Pemilu Legislatif 2009 tinggal menunggu hitungan hari. Partai Politik dan para caleg kontestan dalam konstelasi demokrasi itu kian hiruk-pikuk dalam kesibukannya merebut simpati rakyat. Pelbagai instrument kampanye seperti stiker, kalender, baliho, bendera, dan lain sebagainya bertebaran di mana-mana. Slogan janji dan promosi diri yang agaknya menggelitik memenuhi ruang media baik cetak maupun elektronik. Semuanya bertujuan untuk sosilaisasi diri dengan berharap dikenal dan kemudian dipilih. Seperti itulah mental-mental para politisi Indonesia yang tunggu pemilu baru mau mendekati, mengetahui dan mengenal situasi masyarakat. Memprihatinkan.
Dinamika hiruk-pikuk menuju pemilu legislatif April 2009 mendatang juga tidak terlepas dari “stress politik” yang dialami oleh caleg-caleg yang bernomor urut kecil akibat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008 yang menetapkan bahwa penetapan kemenangan calon legislatif tidak berdasarkan nomor urut tetapi berdasarkan suara terbanyak.
Di tengah kesibukan Parpol dan para caleg melakukan promosi muncul kekuatan politik golongan putih (Golput). Golput bagaikan momok pemangsa kekuatan parpol dan merongrong demokrasi, serta ancaman bagi para caleg. Menyadari dan mengantisipasi pengaruh dan kekuatan politik golput ini, tidak tanggung-tanggung Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengaharamkan golput (Kompas, 27/01/2009: 3). Namun tak pelak, beragam rekasi dan tanggapan pun muncul baik pro maupun kontra. Misalnya, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan dekati golput dengan dakwah, bukan dengan fatwa.
Politik Golput
Golput telah menjadi kekuatan politik sejak Orde Baru masih berkuasa. Adalah Arief Budiman yang membidani lahirnya golput. Esensinya adalah perlawanan terhadap rezim Orba yang otoritarianisme dan menafikan perbedaan pilihan politik. Pamilu tidak lebih dari rekayasa politik dan sekedar seremonial belaka. Saluran komunikasi dan aspirasi politik tertutup untuk perubahan. Padahal masyarakat menghendakinya demi kesejateraan kehidupan sosial.
Reformasi 1998 bergulir dengan tuntutan reformasi total atas seluruh aspek kehidupan sosial. Namun pada aspek sosial politik – golput tetap menjadi kekuatan politik tersendiri. Bahkan pada pemilu legislatif 5 April 2004 lalu golput menang dengan mencapai angka 23,34% (34,5 juta suara). Artinya bahwa antara pemilu pra-reformasi dan pasca-reformasi tidak perubahan sistem politik yang signifikan. Perubahan hanya terjadi di atas permukaan tetapi tidak menyentuh subsatansi demokrasi itu sendiri.
Golput sebagai pilihan politik merupakan sikap sengaja untuk tidak memberikan hak suara dalam pemilu. Sikap politik ini muncul karena adanya political distrust yakni ketidakpercayaan terhadap pranata politik dan juga kecewa dengan situasi politik Indonesia. Dengan demikian, tuntutannya adalah perbaikan sistem secara fundamental serta berpolitik secara etis dan berjuang demi kesejahteraan rakyat.
Involusi politik
Agenda reformasi total yang belum tuntas dalam menata sistem politik Indonesia masih merupakan pekerjaan rumah. Perkembangan kehidupan sosial politik di negeri ini sepertinya mengalami kemandegan. Kelihatannya sudah terjadi perubahan tetapi susungguhnya belum. Meminjam istilah Geertz (1976), Indonesia sedang mengalami semacam involusi yakni suatu kondisi yang menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan sosial tetapi perubahan itu berjalan di tempat.
Dalam kaitannya dengan demokrasi, George Sorensen (1993), seorang teoritisi politik dari gugusan Negara-negara Skandinavia mengembangkan konsep demokrasi beku (frozen democracy) untuk menggambarkan suatu kondisi masyarakat di mana sistem politik demokrasi yang sedang bersemi berubah menjadi layu karena berbagai kendala yang ada. Akibatnya, proses perubahan politik tidak menuju pada pembentukan tatanan sosial politik yang demokratis tetapi sangat mungkin berjalan menyimpang atau berlawanan dengan arah yang dicita-citakan.
Setidaknya ada empat indikator demokrasi beku yang dikembangkan oleh Sorensen dan sangat relevan dengan perkembangan dan situasi politik Indonesia. Pertama, ekonomi yang sempoyongan baik di tingkat nasional maupun lokal. Terlepas dari klaim pemerintah soal peningkatan dan kemajuan perekonomian Indonesia saat ini tetapi yang pasti bahwa masyarakat akar rumput masih tetap hidup dalam penderitaan dan kemiskinan. Kedua, mandegnya proses pembentukan masyarakat warga (civil society). Secara makro ada kecenderungan penguatan masyaraklat madani dengan berbagai kegiatan yang mencoba mengkritisi kebijakan pemerintah. Namun, kecenderungan itu tidak diimbangi dengan ketertiban sosial atau keberadaban masyarakat (civility). Ketiga, konsilidasi sosial politik yang tidak pernah mencapai soliditas tetapi cenderung semu. Idikator ini sangat kental dalam sikap dan mental politisi di negeri ini. Mereka masih sekedar memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Elite politik belum mampu melakukan kerjasama-kerjasama dalam rangka mewujudkan integrasi nasional karena kepentingan kelompoknya tidak diakomodasi sehingga berdampak pada perpecahan di level masyarakat. Keempat, penyelesaian masalah-masalah sosial politik masa lalu yang tidak tuntas misalnya kasus pelanggaran HAM, KKN, dan lain-lain yang merupakan warisan pemerintah sebelumnya. Hal ini melahirkan sikap apatis dan apolitis dari masyarakat terhadap pemerintah.
Dalam kekalutan atas situasi politik yang demikian, rakyat hanya bisa pasrah dan bertanya kapan perubahan dan kesejateraan di negeri ini terwujud? Jika pemerintah, partai politik, dan juga elite-elite politik menyadari betul apa yang sedang dialami oleh masyarakat Indonesia maka tidak ada hal lain yang perlu diperjuangkan selain kesejateraan umum masyarakat dalam segal aspeknya. Untuk mewujudkan kesejateraan itu tentu membutuhkan perjuangan, keberanian, keyakinan, dan visi yang jelas. Ingat bahwa demokrasi bukan sekedar sistem tetapi merupakan roh yang hidup dalam setiap masyarakat melalui gerakan-gerakan akar rumput. Dia merupakan konsekuensi dari perjuangan, visi, dan pilihan.
Nilai-nilai itu tidak diredusir untuk memperjuangkan kepentingan partai dan pribadi. Tidak juga dipoles dalam slogan-slogan semu yang mengelitik masyarakat. Rayat membutuhkah wakil yang mampu berkerja nyata dan bukan wakil rakyat yang tukang bolos dan koruptif. Buatlah kami percaya terhadap Anda.
Lodovitus Dandung (Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Madiun periode 2007-2008)
Sumber: PMKRI.
No comments:
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.