Konsep pemikiran berdemokrasi tidak hanya berasal dari Barat. Konsep serupa juga hidup dalam tradisi bermasyarakat di Indonesia, terutama di Indonesia bagian timur. Tradisi itu konkretnya antara lain berupa berembuk secara demokratis, apa adanya, tanpa tedeng aling-aling.
Meski begitu, perkembangan demokrasi di Indonesia masih membutuhkan perjuangan panjang. Persoalannya, karena masih terdapat perbedaan komitmen di antara masyarakat dan para pemimpin bangsa. Di Indonesia, harapan dan perjuangan akan berkembangnya budaya demokrasi hanya menjadi komitmen masyarakat. Sementara para pemimpinnya malah tidak memiliki komitmen yang sama.
Demikian antara lain pokok pikiran KH Abdurrahman Wahid ketika menyampaikan kuliah umum di Kampus Unika Widya Mandira, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (21/3).
Ribuan mahasiswa dan dosen dari sejumlah perguruan tinggi di Kupang mengikuti kuliah umum bertema "Menata Kultur Demokrasi dalam Semangat Kebangsaan" itu. Tampak di antaranya Uskup Agung Kupang Mgr Petrus Turang Pr, Rektor Unika Widya Mandira Pastor Yang Bele SVD MA. Karena banyaknya pengunjung, ada yang harus puas mendengar kuliah umum itu hanya dari luar ruangan. Bahkan, ada yang terpaksa berjejalan sekitar mobil pemancar RRI Kupang yang menyiarkan langsung kuliah tersebut.
Menyebut sejumlah tokoh pemikir demokrasi, antara lain seperti Tan Malaka, menurut Abdurrahman Wahid, konsep demokrasi yang dirumuskan tidak hanya merujuk pada konsep Barat. Demokrasi di Indonesia juga mengadopsi konsep yang hidup dalam tradisi masyarakat, seperti tradisi ketaatan atau tunduk terhadap hukum, berunding atau berembuk, dan lainnya.
Namun, dalam perjalanannya, tradisi demokrasi itu malah tidak berkembang. Kendalanya, selain karena komitmen berdemokrasi hanya dimiliki masyarakat atau belum menjadi komitmen para pemimpin bangsa, juga karena ada banyak peraturan perundangan di negeri ini yang justru tidak menutup kemungkinan mengembangkan budaya demokrasi, atau sebaliknya hanya mengekalkan kekuasaan.
Universitas Katolik ini bernama Widya Mandira, yang dari bahasa Sansekerta berarti menara ilmu. Nama ini, kata Abdurrahman Wahid, merupakan alah satu contoh galian dari tradisi leluhur kita. Ia memberi contoh, tahun 1980 ia bersama sebuah lembaga penelitian di Jakarta berkesempatan meneliti 14 budaya daerah, termasuk Ngada di Pulau Flores (NTT). Penelitian antara lain terkait sistem hukum adat dalam tradisinya. Sayang peneltian itu tidak diteruskan dan dihidupkan sehingga konsep berdemokrasi dari tradisi masyarakat menjadi tidak berkembang.
Menurut dia, ada dua pilar perjuangan dalam berdemokrasi. Pertama, penegakan kedaulatan hukum serta perlakuan yang sama di depan hukum. Hukum itu harus dilaksanakan secara konsekuen dan tuntas. Hal-hal tersebut adalah aspek yang tidak dapat dipisahkan, atau harus ada dalam demokrasi. Demokrasi kita sekarang ini lelucon yang tidak lucu. Hanya mementingkan simbol-simbolnya, tanpa melihat perkembangannya dalam masyarakat, katanya.
Apakah kita belum siap berdemokrasi? Menurut mantan presiden itu, hal itu tidak benar karena bangsa ini cukup lama bersama dalam kebhinnekaan tanpa friksi.
Sementara Rektor Unika Widya Mandira Kupang Pastor Yan Bele SVD MA mengatakan, tema dialog "Menata Kultur Demokrasi dalam Semangat Kebangsaan" adalah topik strategis yang diperlukan sebagai bekal bagi anak bangsa dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Menurut Rektor, kebesaran Indonesia karena keanekaan budayanya. Namun, ada pula yang berpandangan bahwa keanekaan budaya sebagai kendala berdemokrasi. Proses dialog yang mendewasakan kultur demokrasi di Indonesia, dinilainya belum mengalir dalam semangat kebangsaan yang manusiawi.
Sumber: Gusdur. Net
No comments:
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.