Etika Politik Oleh Hidayat Nur Wahid

Sebagai insan yang senantiasa beriman dan bertaqwa kepada Allah Subhanawata’ala, Tuhan Yang Maha Kuasa, sudah sepantasnya kita bersama-sama mengucapkan Syukur Alhamdulillah kehadirat Illahi Robbi, karena dengan perkenan-Nya kita semua dapat hadir dalam keadaan sehat wal afiat pada acara wisuda Pasca Sarjana, Sarjana, Diploma III, serta Dies Natalis Universitas Nasional ke-57, saya atas nama pribadi dan selaku Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mengucapkan SELAMAT, saya turut berbahagia.

Bagi sebuah perguruan tinggi, melampaui usia 50 tahun bukanlah usia yang mudah dicapai, serta di tanah air masih sedikit perguruan tinggi yang telah mencapai usia itu. Karena itu jika terdapat sebuah universitas melewati usia lebih dari setengah abad, niscaya hal itu merupakan bukti kemampuan dan kecerdasan pemimpin dan pengelola universitas itu dalam meniti zaman demi zaman dengan berbagai kondisi dan tantangan yang berbeda-beda. Kita semua bersyukur karena Universitas Nasional telah mampu membuktikan keandalannya melewati usia setengah abad ini. Berbagai pengalaman, suka duka, dan pasang surut yang menyertai perjalanan selama 57 tahun tentunya akan mendorong terwujudnya kematangan dan kedewasaan serta kearifan bagi Universitas Nasional.

Semoga Universitas Nasional dapat terus meningkatkan kualitas perannya dalam mengemban amanah Tridharma Perguruan Tinggi; mencetak manusia-manusia Indonesia yang berilmu, berintegritas tinggi, dan berwawasan luas; melakukan penelitian yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat; dan melakukan pengabdian kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas kesejahteraannya.

Dalam dunia yang berubah dengan cepat di era globalisasi ini diperlukan pengembangan dan pemahaman paradigma baru untuk membangun sumber daya manusia yang unggul. Pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia itu bukan merupakan suatu produk manufaktur, tetapi seperti layaknya pengembangan tanaman yang harus dipilih bibitnya dengan tekun, dipilih tanahnya yang subur, atau kalau perlu dikerjakan tanahnya lebih dulu agar tanamannya bisa tumbuh subur, dan secara telaten harus disiram, dipupuk, dan dijauhkan dari tanaman liar yang bisa mengganggunya. Karena itu, sumber daya manusia harus dikembangkan dengan pemeliharaan sejak dini dengan sebaik-baiknya, dibangkitkan motivasi dan kemauannya untuk maju, dipompa kemampuannya, dan diberikan dorongan yang positif untuk sanggup membangun dan bekerja keras. Mereka harus sadar bahwa hanya dengan bekerja keras mereka berhak mendapatkan tingkatan kesejahteraan untuk masa depan pribadi, anak cucu, dan bangsanya.

Banyak studi empiris dilakukan untuk melihat kaitan antara kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan. Denison (1962), misalnya, menemukan adanya sumbangan yang besar dari peningkatan years of schooling terhadap pertumbuhan Amerika Serikat. Barro (1991) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) menyatakan bahwa partisipasi pendidikan dan investasi yang cukup besar untuk pendidikan pada tahun 1960-an merupakan faktor yang penting dalam menjelaskan variasi pertumbuhan negara-negara di dunia selama 40 tahun terakhir ini. Mereka memperlihatkan bahwa kualitas sumber daya manusia menyumbang secara cukup berarti bagi pertumbuhan. Sumbangan itu kira-kira sama dengan sumbangan physical capital. Becker (1995) bahkan menunjukkan adanya estimasi bahwa sekitar 80 persen aset dan kekayaan Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya terdiri atas modal manusia.

Dengan pendekatan ini, dapat diterangkan secara jelas apa yang menjadi kunci keberhasilan negara-negara di Asia yang berkembang cepat, dimulai dari Jepang, kemudian Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura, yang memberikan penekanan besar pada penguatan kualitas sumber daya manusia. Dengan sumber daya alam yang terbatas dan hambatan yang mereka hadapi dalam ekspornya ke Barat, mereka dapat tetap memelihara daya saing dan tingkat pertumbuhan yang menakjubkan.

Pengembangan kualitas sumber daya manusia ini yang paling utama dihasilkan oleh pendidikan. Melalui pendidikan akan menghasilkan insan-insan yang tidak hanya menyandang gelar sarjana, tetapi insan-insan yang bersemangat ilmiah, yang kreatif, yang selalu mencari kesempurnaan (unending search for excellence) dan menghindarkan sikap mediocre. Manusia-manusia yang demikian inilah yang akan menjadi modal pembangunan yang utama, yang akan menjadi andalan masa depan.

Saya menaruh harapan yang besar sekali kepada segenap civitas academica Universitas Nasional untuk tidak sekedar mengalir melalui proses dalam menekuni profesi dan membangun kualitas diri, namun lebih dari itu, kita harus mampu menangkap nuansa baru dari perubahan sosial yang sekaligus disertai dengan arus globalisasi yang sangat cepat tersebut. Kita harus secara dinamis menguasai, bahkan menciptakan masa depan dan tidak mengambil sikap menunggu untuk sekedar menjawab tantangan yang dikeluarkannya. Kita harus menciptakan masa depan kita sendiri. Kita harus mampu mengembangkan ide-ide baru yang segar, yang bisa menangkap “mimpi” dan “cita-cita” masyarakat dengan visi yang jauh ke depan melampaui jamannya.

Pada kesempatan yang baik ini saya mendapat kehormatan untuk menyampaikan Etika Politik di Indonesia. Pilihan topik ini sangat menarik karena kita berada pada tahapan konsolidasi politik setelah melampaui masa transisi politik dengan relatif mulus. Seiring dengan datangnya era reformasi pada pertengahan tahun 1998, Indonesia memasuki masa transisi dari era otoritarian ke era demokrasi. Dalam masa transisi itu, dilakukan perubahan-perubahan yang bersifat fundamental dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk membangun tatanan kehidupan politik baru yang demokratis. Arah baru ini menjadikan Indonesia oleh Freedom House (2003), dimasukkan sebagai salah satu dari dua negara demokrasi baru bersama Nigeria yang paling signifikan yang muncul setelah tahun 1997.

Pada awal masa transisi itu, agar agenda reformasi dapat dilaksanakan secara lebih utuh dan sistematis, dilakukan percepatan pemilu, yang semula direncanakan tahun 2003 dimajukan menjadi tahun 1999. Setelah terbentuk pemerintahan baru hasil Pemilu 1999 berbagai agenda reformasi dijalankan, termasuk salah satu yang terpenting adalah melakukan perubahan UUD 1945.

Desakan kuat bagi adanya perubahan UUD 1945, salah satu latar belakangnya adalah karena konstitusi ini kurang memenuhi aspirasi demokrasi, termasuk dalam meningkatkan kemampuan untuk mewadahi pluralisme dan mengelola konflik yang timbul karenanya. Lemahnya checks and balances antar lembaga negara, antar pusat-daerah, maupun antara negara dan masyarakat, mengakibatkan mudahnya muncul kekuasaan yang sentralistik, yang melahirkan ketidakadilan. Tidak dipungkiri, sentralisme kekuasaan pemerintah di bawah UUD 1945, telah membawa implikasi munculnya ketidakpuasan yang berlarut-larut dan konflik di mana-mana. Konflik tersebut cukup mendasar, karena mengkombinasikan dua elemen yang kuat: faktor identitas berdasarkan perbedaan ras, agama, kultur, bahasa, daerah, dan lain-lain; dengan pandangan ketidakadilan dalam distribusi sumber-sumber daya ekonomi.

Dengan demikian tidaklah mengherankan apabila gagasan perubahan UUD 1945 dengan cepat segera mengambil hati dan pikiran rakyat, serta menjadi agenda pembicaraan berbagai kalangan. Sakralisasi UUD 1945 selama puluhan tahun yang membuat tidak ada yang dapat mengambil sifat kritis terhadap UUD 1945, runtuh seketika.

MPR hasil pemilihan umum 1999 yang diselenggarakan dengan cukup demokratis, menindaklanjuti tuntutan masyarakat yang menghendaki perubahan UUD 1945 dengan melakukan satu rangkaian perubahan konstitusi dalam empat tahapan yang berkesinambungan, sejak Sidang Umum MPR Tahun 1999 sampai dengan Sidang Tahunan MPR 2002. Perubahan konstitusi tersebut dilakukan MPR karena lembaga negara inilah yang berdasarkan UUD 1945 berwenang untuk melakukan perubahan UUD.

Perubahan UUD tersebut dilakukan MPR guna menyempurnakan ketentuan fundamental ketatanegaraan Indonesia sebagai pedoman utama dalam mengisi tuntutan reformasi dan memandu arah perjalanan bangsa dan negara pada masa yang akan datang, dengan harapan dapat berlaku untuk jangka waktu ke depan yang cukup panjang.

Seiring dengan itu, perubahan UUD tersebut juga dimaksudkan untuk meneguhkan arah perjalanan bangsa dan negara Indonesia agar tetap mengacu kepada cita-cita negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.

Perubahan UUD 1945 telah mewujudkan konstitusi Indonesia yang memungkinkan terlaksananya penyelenggaraan negara yang modern dan demokratis. Semangat yang diemban dalam perubahan konstitusi tersebut adalah supremasi konstitusi, keharusan dan pentingnya pembatasan kekuasaan, pengaturan hubungan dan kekuasaan antarcabang kekuasaan negara secara lebih tegas, penguatan sistem checks and balances antarcabang kekuasaan, penguatan perlindungan dan penjaminan hak asasi manusia, dan pengaturan hal-hal mendasar di berbagai bidang kehidupan.

Semangat tersebut di atas dapat terlihat dari adanya penegasan yang mengatur pelaksanaan kedaulatan rakyat; pernyataan bahwa Indonesia adalah negara hukum; kesejajaran kedudukan antarlembaga negara sehingga tidak dikenal lagi adanya lembaga tertinggi negara dan tinggi negara tetapi setiap lembaga negara melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai UUD 1945; pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya maksimal dua kali masa jabatan; seluruh anggota lembaga perwakilan dipilih dan tidak ada lagi yang diangkat; pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat; kekuasaan membentuk undang-undang di tangan lembaga legislatif; pembentukan lembaga perwakilan baru Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang memperkuat posisi daerah dalam sistem ketatanegaraan kita; dan pembentukan lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman baru Mahkamah Konstitusi (MK).

Selain itu juga dimuat ketentuan mengenai pemilihan umum setiap lima tahun dan diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri; pengaturan mengenai wilayah negara; ketentuan mengenai hak asasi manusia yang sangat rinci, dan pengaturan hal-hal mendasar berbagai bidang kehidupan seperti ekonomi, pendidikan, pertahanan dan keamanan, ilmu pengetahuan, kesejahteraan sosial, kebudayaan, dan lain-lain.

Berbagai perubahan mendasar tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan berbagai undang-undang organik serta peraturan di bawahnya. Kesemuanya diarahkan untuk mewadahi proses transisi ke demokrasi, khususnya sebagai pedoman dalam menyelenggarakan Pemilu 2004 yang diharapkan menjadi batas akhir masa transisi dan mulai dimasukinya era baru bagi bangsa Indonesia, yaitu era konsolidasi demokrasi.

Pemilu 2004 yang diharapkan menjadi “jembatan emas” berakhirnya masa transisi dan mulai dimasukinya era konsolidasi demokrasi telah berlangsung secara damai dan demokratis. Pemilu yang berjalan lancar dan tertib serta demokratis tersebut serta berlangsung tanpa gejolak, kekerasan, apalagi pertumpahan darah merupakan prestasi luar biasa bagi bangsa Indonesia.

Tidak sedikit para pengamat menilai, jika ditinjau dari pemilih yang secara langsung dapat memilih kandidat Presiden dan Wakil Presiden yang disukainya, sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia dapat dipandang lebih maju dan setingkat lebih tinggi bobotnya dibanding Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di AS, karena pemilih di AS tidak dapat langsung memilih kandidat yang diinginkannya. Mereka hanya memilih electoral collage, baru hasil electoral collage itu menentukan siapa kandidat yang menang di suatu distrik pemilihan dengan sistem “pemenang mengambil semua suara”. Sistem ini di AS makin banyak dikritik karena rumit dan sering tidak mencerminkan kehendak mayoritas pemilih. Hal itu dapat dilihat pada Pemilu 2000 di mana George W. Bush menang karena lebih banyak meraih suara electoral collage, padahal jumlah suara pemilihnya (popular vote) lebih sedikit dibanding Al Gore.

Pemilu 2004 telah menghasilkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, dan DPD untuk periode lima tahun ke depan. Lembaga-lembaga negara lainnya juga telah berjalan, yaitu MPR, BPK, MA, dan MK. Lembaga-lembaga negara tersebut kini telah bekerja melaksanakan tugas konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yang telah disempurnakan. Seiring dengan itu UUD 1945 yang telah disempurnakan telah dijalankan oleh penyelenggara negara sesuai ruang lingkup tugas dan wewenangnya.

Pada titik inilah dapat dikatakan bahwa masa transisi telah berakhir dan Indonesia memasuki era baru, yakni dimulainya era konsolidasi demokrasi. Larry Diamond (1999) menjelaskan, masa transisi adalah titik awal atau interval (selang waktu) antara rezim otoritarian dengan rezim demokratis. Transisi dimulai dari keruntuhan rezim otoritarian lama yang kemudian diikuti atau berakhir dengan pengesahan lembaga-lembaga politik dan aturan politik baru di bawah payung demokrasi. Adapun konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi. Konsolidasi juga dipahami sebagai proses panjang yang mengurangi kemungkinan pembalikan (reversal) demokratisasi, mencegah erosi demokrasi, menghindari keruntuhan demokrasi, yang diteruskan dengan melengkapi demokrasi, pendalaman demokrasi dan mengorganisir demokrasi secara berkelanjutan. Pada akhirnya proses konsolidasi akan membuahkan pemantapan sistem demokrasi secara operasional dan memperoleh kredibilitas di hadapan masyarakat dan negara.

Huntington memperingatkan bahwa tahun-tahun pertama berjalannya masa kekuasaan pemerintahan demokratis yang baru, umumnya akan ditandai dengan bagi-bagi kekuasaan di antara koalisi yang menghasilkan transisi demokrasi tersebut, penurunan efektifitas kepemimpinan dalam pemerintahan yang baru sedangkan dalam pelaksanaan demokrasi itu sendiri belum akan mampu menawarkan solusi mendasar terhadap berbagai permasalahan sosial dan ekonomi di negara yang bersangkutan. Tantangan bagi konsolidasi demokrasi adalah bagaimana menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan tidak justru hanyut oleh permasalahan-permasalahan itu.

Dahl (1997) memperkuat gagasan bahwa konsolidasi demokrasi menuntut etika politik yang kuat yang memberikan kematangan emosional dan dukungan yang rasional untuk menerapkan prosedur-prosedur demokrasi. Ia melandaskan penekanannya pada pentingnya etika politik pada asumsi bahwa semua sistem politik termasuk sistem demokrasi, cepat atau lambat akan menghadapi krisis, dan etika politik yang tertanam dengan kuatlah yang akan menolong negara-negara demokrasi melewati krisis tersebut. Implikasinya proses demokratisasi tanpa etika politik yang mengakar menjadi rentan dan bahkan hancur ketika menghadapi krisis seperti kemerosotan ekonomi, konflik regional atau konflik sosial, atau krisis politik yang disebabkan oleh korupsi atau kepemimpinan yang terpecah.

Dengan kata lain, Etika Politik adalah sarana yang diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antar kelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi dan golongan.

Etika politik mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toteran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Etika politik harus menjadi pedoman utama dengan politik santun, cerdas, dan menempatkan bangsa dan negara di atas kepentingan partai dan golongan.

MPR juga memandang bahwa etika politik mutlak diperlukan bagi perkembangan kehidupan politik oleh karena itu MPR menetapkan Ketetapan MPR RI No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dalam Ketetapan tersebut diuraikan bahwa etika kehidupan berbangsa tidak terkecuali kehidupan berpolitik merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.

Rumusan tentang Etika Kehidupan Berbangsa ini disusun dengan maksud untuk membantu memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa. Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.

Etika kehidupan berbangsa ini diuraikan menjadi 6 (enam) etika yaitu:

1. Etika Sosial dan Budaya;

2. Etika Politik dan Pemerintahan;

3. Etika Ekonomi dan Bisnis;

4. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan;

5. Etika Keilmuan; dan

6. Etika Lingkungan.

Dalam Ketetapan tersebut juga dinyatakan bahwa Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.

Masalah potensial yang dapat menimbulkan permusuhan dan pertentangan diselesaikan secara musyawarah dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya, dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah.

Etika Politik dan Pemerintahan diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antarpelaku dan antarkekuatan sosial politik serta antarkelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan golongan.

Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan Politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Tap ini mengamanatkan kepada seluruh warga negara untuk mengamalkan etika kehidupan berbangsa.

Berbicara mengenai etika berpolitik, kita harus mengakui bahwa banyak kalangan elite kita cenderung berpolitik dengan melalaikan etika kenegarawanan. Banyak sekali kenyataan bahwa berpolitik dilakukan tanpa rasionalitas, mengedepankan emosi dan kepentingan kelompok, serta tidak mengutamakan kepentingan berbangsa. Hal ini sangat menghawatirkan karena bukan hanya terjadi pembunuhan karakter antarpemimpin nasional dengan memunculkan isu penyerangan pribadi, namun politik kekerasan pun dapat terjadi.

Elite nasional yang seperti ini cenderung kurang peduli terhadap terjadinya konflik masyarakat dan tumbuhnya budaya kekerasan. Elite bisa bersikap seperti itu karena mereka pun sebagian besar berasal dari partai politik atau kelompok-kelompok yang berbasis primordial sehingga elite cenderung berperilaku yang sama dengan perilaku pendukungnya.

Elite serta massa yang cenderung berpolitik dengan mengabaikan etika. Bahkan elite seperti ini merasa halal untuk membenturkan massa atau menggunakan massa untuk mendukung langkah politiknya. Mereka tidak sadar bahwa sebenarnya kekuatan yang berbasis primordial di negeri ini cenderung berimbang. Jika mereka terus berbenturan, tak akan ada yang menang.

Kurangnya etika berpolitik ini merupakan akibat dari dari ketiadaan pendidikan politik yang memadai. Bangsa kita tidak banyak mempunyai guru politik yang baik, yang dapat mengajarkan bagaimana berpolitik tak hanya memperebutkan kekuasaan, namun dengan penghayatan etika serta moral. Politik yang mengedepankan take and give, berkonsensus, dan pengorbanan.

Selain itu kurangnya komunikasi politik juga menjadi penyebab lahirnya elite politik seperti ini. Yaitu elite politik yang tidak mampu menyuarakan kepentingan rakyat, namun juga menghasilkan orang-orang yang cenderung otoriter, termasuk dalam wacana. Politik kekerasan semakin berkembang karena perilaku politik dipandu oleh nilai-nilai emosi.

Untuk berpolitik dengan etika dan moral, paling tidak dibutuhkan dua syarat:

1. Ada kedewasaan untuk dialog;

2. Dapat menomorduakan kepentingan pribadi atau kelompok.

Perilaku pemimpin nasional pun, sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan massanya. Karena itu tumbuhnya kedewasaan politik di antara pemimpin nasional sangat dapat menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran serta untuk menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia sendiri.

Untuk menyelamatkan bangsa ini mau tak mau pendidikan kewarganegaraan harus semakin dikembangkan. Sebagai contoh adalah melalui pendidikan kewarganegaraan di semua jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi yaitu pendidikan yang menyadarkan kita terhadap pluralitas dan keberagaman yang tinggi. Pluralitas ini begitu penting dan harus diutamakan.

Berpolitik tanpa kesadaran etika dan moral hanya akan melahirkan krisis kepemimpinan. Karena itu, sekarang yang diharapkan adalah adanya pencerahan dari kembalinya budayawan dan agamawan yang bermoral sehingga kita senantiasa kembali pada etika, moralitas, dan kebhinnekaan.

Krisis kehidupan berbangsa dan bernegara, yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, antara lain karena persoalan etika dan perilaku kekuasaan. Silang pendapat, perdebatan, konflik, dan upaya saling menyalahkan terus berlangsung di kalangan elite, tanpa peduli dan menyadari bahwa seluruh rakyat kita sedang prihatinmenyaksikan kenyataan ini.

Kemampuan membangun harmoni, melakukan kompromi dan konsensus di kalangan elite politik kita terkesan sangat rendah, tetapi cepat sekali untuk saling melecehkan dan merendahkan. Padahal untuk mengubah arah dan melakukan lompatan jauh ke depan, sangat diperlukan kompromi dan semangat rekonsiliasi.

Politik bukanlah persoalan mempertaruhkan modal untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, sebagaimana diyakini oleh sebagian besar pelaksana money politics di Tanah Air kita. Politik bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani dengan memakai rasionalitas. Politik lebih dari pragmatisme, tetapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai.

Karena itulah, politik lebih dari sekadar matematika tentang hubungan mekanis di antara tujuan dan cara mencapainya. Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya haruslah dapat dites dengan kriteria moral.

Khusus untuk para politisi muda dan calon politisi lainnya, perlu diketahui bahwa dalam politik itu ada keindahan dan bukan hanya kekotoran, ada nilai luhur dan bukan hanya tipu muslihat, ada cita-cita besar yang dipertaruhkan dalam berbagai langkah kecil, dan bukan hanya kepentingan-kepentingan kecil yang diucapkan dalam kata-kata besar. Hal-hal inilah yang menyebabkan politik dapat dilaksanakan dan harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Apabila kesadaran etika berpolitik sangat rendah maka tantangan yang mungkin kita hadapi kedepan adalah terjadinya feodalisme maupun kapitalisme dalam politik Indonesia yang dapat mengakibatkan bahwa kemerdekaan nasional justru memberi kesempatan kepada para pemimpin politik menjadi raja-raja yang membelenggu rakyatnya dalam ketergantungan dan keterbelakangan.

Tantangan ini harus kita hadapi dengan penuh kesadaran untuk selalu berjuang menentang feodalisme dan perjuangan untuk membebaskan diri dari cengkeraman kapitalisme. Usaha ini sangat ditentukan juga melalui perjuangan partai politik.

Partai politik hendaknya berbentuk partai kader dan bukan partai massa, karena dengan partai kader para anggota partai yang mempunyai pengetahuan dan keyakinan politik dapat ikut memikul tanggung jawab politik, sedangkan dalam partai massa keputusan politik diserahkan seluruhnya ke tangan pemimpin politik dan massa rakyat tetap tergantung dan tinggal dimobilisasi menurut kehendak sang pemimpin partai. Partai politik sebagai pilar demokrasi haruslah selalu berinteraksi dengan masyarakat sepanjang tahun. Kegiatan sosial kemasyarakatan merupakan agenda wajib begitu pula sikap cepat tanggap dalam menghadapi musibah dan bencana.

Para elit politik partaipun sudah seharusnya sering terjun menemui konstituen, mendengar aspirasi mereka, dan memperjuangkannya. Partai tidak boleh membuat jarak dengan rakyat. Di sinilah sesungguhnya hakikat dari pendidikan politik yang diterapkan oleh partai politik dan elitenya. Dengan demikian, maka apapun sikap dan kebijakan partai tidak akan terlepas dari kehendak masyarakat konstituennya, dan benar-benar menjadi penyambung lidah rakyat. Sehingga dapat mencegah kehawatiran bahwa partai hanya memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Kegiatan pencerdasan politik masyarakat harus terus dipupuk oleh partai politik melalui respon terhadap realitas sosial-politik. Selain itu berpolitik hendaknya dilakukan dengan cara yang santun, damai, dan menyejukkan. Kemudian kita juga harus mengembangan sistem multipartai agar kehidupan politik terhindar dari konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar pada diri satu orang atau satu golongan saja. Dengan etika berpolitik yang demikian itulah kita berharap masyarakat madani yang kita cita-citakan dapat segera terwujud.***

*) Disampaikan Pada Wisuda Pasca Sarjana, Sarjana, dan Diploma III Serta Dies Natalis Universitas Nasional ke-57 di Jakarta, 21 November 2006 Oleh: Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, M.A. (Ketua MPR RI)

No comments:

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.