Golkar, Antara Warisan Orba dan Reformasi

Eksistensi Golongan Karya sebagai partai politik pada dasarnya ditentukan oleh kemampuannya menjembatani rakyat dan pemerintah. Sebagai partai politik, Golkar berfungsi mengemas kehendak rakyat dan mengomunikasikannya ke dalam bahasa yang dapat diterima semua pihak yang berkepentingan. Kemasan yang baik dan komunikasi yang tepat arah menyebabkan Golkar sebagai partai politik populer.

Melalui popularitas inilah Golkar sebagai partai politik dapat memenangkan pemilu dan menempatkan para kadernya pada lembaga legislatif di pusat maupun daerah. Pernyataan tersebut setidaknya telah mengarahkan bahwa kepemimpinan di Golkar harus juga dipertimbangkan dalam aura politik saat ini.

Dipahami bahwa Golongan Karya semula dibentuk untuk memuluskan kinerja pemerintahan saat itu, sehingga kino-kino (kelompok induk organisasi) yang merupakan bentukan ABRI (khususnya AD) kemudian bergabung ke dalam Golongan Karya sebagai organisasi fungsional walaupun kemudian dalam kiprahnya, Golongan Karya bukan sebagai organisasi fungsional melainkan sebagai organisasi politik.

Wajar bila Golkar tumbuh lebih dari sebagai organisasi politik daripada sebagai organisasi fungsional. Pertumbuhan ini antara lain disebabkan karena Golkar menjadi jembatan kekuasan dari pusat ke daerah, selain itu karena Golkar sebagai organisasi politik lebih menjanjikan daripada sebagai organisasi fungsional, terutama dalam hal keuangan.

Dulunya, keuangan partai lebih disebabkan karena Golkar bertindak dan dipandang (nonlegal) sebagai salah satu struktur di pemerintahan. Jalur A (ABRI), B (Birokrasi) dan G (Golkar) yang merupakan organisasi onderbouw Golkar memudahkan struktur itu terjadi karena para kepala daerah dipilih dan diterjunkan dari pusat kekuasaan dan DPRD tinggal mengesahkannya. Hal itu memudahkan Golkar yang dipandang sebagai organisasi politik dan struktur pemerintah memperoleh keuangan partai untuk operasionalnya, baik untuk administrasi sehari-hari maupun untuk kegiatan lain. Keuangan partai ini berkonotasi dengan akomodasi massa, khususnya untuk kepentingan pemilu dan demi kepentingan pemerintahan.

Dari pendapat di atas, wajar kalau Golkar sebagai partai politik saat ini sangat berkepentingan dalam menentukan siapa pun yang akan menjadi kandidat Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Golkar. Hal ini berhubungan dengan warisan Golkar masa lalu yang saat ini menjadi partai politik, yaitu masalah keorganisasian, masalah keuangan, dan masalah etika politik. Ketiga hal ini dipandang penting untuk menentukan kandidat pemimpin Golkar mendatang.

Keorganisasian, jika Golkar dulu mencanangkan sistem sel dalam penggalangan massa antara lain melalui sistem karakter, ternyata saat ini sistem itu tidak berjalan dan cara ini berakibat pada rendahnya perolehan suara Golkar pada Pemilu 2009. Aburizal Bakrie (Arb), Surya Paloh (SP), Yuddi Chrisnandi (YC), Feri Mursyidan (FM), Tommy Soeharto (TS), mungkin juga Mbak Tutut dll., yang mencalonkan diri sebagai ketua umum dapat dilihat dengan ukuran tersebut. Adakah mereka memiliki kemampuan keorganisasian karismatik di dalam menyelesaikan masalah keorganisasian tersebut?

Aspek keuangan partai harus dilihat sebagai sumber daya bagi operasional partai. Jika keuangan tidak ada, maka operasional partai terganggu dan berarti terganggunya proses kepartaian. Dengan demikian, aspek ini ikut memegang peranan bagi keberadaan Golkar, sehingga siapa pun yang menjadi ketua umum partai, dia harus memiliki kemampuan keuangan untuk membiayai partai.

Hal ini berbeda dengan masa lalu di mana keuangan partai lebih banyak ditunjang oleh pemerintah. Dengan demikian, pemilihan ketua umum DPP Golkar harus juga mempertimbangkan masalah tersebut, apakah itu Arb, SP, YC, FM, dan TS, harus memiliki kemampuan untuk memisahkan keuangan pribadi dan keuangan partai. Di samping itu, akses sumber daya dan jejaring merupakan bahan pertimbangan pemilihan mereka.

Aspek ketiga menyangkut etika politik. Hal ini didasari bahwa Golkar sebagai partai politik ada sebagai akibat dari reformasi, dan gejolak reformasi pada dasarnya merupakan kritisasi terhadap sistem politik lama sehingga untuk keberhasilannya membutuhkan pengorbanan. Perlu diingat bahwa kritisasi tersebut merupakan pengejawantahan dari etika politik yang tidak berkenan oleh sebagian besar rakyat, sehingga wajar apabila etika politik seyogianya dijadikan ukuran bagi seorang ketua umum, sehingga selain persyaratan administratif, persoalan ini juga harus dijadikan syarat organisasi.

Persoalan etika politik berkaitan dengan kepercayaan massa pada pemilu mendatang dan pada sistem sel yang mau dikembangkan dengan harapan Golkar tidak lagi berada di persimpangan antara Golkar warisan sejarah dan Golkar baru hasil reformasi.

Golkar tidak pernah menjadi oposisi dan selalu ada di pemerintahan. Golkar selalu menjadi partner pemerintah, sehingga siapa pun yang akan dipilih untuk menjadi ketua umum perlu mempertimbangkan hal tersebut. (Samugyo Ibnu Redjo, dosen FISIP Unpad)


Sumber: PR.

No comments:

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.