SEIRING menghangatnya persaingan pilpres, mencuat isu "kesantunan politik". Pesan yang sering disampaikan: para kontestan dan tim sukses masing-masing perlu bersikap santun dalam menyampaikan pendapat dan kritik mereka (jangan menyerang pribadi, jangan gunakan kata-kata kasar, lebih baik mawas diri sebelum berkata-kata, dan seterusnya).
Yang berbuat seperti itu, tepatnya: yang dipersepsikan bertindak seperti itu, dikecam. Yang bersikap santun dan seterusnya itu dipuji-puji – dipandang sebagai politisi yang baik, atau sebagai tim sukses yang bertindak semestinya.
Tokoh sentral yang terlalu sering menekankan hal itu adalah Presiden SBY. Ia mengungkapkan hal yang sama pada banyak kesempatan dalam kampanye presidensial 2004, terutama di pekan-pekan terakhir masa kampanye di tahun itu.
Penekanannya kali ini terasa berlebih-lebihan, sampai ke tingkat yang mengharuskan kita merenungkan kembali apa dan bagaimana cara berpolitik yang benar. Penekanan yang berlebihan itu bisa membuat orang lupa atau abai pada substansi karena berfokus pada sekadar cara kontestan atau tim suksesnya berbicara atau menyampaikan pendapat maupun kritik terhadap lawan politik.
Sudah tentu keharusan berkata dan bersikap santun adalah norma sosial umum yang universal. Di Barat dan di Timur, di Utara dan di Selatan, demikianlah adanya. (Karena itu kritik terhadap sikap dan kata tak santun dengan 'argumen' bahwa 'kita menjunjung tinggi budaya Timur' adalah menyesatkan; 'budaya Barat' pun tak menerimanya sebagai norma; di sana pun, jika ada tokoh politik yang bersikap seperti itu, masih dianggap abnormal).
Namun jika norma sosial universal yang sudah diajarkan sejak kita masih anak-anak ini terlalu ditekankan dalam diskusi politik, apalagi dalam konteks pilpres yang akan berpengaruh besar pada kehidupan bangsa di masa depan, maka publik tidak akan mendapatkan apa yang semestinya mereka peroleh dari para kontestan dan politisi.
Dari mereka, publik tentu mengharap – atau seharusnya mengharap – sesuatu yang penting dan relevan dalam konteks kampanye politik. Yaitu: visi yang jelas tentang arah yang ingin ditempuh kontestan dalam perjalanan bangsa lima tahun ke depan. Jika mungkin visi itu mencakup semua bidang utama kehidupan, meski situasi mutakhir mengharuskan kita memprioritaskan sektor ekonomi.
Jika penyajian visi itu dilengkapi paparan tentang cara-cara mencapai tujuan besar itu secara gamblang, sistematis, mudah dipahami oleh rata-rata rakyat dan bisa diukur, publik tentu akan melihatnya sebagai bonus penting yang melegakan. Landasan semua itu adalah: analisis yang tepat terhadap situasi hari ini.
Sudah tentu analisis itu bisa berbeda di antara para kontestan, tergantung pola pendekatan dan garis argumen yang mereka pegang. Tak apa. Memang tak harus sama. Realitas memang selalu lebih kompleks daripada teori.
Yang penting: ada paparan jelas tentang hal itu, dan ada argumen penopangnya. Dengan segala keterbatasan pemilih, karena mereka pasti tak akan pernah memiliki seluruh data dan informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusan, biarlah pada akhirnya mereka yang memutuskan di bilik suara.
Apapun yang mereka pilih, hal itu pasti merupakan pengetahuan dan pengalaman yang berharga buat mereka. Sebab dalam prosesnya, yang diisi dengan masa kampanye yang bisa mereka saksikan selama beberapa pekan, wawasan politik mereka telah diperkaya oleh kompetisi visi dan argumen yang bermutu dari para kontestan.
Soal kesantunan, itu masuk wilayah kehidupan sosial umum. Jika ada kontestan yang dianggap tidak santun, boleh juga dikritik seperlunya – tanpa perlu menekankannya secara berlebih-lebihan sehingga sampai mengacaukan definisi tentang politisi yang baik.
Jadi, siapakah politisi yang baik itu? Jawabannya: politisi yang mengemukakan visi dan metode yang jelas, sistematis dan bisa diukur itu. Bukan politisi yang santun.
Kesantunan bicara juga bisa menyesatkan. Sikap dan tindakan, seperti juga bahasa, bukan hanya berfungsi mengungkapkan suara hati dan pikiran. Ia juga bisa menyembunyikannya. Fakta ini paling jelas terlihat dalam norma basa-basi dalam pergaulan.
Kalau saya ingin tamu saya cepat-cepat pergi dari rumah atau kantor saya, saya tidak akan mengatakan demikian – karena norma sosial melarang saya bertindak begitu. Saya justeru akan mencegahnya sambil mengingatkan sang tamu bahwa hari masih cukup pagi, jalanan toh masih macet, jadi sebaiknya kita lanjutkan obrolan, dst.
Politisi santun pun bisa begitu. Di balik kesantunannya, ia mungkin mengidap rencana tindakan yang berkebalikan daripada apa yang selama ini dikatakannya dengan penuh kesantunan.
Kesantunan juga salah satu saja dalam daftar nilai sosial yang disepakati keluhurannya. Selain santun, kita mengenal jujur, amanah, tegas, adil, berani, dsb. Dan dalam gelanggang politik, nilai-nilai lain di luar santun itulah yang lebih penting.
Hamid Basyaib
Penulis adalah Direktur Eksekutif Strategic Political Intelligence
Sumber: Inilah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.