Soal Perangkapan Jabatan Publik dan Parpol "Good Governance" Masih Sulit Terwujud

Harapan masyarakat agar pejabat publik melepaskan jabatannya di partai
politik (parpol) memang belum diatur dalam sebuah undang-undang.
Perlunya larangan perangkapan jabatan publik dan pengurus parpol lebih
didasarkan pada aspek etika dan moralitas. Melihat aspirasi dari
kalangan parpol untuk tetap merangkap jabatan publik dan aktif di
parpol, paling tidak mengindikasikan bahwa sebuah pemerintah yang
berkualifikasi good governance (pemerintahan yang baik dan bersih)
masih akan sulit terwujud.

Pandangan itu disampaikan guru besar hukum administrasi Universitas
Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Dr Muchsan SH kepada Kompas di
Yogyakarta, Selasa (14/8). Fungsionaris parpol yang menempatkan
pimpinannya di eksekutif, seperti Ketua DPP Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) Tosari Wijaya dan Sekjen PDI Perjuangan Sutjipto
menolak ide pelepasan jabatan dengan alasan tidak ada aturan yang
mengatur masalah itu.

Pengamat politik Prof Ramlan Surbakti bisa memahami mengapa pimpinan
parpol yang sudah mendapat jabatan di eksekutif keberatan atau bahkan
tidak mau melepaskan jabatan pimpinan teras partai politik.

Menurut Ramlan, yang juga Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU),
seorang pimpinan partai akan lebih eksis dan mengakar apabila yang
bersangkutan masih tetap menjabat sebagai ketua umum, ketua, atau
sekretaris jenderal (sekjen) partai. "Dengan sistem yang ada sekarang,
mereka tentu akan lebih berkuasa di partai. Mereka maunya berdiri di
atas dua kaki," katanya.

Ramlan juga melihat, keengganan ketua umum partai, ketua partai, dan
sekjen partai melepaskan jabatannya tidak lepas untuk posisi strategis
di masa mendatang dalam Pemilu 2004, yakni untuk pemilihan
presiden/wakil presiden.

Tidak hanya hukum

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 1999 yang disempurnakan PP No
12/1999 tentang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang Menjadi Anggota Parpol
hanya mengatur soal larangan rangkap status antara PNS dan pengurus
atau anggota parpol, sedangkan Presiden, Wapres, dan anggota kabinet
bukanlah PNS.

Tentang belum adanya aturan perundang-undangan yang melarang jabatan
pada kabinet dan parpol, Muchsan mengatakan, dalam sebuah negara yang
masih sedang belajar menata kehidupannya, jangan berharap di
Indonesia, semua perangkat hukum sudah tersaji di depan mata. Tidak
semua masalah harus mengacu pada hukum formal karena perangkat hukum
masih tertatih-tatih mengikuti perkembangan situasi.

Muchsan menegaskan, dalam konteks menerima dan menjalankan tanggung
jawab jabatan publik, jangan terpaku pada aturan formal yang ada. Jika
selamanya mengacu ke sana, maka naluri manusia sebagai oportunis yang
akan berbicara. "Akan lebih baik jika kita ke depankan aspek etika dan
moralitas. Jangan menyoal Undang-Undang yang belum ada sebab
perdebatannya bisa panjang. Wong, Undang-Undang yang ada saja
kadang-kadang dicari celahnya untuk dimainkan sesuai kepentingan,"
papar Muchsan.

Pelayanan publik

Muchsan meragukan lahirnya sebuah pemerintahan yang berkualifikasi
good governance jika sebagian menterinya masih ikut mengurus parpol.
Begitu seseorang diangkat menjadi menteri, yang bersangkutan dengan
sendirinya menyandang predikat eksekutif pemerintahan yang
difasilitasi oleh negara.

Dia menambahkan, konsekuensi dari seorang eksekutif pemerintahan
adalah berkewajiban mengedepankan fungsi pelayanan publik. Sebagai
pembantu dari Presiden/Kepala Pemerintahan, setiap anggota kabinet
harus melayani publik. Publik yang dimaksud adalah semua golongan dan
lapisan masyarakat tanpa memandang latar belakang sosial, politik,
budaya, politik, dan ekonomi.

"Bagaimana mungkin seorang anggota kabinet bisa memenuhi prinsip
pelayanan publik jika yang bersangkutan masih merangkap jabatan di
parpol. Lagi pula, apa iya, seorang pejabat eksekutif bisa memusatkan
perhatiannya mengurusi pemerintahan jika sewaktu-waktu urusan partai
menyita waktunya," ujar Muchsan.

Bersedia diganti

Sekjen PDI Perjuangan Sutjipto, kemarin, mengatakan, isu pergantian
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati
Soekarnoputri, yang kini menjabat sebagai Presiden, tidak perlu
dibesar-besarkan. Sebab, sampai kini tak ada usulan kongres luar biasa
(KLB) dari kalangan kader PDI-P untuk mengganti ketua umum. Sekalipun
demikian, Megawati Soekarnoputri mau dan bersedia diganti, jika memang
benar-benar ada yang menginginkan.

Sutjipto, seperti dikutip Antara, mengutarakan hal itu di sela-sela
rapat konsultasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P dengan Fraksi PDIP
DPR di Jakarta, Selasa. Rapat itu dibuka oleh Ketua Umum PDI-P
Megawati Soekarnoputri, serta berlangsung tertutup bagi pers.

"Mbak Megawati berpesan supaya warga PDI Perjuangan tidak risau dalam
menghadapi suara-suara yang menghendaki KLB. Tidak usah ramai-ramai.
Tetapi, jangan sampai seolah-olah keinginan itu merupakan kehendak
rakyat," ucap Sutjipto.

Wakil Sekretaris F-PDIP DPR Firman Jaya Daely kepada Kompas pun
mengatakan, dalam rapat konsultasi itu tidak dibahas usulan supaya
pimpinan partai, termasuk ketua umum yang menjadi pejabat eksekutif,
melepaskan jabatan kepartaian.

Ditandaskan Daely, yang harus segera melepaskan jabatan adalah anggota
legislatif (MPR/DPR) yang kini menjadi pejabat eksekutif. Pelepasan
jabatan itu mutlak karena undang-undang memang tidak membolehkan
perangkapan jabatan antara legislatif dan eksekutif. Tak ada yang
melarang pimpinan parpol sekaligus menjadi eksekutif dalam
pemerintahan. "Jadi, tidak perlu dipersoalkan," tandasnya.

Namun berbeda dengan Daely, mantan Ketua F-PDIP DPR Dimyati Hartono
mengungkapkan, sebaiknya memang ada pemisahan antara jabatan eksekutif
pemerintahan dan pimpinan partai. "Saya sudah melontarkan gagasan ini
tahun 1999 ketika Mbak Megawati terpilih jadi Wakil Presiden,"
jelasnya.

Menurut Dimyati, perangkapan itu sangat memungkinkan timbulnya konflik
kepentingan. "Ini yang sebisa mungkin harus dihindari. Jadi, saya
setuju kalau ada yang menginginkan pemisahan itu," katanya.

Wakil Sekjen PDI-P Pramono Anung menegaskan, selama ini Megawati dapat
memisahkan antara tugas sebagai pemimpin partai maupun Wapres. "Semua
orang tahu dalam penyelenggaraan kenegaraan, PDI-P tidak ikut campur
tangan sama sekali. Ibu Megawati pun masih dibutuhkan di PDI-P. Beliau
tokoh pemersatu dan sampai sekarang belum ada suara-suara dari
institusi PDI-P yang meminta pergantian pimpinan," tegasnya.

Sistem presidensial

Secara terpisah, pengamat politik dari UGM Prof Dr Ichlasul Amal
mengatakan, dalam sistem pemerintahan presidensial, idealnya memang
setiap pejabat tidak punya jabatan rangkap di parpol. Hal semacam itu
lebih layak pada sistem parlementer.

"Masalahnya, pemerintahan di negara kita, secara konstitusi menganut
sistem presidensial, tetapi pada penjabarannya kerap kali menjadi
parlementer. Di sinilah rancunya, dan secara konstitusi belum ada
aturan larangan merangkap di parpol," kata Amal.

Untuk jangka pendek, Amal menyarankan agar kinerja anggota yang
merangkap jabatan di parpol harus diawasi ketat oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). Itu kalau memang ada kekhawatiran, menteri yang
bersangkutan menggunakan dana dan fasilitas negara untuk kepentingan
partainya dalam Pemilu 2004.

"Bisa jadi menterinya tidak korupsi, tetapi wujud lain dari
penyalahgunaan wewenang adalah dengan menunjuk orang-orang partainya
sebagai pelaku proyek tanpa kualifikasi memadai," ujar Amal.

Harus beri contoh

Aktivis pemuda Adhyaksa Dault dan Fajroel Rachman mengutarakan,
seharusnya Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil Presiden Hamzah
Haz memberi contoh kepada para pembantunya di kabinet. Keduanya harus
menanggalkan jabatannya di partai dan memusatkan perhatian untuk
mengelola negara sehingga mereka menjadi negarawan yang baik.

Fajroel mengatakan, "Saya kira bukan hal sulit bagi Megawati karena
dulu mendiang ayahnya melakukan hal yang sama. Kalau Megawati berani
melakukannya, Hamzah pun saya kira juga malu bersikeras memimpin
partainya," ujarnya.

Fajroel menambahkan, bila para pemimpin partai yang duduk di eksekutif
mau menanggalkan jabatannya, maka akan ada regenerasi yang sehat di
dalam kepemimpinan partai.

Sumber: Kompas.

No comments:

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.