapkan untuk 2009 akan serupa dengan 2004," paparnya.
Sumber: Suara Pembaruan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
terimakasih postingannya bagus
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.