PANTASKAH kita menjadi negara miskin, mendekati negara-negara Afrika seperti Etiopia, Somalia, dan Sudan atau negara gurun pasir lainnya? Rasanya tak pantas, terutama bila ditilik dari posisi geografis dan lingkungan alamnya. Tetapi mengapa kita menjadi bangsa miskin dan membiarkan ratusan bayi mati di tempat pengungsian dan daerah-daerah bencana setiap minggunya? Apa sebetulnya yang terjadi? Dari mana datangnya kemiskinan itu? Menurut SH Alatas, yang melakukan riset mendalam tentang soal ini di kalangan bangsa Melayu (Indonesia, Malaysia, dan Brunei) kemiskinan itu datangnya dari konstruksi yang dibuat peneliti-peneliti kolonial yang "memandang Melayu dari atas kapal atau benteng" lalu membuat kesimpulan.
Konstruksi itu berupa pencitraan bangsa Melayu sebagai bangsa pemalas yang suka mencambuk kerbau atau sapi (yang juga simbol kemalasan) untuk membantunya bekerja. Dalam proses penaklukan Indonesia, konstruksi itu digunakan pemerintahan Belanda untuk menggolongkan bangsa Melayu sebagai bangsa kelas tiga, di bawah bangsa Eropa dan Timur Asing. Lebih jauh "politik pemiskinan" itu digunakan untuk merekrut tenaga-tenaga profesional pribumi sebagai pegawai rendahan pasca-politik etis.
Bahkan P Brooshooft, orang Belanda yang kemudian dikenal sebagai penganut aliran politik etis, ketika melewati fase pertama kehidupannya di Hindia Belanda (Jawa) dalam tulisan berjudul Het Leven in Indie (Kehidupan di Hindia) menggambarkan orang Jawa sebagai "...anak... yang hatinya baik, tetapi menyusahkan karena sifatnya yang tidak kelesa (tidak ada terjemahan kata ini. IJP), lebih cenderung berbohong daripada melakukan kejahatan, lebih cenderung malas daripada tidak peduli, tidak bodoh tetapi juga tidak memiliki bakat cemerlang, dan amat pasti tidak akan pernah memainkan peranan di gelanggang dunia selain daripada peranan pasif". (Elsbeth Locher - Scholten, 1996:12).
Konstruksi ini pula yang dikembangkan "kolonialis-kolonialis pribumi" dengan memberikan tempat rendah kepada pekerja-pekerja Melayu yang memang sudah malas. Bahkan para politisi aliran ekstrem menggunakan kenyataan pahit ini untuk mencari simpati dan dukungan politik, dengan sikap anti-asing dan anti-non-Melayu yang begitu tinggi. Dalam hal ketenagakerjaan, misalnya kegiatan mengekspor para pembantu rumah tangga (ke Arab Saudi) dan kuli perkebunan (ke Malaysia dan Brunei) telah menjadi lahan empuk meraih devisa, demikian juga dengan pemberian upah buruh murah di pabrik-pabrik investasi bangsa asing, baik Barat dan Timur. Pola-pola lama kolonialisme, tentu dengan perubahan tata bahasa, tetap dijalankan bahkan cenderung meluas. Dulu "koeli kontrak" didatangkan dari Jawa ke Sumatera Timur, kini mereka dikirim ke luar negeri.
Padahal kita mengenal Borobudur, suatu karya monumental yang menunjukkan ketelitian, keuletan, dan kerja keras manusia-manusia Indonesia di masa lalu. Memang ada kemungkinan pekerja-pekerjanya berasal dari kalangan budak, baik budak belian atau tawanan perang, mengingat bangunan itu luar biasa besarnya untuk ukuran zamannya. Sayang tidak ada catatan sejarah tentang jumlah pekerja yang digunakan untuk membangunnya, serta berapa yang mati, sebagaimana data-data pekerja yang mati ketika jalan dari Anyer ke Panarukan dibangun Daendels, seperti pembuatan tembok besar Cina dan piramida Mesir yang pasti memakan korban.
Namun patut dicatat, perbudakan telah memberi kontribusi penting di zamannya untuk membangun apa yang dikenal "keajaiban dunia" sekaligus kebiadabannya. Kini perbudakan itu muncul dalam bentuk mentalitas kepemimpinan, termasuk kepemimpinan politik, yang menandakan kita tidak lebih maju dari masa sebelumnya, meski sejarah tidak mengenal "kemajuan" atau "kemunduran". Suara rakyat tidak lebih dari sekadar "budak politik" yang digunakan untuk melakukan apa saja, termasuk untuk memiskinkan rakyat demi tujuan politik perseorangan atau kelompok.
***
PANTASKAH kita menjadi miskin? Rasanya tidak. Kemiskinan kita hanya kamuflase dari keterpurukan mentalitas sebagai bagian dari pengembangan mitos pribumi malas. Sejak semula kita tidak dididik menjadi bangsa semut atau lebah, tetapi dididik menjadi bangsa kuli, atau nyamuk yang suka menghisap darah orang sambil menyebarkan penyakit menular bersama isapannya. Dalam bahasa lebih umum, kita bagian dari bangsa lintah (ingat istilah "lintah darat" yang populer di masyarakat) yang suka gendut mengisap darah korban, dan bekas gigitan itu terus-menerus meneteskan darah.
Mengapa kita tidak pantas miskin? Dalam perjalanan darat dari Jakarta ke Sumatera Barat pada liburan panjang peralihan 2000-2001, amat bermanfaat bagi saya untuk melihat bagian Indonesia, lagi dan lagi. Di sepanjang jalan, banyak tanah-tanah kosong-hutan atau lahan yang ditinggalkan-ketimbang rumah-rumah penduduk. Banyak yang hanya diambil kayunya, lalu dibiarkan telantar.
Padahal, tanah adalah syarat utama untuk lepas dari kemiskinan. Dengan adanya tanah saja Indonesia lumayan kaya-raya, terlepas dari segala jenis persoalan yang menyangkut tanah dan distribusinya yang disebut aktivis pertanahan dengan istilah "tanah untuk rakyat" atau di kalangan pengamat sebagai land-reform. Ketika Jepang melakukan apa yang disebut Restorasi Meiji, kebijakan pertanahan juga menjadi prioritas. Alasan utama kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Amerika juga untuk mendapatkan tanah. Begitu juga konflik Arab-Israel tak lepas dari soal "tanah yang dijanjikan". Di Indonesia, tanah ditelantarkan dan ini tentu membawa kemiskinan.
Selanjutnya apa yang tumbuh di atas tanah. Sepanjang mata memandang, di kampung saya, atau di Kabupaten Padang Pariaman umumnya, pasti yang dilihat adalah pohon kelapa. Dulu di kenagarian saya ada lebih dari lima pabrik minyak kelapa, kini habis. Harga buah kelapa hanya Rp 100/butir, amat berbeda dengan di awal krisis Rp 1.000/butir (di Jakarta mencapai Rp 5.000/butir).
Kini untuk menurunkan buah kelapa dari pohon, upahnya mesti dihitung sepertiga bagian untuk yang mengerjakan, padahal dulu hanya satu butir per sepuluh butir. Rakyat kecil di daerah saya menyebut Gus Dur sebagai penyebab turunnya harga kelapa. Informasi ini tentu datang dari politisi lokal. Padahal dari pemberitaan dan informasi lain, harga kelapa turun seiring hasil panen kelapa sawit yang dilakukan besar-besaran, termasuk rencana pengembangannya yang melibatkan banyak kepala daerah di Sumatera.
Mungkin benar, harga kelapa turun karena politik, terutama soal perencanaan perekonomian rakyat yang dikerjakan para politisi yang juga kebanyakan berbisnis, baik langsung ataupun tidak langsung. Kegiatan ini, di masa Orde Baru, menimpa perkebunan cengkeh (BPPC), tebu, dan beras (Bulog). Inilah contoh-contoh kecil akibat politik pemiskinan yang dijalankan, yang mungkin luput dari retorika elite-elite politik, baik lokal atau nasional.
***
SAYA tentu tak ingin menulis tentang pertanahan, karena banyak yang ahli. Bahkan puluhan perguruan tinggi dibangun untuk mengurus soal tanah, begitu juga sejumlah kementerian. Tetapi mengapa tanah tetap tidak membawa kesejahteraan bagi rakyat miskin desa? Dari mana asalnya kemiskinan itu? Dari uraian singkat ini asalnya, menurut saya, adalah mentalitas (lebih luas kebudayaan) dan politik. Keduanya bersumber dari para pimpinan negara, pemerintahan, juga politisi yang ternyata gagal melakukan proses dekonstruksi kolonialisme dalam segala bentuk dan variabel turunannya.
Para pemimpin kita juga gagal melakukan proses pendidikan politik wajar yang menyangkut hak-hak rakyat akan tanah (lebih jauh kesejahteraan) karena mereka sibuk mengurus minyak (yang juga berasal dari tanah) dan utang luar negeri. Sebagai pemimpin, mereka buta akan tanah, karena mungkin tak mengalami kehidupan petani miskin yang menggantungkan hidupnya dari tanah dan tanah.
Krisis sejak September 1997 dan menginjak tahun keempat, tidak menunjukkan tanda-tanda menyusut. Bahkan sudah menghadang krisis gelombang II yang datang berimpitan dengan bencana alam, violence, dan pertikaian elite politik yang mengaku pemimpin bangsa. Tingkat pengangguran mencapai hampir 20 persen dari 205 juta penduduk (data BPS terbaru), dengan sekitar dua juta sampai tiga juta penganggur terdidik, siap menjadi bom waktu yang akan menghancurkan ekonomi Indonesia, jika kesabaran mereka habis ditelan waktu dan ketidakpastian. Kondisi ini amat berbeda dengan Irak yang selama 10 tahun diembargo Amerika dan sekutunya. Rakyat Irak masih punya harapan.
Sedangkan rakyat Indonesia masihkah punya harapan atau apa yang lebih sering dikembangkan menjadi utopia? Saya kira ini persoalan orang per orang, meski menurut beberapa polling dan penelitian baik yang dilakukan lembaga penelitian atau media massa-tingkat kepercayaan (sekaligus penitipan harapan) rakyat kepada pemerintah dan politisi makin menurun. Bahkan secara bisik-bisik atau terang-terangan, masa Soeharto (atau lebih luas lagi diktatorisme) kembali dirindukan. Keadaan ini berbanding lurus dengan apa yang terjadi di Rusia ketika pemerintah tak bisa menyediakan roti di toko-toko pasca bubarnya komunisme dan Soviet. Semua persoalan ini terpulang kepada pertanggung-jawaban elite-elite politik, sebab kalau tidak hati-hati harapan atau utopia yang tinggal sedikit itu bisa berubah menjadi ilusi kosong yang tidak berpijak pada realitas.
Seorang utopis, bagi Karl Popper, "Akan mencari kota surgawinya di masa lalu atau di masa depan, mungkin memohon kembali ke alam atau menuju dunia cinta dan keindahan, tetapi imbauannya selalu tertuju pada emosi kita dan bukan kepada pikiran kita. Bahkan dengan maksud paling mulia untuk menciptakan surga di muka bumi sekali pun, utopia hanya berhasil mengubahnya menjadi neraka, yaitu neraka yang dipersiapkan oleh manusia sendiri bagi teman-temannya." Padahal, Indonesia adalah soal hari ini, konkret, nyata. Kemiskinan adalah soal hari ini, juga politik.
Dalam hitungan waktu yang dihitung mundur sejak pukul 00.00 tanggal 1 Januari 2001, menjelang meletusnya "bom-bom dehumanisasi" sebagai titik kulminasi frustasi masyarakat luas yang marginal, perlu upaya lebih serius dengan melakukan apa yang dikenal sebagai politik kemanusiaan. Politik yang selama puluhan tahun didekati secara ideologi, parsial, dan hitam putih, untuk sementara perlu ditinggalkan karena terbukti amat sekali mengundang masalah baru.
Penggunaan human approach dalam persoalan-persoalan politik harus dimajukan selangkah lebih ke depan, ketimbang penggunaan pendekatan-pendekatan lainnya (kawan-kawan, nasionalis-religius, orde baru-orde anu, dan sebagainya). Tentu saja pendekatan itu digunakan bersamaan dengan penegakan hukum dan upaya melakukan modernisasi politik. Human approach digunakan untuk menangani persoalan lebih dari 40 juta rakyat Indonesia, ketimbang pendekatan politik lain yang berbasiskan konstituen partai atau kedekatan ideologis dan personal dengan elite-elite politik.
Pendekatan kemanusiaan yang paling penting itu menyangkut penghapusan terhadap kemiskinan, baik kultural atau politik. Politik tidak lagi menjadi liar dan irasional, jika perut rakyat tidak lagi lapar. Kemiskinan juga bukan soal salah atau benar, tetapi soal sehari-hari yang berpengaruh pada banyak dimensi dalam kehidupan, termasuk masa depan. Kemiskinan sudah dikenal sebagai persoalan struktural yang menyangkut politik kekuasaan, serta menjadi persoalan kultural sebagai timbunan dari proses historis yang tanpa disadari sudah menjadi bagian dari mentalitas bangsa. Pada akhirnya, penghapusan kemiskinan menjadi titik kunci penyelesaian masalah-masalah besar bangsa Indonesia. Akankah persoalan penghapusan kemiskinan ini menjadi utopia? Entah.
* Indra J Piliang, pengamat sejarah dan politik, kini staf peneliti Departemen Perubahan Politik dan Sosial CSIS Jakarta.
Kompas, Senin, 12 Maret 2001
No comments:
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.