Politik Balas Budi

Kemenangan yang diraih Fauzi Bowo tampaknya menyisakan problem politik yang signifikan. Karena, seperti umum diketahui, kemenangan tersebut tak lepas dari dukungan lebih dari 20 partai politik (parpol).

Dalam tradisi politik dan demokrasi, dukungan yang diberikan oleh sebuah parpol bukanlah sesuatu yang gratis. Atau dalam bahasa para politisi kita saat ini sering disitilahkan sebagai there is no free launch (tidak ada tiket untuk makan siang yang gratis).


Adagium berbau satire ini menunjukkan bahwa kemenangan pasangan Fauzi Bowo-Prijanto akan memiliki konsekuensi tersendiri bagi para elite partai, yaitu politik balas budi. Politik balas budi bisa diartikan upaya partai pendukung seorang calon yang menang dalam pemilihan umum untuk meminta bagiannya (reward).


Biasanya, bila sebuah parpol mendukung calon bukan dari kadernya, mereka akan menagih janji berupa posisi atau peranan strategis dalam pemerintahan. Hal inilah yang sekarang terjadi pada situasi politik lokal Jakarta pascapilkada 8 Agustus lalu.


Pasangan Fauzi Bowo-Prijanto tampaknya akan segera disibukkan oleh tagihan dari partai-partai pendukungnya. Ambisi parpol-parpol pendukung pasangan Fauzi Bowo-Prijanto untuk merebut posisi yang strategis dalam Pemerintahan DKI tampaknya kian kentara.


Hal ini terpancar dari semakin banyaknya komentar elite partai pendukung yang mempersoalkan format pemerintahan ke depan. PDI-P misalnya, yang sejak awal menyatakan dukungan kepada pasangan Fauzi Bowo-Prijanto, secara lugas telah menyatakan niat untuk menjadi bagian dari pemerintahan. Artinya, pasangan tersebut mesti segera memikirkan
soal penempatan orang parpol pendukungnya dalam pemerintahannya.


Dalam sistem ketatanegaraan kita, sebenarnya tak ada pemerintahan koalisi yang diisi oleh kalangan parpol pada pemerintah daerah. Pemerintahan koalisi hanya ada pada pemerintah pusat. Sebab, dalam sistem pemerintahan daerah kita, secara adminstratif semua pejabat daerah merupakan seorang pegawai negeri karier. Usulan Sutiyoso mengenai posisi empat deputi pendamping Gubernur DKI ke depan, tampaknya memang telah menjadi grand design politic tersendiri bagi Fauzi Bowo untuk meminimalisasi konflik yang mungkin terjadi antarpendukung.


Namun, dalam tradisi politik kita, antara realitas dan teori politik sering kali terjadi disparitas yang cukup berarti. Karenanya, hal terpenting sekarang ialah bagaimana pasangan Fauzi Bowo-Prijanto sanggup mengakomodasi kepentingan parpol-parpol pendukungnya.
Bagaimanapun, mereka harus mendapatkan imbalan dari apa yang telah mereka berikan dalam pilkada. Logika politik inilah yang memang sudah menjadi kewajaran bagi para elite politik negeri kita, bahwa segala tindakan yang diambil harus senantiasa menguntungkan dirinya maupun kelompok lain.


Sekadar mengingatkan, Fauzi Bowo-Prijanto bukanlah dari kalangan parpol. Fauzi Bowo lebih mengabdi ke dunia pegawai negeri dan kampus, sedang Prijanto dari kalangan militer. Yang jelas, untuk membangun Jakarta yang lebih maju, pemilihan pejabat-pejabat daerah harus lebih diorientasikankepada kaum profesional, ketimbang orang partai yang tak memiliki kompetensi.

Karena itu, salah satu solusi yang cukup arif bagi pasangan pemenang Pilkada Jakarta dalam menentukan pejabat-pejabat DKI nanti ialah mengangkat orang partai yang profesional. Ini pertama. Dan kedua, bila tak ada orang partai yang profesional, hal yang mesti dilakukan ialah mengangkat pegawai karier yang profesional dan tahu seluk-beluk permasalahan yang dihadapi Jakarta.


Politik balas budi pasca-Pilkada DKI tampaknya takkan berhenti hanya pada pemilihan pejabat daerah saja. Namun, pelbagai proyek megamiliar di Jakarta tentu tak luput dari incaran para elite politik partai pendukung. Lebih-lebih waktu pemilu 2009 kian dekat, tentunya parpol-parpol membutuhkan dana cukup besar.

Salah satu cara menggali dana (fund raising) ialah melalui penggarapan proyek-proyek daerah atau nasional melalui badan-badan usaha milik elite politik atau rekanan badan usaha par-pol, dengan keuntungan berupa succes fee.


Jadi, dalam konteks politik balas budi, minimal ada dua bentuk, pertama, penempatan orang partai di instansi-instansi daerah, dan kedua, penggarapan megaproyek oleh badan usaha milik elit partai politik. Meski demikian, hubungan politik antara kandidat terpilih dengan partai atau kelompok masyarakat pendukung tidak selalu bersifat permanen.


Kondisi ini semakin rumit, ketika masing-masing parpol tidak tahu persis bilangan jumlah atau kontribusi suara yang didulang kepada kandidat. Hubungan tersebut memiliki mekanisme dan logikanya tersendiri, baik yang tertampung dalam ranah legislatif, level birokrasi, maupun kerja- kerja proyek.


Dibutuhkan prosedur atau mekanisme yang tak mudah untuk mengontrol, juga cara bagaimana mendapatkan kembali (reward) janji-janji kampanye atau imbalan politik, baik bagi partai pendukung maupun kelompok masyarakat pemilih.


Pertanyaan untuk mengakhiri tulisan ini adalah apakah free launch itu berlaku untuk sekali makan atau dalam jangka waktu yang panjang, atau bahkan selama masa kepemimpinan? Inilah yang harus dijawab dengan baik oleh parpol atau kelompok masyarakat pendukung, sebagai timbangan untuk menakar politik balas budi kandidat terpilih.


Oleh Sholihuddin
Penulis adalah kontributor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat/JPPR

Sumber: JPPR.

No comments:

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.