APBN Naik, Rakyat Tak Sejahtera

Kekayaan alam Indonesia hanya dijadikan komoditas ekspor. Masyarakat tidak sadar lagi bahwa kekayaan alam adalah modal untuk membangun bangsa dan negara.

Hal ini dikatakan pengamat ekonomi Hendri Saparini saat deklarasi Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia di Perpustakaan Nasional Salemba Jakarta, siang ini (Selasa, 9/2).

Hendri menjelaskan Indonesia memerlukan kebijakan dalam hal pengelolaan kekayaan alam. Karena ini menjadi modal untuk membiayai kewajiban negara sesuai dengan konstitusi Indonesia, penghidupan layak dan penyantunan anak yatim-piatu.

"Kebijkan APBN kita semakin lama cenderung hanya otak-atik akuntansi. Kebijakan belanja pemerintah tidak lagi dikaitkan dengan amanat konstitusi Pasal 23 UUD 1945," kata Hendri.

Dia menegaskan politik anggaran Indonesia harus diluruskan. Untuk diketahui, jelasnya, APBN Indonesia terus meningkat dari Rp 221 triliun pada tahun 2000 menjadi Rp 1.047 triliun saat ini. Masalahnya, katanya, tidak ada peningkatan kesejahteraan yang signifikan di masyarakat.

"Kebijakan perdagangan luar negeri bukan untuk meningkatkan daya saing guna menuju kemandirian ekonomi tapi hanya menjadi kepanjangan tangan dalam tatanan ekonomi global. Ini harus dihentikan. Harus ada satu kelompok kritis untuk menghentikannya," demikian Hendri.

Sumber: Rakyat Merdeka.



APBN Tidak Gerakkan Ekonomi



Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak mampu menjadi penggerak ekonomi dalam empat tahun terakhir. Oleh karena itu, harus dibuat ukuran keberhasilan APBn yang dikaitkan dengan kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Dengan politik anggaran, nasib masyarakat harus diubah. APBN harus menjadi kebijakan strategis,” kata anggota Komisi VI DPR Eriko Sotarduga di Jakarta, Selasa (26/1).

Akan tetapi, lanjut Eriko, APBN belum mampu menjadi pendorong ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Kriteria yang bisa dilihat adalah apakah APBN mampu membuat masyarakat memperoleh pekerjaan. Hal tersebut sulit dilakukan dalam empat tahun terakhir,” tegas dia.

Oleh karena itu, tambah Eriko harus dibuat suatu kriminal yang formal untuk menilai kesuksesan APBn. “Kami ingin agar APBN diukur dari kemampuan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat,” ujar dia.

Dari sisi belanja, menurut Eriko, APBN gagal membuat perekonomian bergulir karena penyerapannya yang minim. “Itulah yang membuat realisasi defisit jauh dari asumsi,” kata dia.
Pada 2008, realisasi defisit hanya 4,2 triliun rupiah, jauh dari target 94,5 triliun rupiah. Pada 2009, realisasi defisit adalah 87,2 triliun rupiah, sementara targetnya 129,8 triliun rupiah. “Daya serap belanja negara, terutama untuk belanja modal dan belanja barang, masih rendah, yaitu rata-rata 85 persen. Ini membuktikan bahwa manajemen fiskal masih lemah,” kata Eriko.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Putih Sari menyatakan pemerintah telalu agresif dalam menarik pembiayaan defisit. Padahal, pembiayaan tersebut tidak seluruhnya terserap dan menimbulkan beban. “Pada 2008, realisasi pembiayaan mencapai 84,07 triliun rupiah sehingga terjadi kelebihan pembiayaan 79,95 triliun rupiah. Ini akan menambah bebas fiskal di masa mendatang,” tegas Putih.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Anggito Abimanyu menyatakan pemerintah akan mengintensifkan belanja negara. “Kami akan antisipasi dengan mengebut belanja. Pembiayaan defisit tetap diamankan dengan kebijakan front loading,” kata dia.

Sumber: Sinar Indonesia Baru.

2 comments:

furniture minimalis said...

APBN naik hanyak untuk penguasa dan pejabat pemerintahan saja. alias korupsi mereka jadi ikutan naik juga. makanya rakyat tidak sejahtera

furniture minimalis said...

APBN naek tetapi korupsi juga naik. jadi rakyat tidak sejahtera.

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.