Politik Uang dan Penggelembungan Suara

Akhir-akhir ini isu politik uang (money politics) pasangan calon presiden-wakil presiden di tengah masa kampanye mulai merebak. Anung Karyadi, Direktur Advokasi Transparansi Internasional Indonesia (TII), mengatakan bahwa TII melakukan berbagai macam pencarian data di 53 kabupaten di sekitar 20 provinsi.

Semua calon presiden pada intinya melakukan praktek-praktek politik uang. Ada yang langsung membagi-bagikan uang, dijanjikan oleh tim sukses dalam bentuk bantuan uang transpor bagi yang mengikuti kampanye, menjanjikan bantuan atau memberi bantuan kepada kelompok tertentu seperti tokoh masyarakat, kiai, dan juga pondok pesantren, memberikan door prize atau hadiah yang diundi ketika kampanye berjalan, pengobatan massal, pembagian makanan, pembagian sembako, membagi-bagikan jam tangan dengan merek-merek calon, hingga pemberian beasiswa (Radio Nederland, 22/6).

Bahwa politik uang untuk pemilu presiden-wakil presiden dapat membuat didiskualifikasinya (dibatalkannya) pasangan calon presiden oleh KPU. Hal ini dilakukan setelah terlebih dulu kasus ini terbukti di pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sayangnya, ketentuan mengenai politik uang dalam UU No. 23/2003 tentang Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden (UU Pilpres) mengandung beberapa kelemahan.

Dalam Pasal 42 UU Pilpres diatur ketentuan verbod (larangan) bahwa pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih, dan jika terbukti melakukan pelanggaran tersebut berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU.

Kelemahan normatif ini terletak pada dua unsurnya, yaitu "pasangan calon dan/atau tim kampanye" dan "mempengaruhi pemilih" yang harus terbukti di pengadilan. Pemeriksaan di pengadilan tentang politik uang ini akan menggunakan ketentuan Pasal 90 UU Pilpres bahwa, "Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara...."

Cara membuktikan unsur "mempengaruhi pemilih", pengadilan biasanya akan bersandarkan bukti-bukti otentik yang dapat dilihat dan didengar. Misalnya, ada rekaman suara (alat bukti ini terkadang dianggap lemah), atau ada bukti tertulis bahwa benar dilakukan untuk mempengaruhi pasangan calon presiden-wakil presiden tersebut. Tentunya hal ini sulit didapatkan, sehingga meski politik uang ini dilakukan oleh salah seorang tim kampanye, jika unsur "mempengaruhi" tidak terbukti, pengadilan kemungkinan besar tidak akan menghukumnya.

Modus seperti ini dapat dilakukan dengan anatomi politik uang yang diungkapkan TII di atas, tetapi juga bisa dilakukan ketika pasangan calon presiden-wakil presiden dan/atau tim kampanye berkunjung ke pasar, kemudian membeli jualan dengan harga yang berkali-kali lipat kepada si penjual. Hal ini sesungguhnya adalah politik uang, tetapi pengadilan biasanya kurang progresif membangun logika bahwa hal tersebut dilakukan untuk mempengaruhi pemilih.

Kelemahan ini sesungguhnya dapatlah ditutupi apabila penyidik, penuntut, dan hakimnya berpikir progresif bahwa terbuktinya unsur "mempengaruhi pemilih" cukup dengan logika sehat ketika terbukti menjanjikan/memberi uang atau materi kepada pemilih pada masa kampanye hingga masa pemungutan suara, hal tersebut dapat dikualifikasikan "mempengaruhi".

Bahwa di saat-saat seperti pemilu ada kepentingan terhadap seseorang (pemilih) kemudian timbul sifat kedermawanan, hal tersebut dikualifikasikan "mempengaruhi" dengan cukup ada saksi yang menyatakan bahwa tersangka/terdakwa tersebut memberi/menjanjikan uang atau barang kepada saksi atau membeli jualannya berkali-kali lipat, maka hal itu dapat dikategorikan mempengaruhi.

Kelemahan lainnya bahwa meski unsur mempengaruhi dapat terbukti, "unsur pasangan calon presiden-wakil presiden dan/atau tim kampanye" tidak terbukti, maka pasangan calon presiden-wakil presiden tidak dapat didiskualifikasi. Artinya, meski di pengadilan terbukti bahwa terdapat pemberian/janji uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih, ternyata pelaku tersebut meski telah dipidana, ternyata bukanlah pasangan calon presiden-wakil presiden atau bukanlah orang yang terdaftar secara yuridis sebagai tim kampanye, maka politik uang ini tidak dapat membuat pasangan calon presiden-wakil presiden didiskualifikasi.

Kelemahan yuridis inilah ada kemungkinan akan dimanfaatkan oleh pasangan calon presiden-wakil presiden bahwa politik uang tidak dilakukan oleh pasangan calon dan/atau tim kampanye, tetapi dilakukan oleh orang-orang dekatnya, simpatisan, atau fans club pasangan tersebut untuk memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih, sehingga pasangan calon tersebut tetap akan aman dari jeratan diskualifikasi KPU.

Namun, sebenarnya, hal ini pun masih dapat ditransplantasikan dengan pasal "penyertaan (deelneming)" KUH Pidana "menyuruh melakukan, turut melakukan", atau lebih progresif lagi dengan menerapkan logika bahwa politik uang ini lahir dari "pembiaran melakukan" yang seharusnya diketahuinya, tetapi tidak mencegah terjadinya politik uang untuk mempengaruhi pemilih, sehingga tindak pidana politik uang ini yang meski dilakukan bukan oleh pasangan calon dan/atau tim kampanye tetap dapat terkategori dilakukan oleh pasangan calon dan/atau tim kampanye sehingga KPU tetap dapat mendiskualifikasinya.

Kelemahan lain, politik uang tidak sesungguhnya tidak limitatif mempengaruhi "pemilih", tetapi juga mempengaruhi "penyelenggara pemilu" yang dapat dilakukan mulai di tingkat TPS, PPS, PPK, KPU kabupaten/kota dan/atau KPU provinsi. Politik uang seperti ini biasanya bermodus "kesalahan penjumlahan" atau penggelembungan suara. Politik uang ini relatif lebih mudah dengan memberi/atau menjanjikan uang atau materi, misalnya, kepada petugas KPPS yang honornya relatif kecil, sekitar Rp 60 ribu lebih.

Bayangkan, TPS seluruh Indonesia berjumlah kurang-lebih 500 ribu, anggap saja salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden atau tim kampanye menguasai 100 ribu TPS dengan menambah/menggelembungkan cukup satu suara saja dengan modus "kesalahan penjumlahan", maka ketika dikumpulkan, akan terjadi penggelembungan 100 ribu suara. Tentunya angka ini signifikan guna terpilihnya pasangan calon presiden-wakil presiden tersebut. Hal ini telah dijumpai dalam perkara perselisihan pemilu legislatif di Mahkamah Konstitusi. Terkadang perbedaan tiga suara saja, cukup mempengaruhi perolehan kursi partai politik.

Modus ini dapat dilakukan secara berjenjang di tingkat PPS dan seterusnya dan ternyata hanya dapat dijerat dengan ketentuan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan pasangan calon tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suaranya berkurang, atau mengubah hasil penghitungan suara dan/atau berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, diancam dengan pidana penjara (Pasal 91 UU Pilpres). Namun, meski terbukti tindak pidana ini, KPU tidak dapat mendiskualifikasinya untuk segera tidak diperhitungkan terpilih atau lolos pada putaran kedua.

Hanya Mahkamah Konstitusi yang dapat "tidak meloloskan"-nya pada putaran kedua atau membatalkan terpilihnya menjadi presiden. Namun, itu pun apabila penggelembungan suara (kesalahan hasil penghitungan suara) pada pasangan calon presiden-wakil presiden tersebut angkanya signifikan mempengaruhi terpilihnya pasangan calon (pemohon) untuk lolos pada putaran kedua atau terpilih menjadi presiden-wakil presiden dan itu mampu dibuktikan oleh pemohon.


Penulis: Irmanputra Sidin
Asisten Hakim Konstitusi RI
(Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.)
Sumber: Info Anda.

No comments:

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.