TRAGEDI Buleleng memang sudah berlalu. Meski masih ada dendam, tampaknya sudah tercipta komitmen lebih bagus antarpartai besar, terutama PDI-P dan Partai Golkar.
Banyak cara untuk mewujudkan komitmen kebersamaan antarpartai. Bisa melalui intensitas komunikasi maupun pertemuan-pertemuan antartokoh partai. Namun, pertemuan Taufik Kiemas dan Akbar Tandjung membuat masyarakat bertanya-tanya. Adakah ini pertemuan biasa sebagai wujud komitmen antarelite partai? Adakah pertemuan ini rutinitas yang tak memiliki makna politik apa pun? Sebaliknya, pertemuan ini bisa merupakan wujud keraguan masyarakat, di mana posisi PDI-P, di mana Partai Golkar.
Jika massa keduanya sempat bersitegang di Buleleng beberapa waktu lalu, berarti tidak membuat tokoh-tokoh kedua partai terhambat dalam merumuskan aneka rancangan koalisi ke depan. Karena itu, mungkin masyarakat bertanya, apakah itu hanya pertemuan biasa?
NAMUN, jawaban yang diperoleh atas pertanyaan itu masih samar-samar. Pertemuan itu bermakna dalam dan tersembunyi. Pertemuan itu juga bukan cara meredam konflik di akar rumput PDI-P dan Partai Golkar. Pertemuan itu memiliki banyak tafsir, termasuk kemungkinan kedua kubu menjalankan "politik balas budi". Istilah "politik balas budi" dikenal dalam sejarah kolonialisme Belanda. Dalam istilah lain dikenal "politik etis". Maknanya jelas, agar penjajah Belanda bisa dianggap kawan bahkan saudara, bukan penindas.
Kita masih bertanya, akankah pertemuan Bang Tandjung dan Bung Taufik bisa (baca: boleh) dimengerti dalam konteks seperti zaman Belanda? Apakah keduanya menyadari kebutuhan bersama yang bisa diperoleh melalui kebersamaan, dan sekali lagi, lupakan masa lampau. Apakah keduanya sudah saling membutuhkan dan akan mengadakan persekutuan demi kemenangan Pemilu 2004.
Soalnya, antara masa lampau dan masa kini. Masa lampau milik Golkar dan masa kini milik PDI-P. Keduanya memiliki sejarah yang sama, yakni pernah dan sedang ada di pusat kekuasaan.
Melihat dan mengantisipasi dinamika politik yang berkembang tiap waktu; mengantisipasi rencana koalisi partai-partai berbasis agama; melihat gelagat pemilu yang diintimidasi digagalkan; mencermati berbagai agenda politik yang gagal diperjuangkan untuk wong cilik oleh kekuasaan masa kini; tampaknya kecenderungan keduanya untuk saling membutuhkan terbuka lebar. Realitas politik itu telah "memaksa" untuk saling berbagi rencana kue kekuasaan. Sinergi bisa dibangun dengan melupakan masa lampau. Ini bisa terjadi bukan hanya antara Partai Golkar dan PDI-P saja, tetapi juga antarberbagai partai lain.
Di sini masyarakat menyadari, kehadiran Bung Taufik, meski dikatakan tidak ada misi politik, amat kental irama politiknya. Kesadaran juga sudah mengarah bahwa keduanya mencoba hubungan baru. Mereka mencoba mengadakan pertemuan-pertemuan untuk menjalankan misi merebut kekuasaan kembali.
KECUALI aneka pertanyaan itu, jujur diakui, manuver Bung Taufik begitu lihai dalam membuat peta kekuatan politik baru. Juga Bang Tandjung pandai menangkap peluang untuk memulihkan nama baik dan citra kuasa partainya. Jadi, pertemuan itu boleh diartikan, mereka sudah merasa saling membutuhkan.
Melihat kemenangan PDI-P pada Pemilu 1999, posisi Partai Golkar betul-betul menggantung. Atas kenyataan ini, Bang Tandjung tak kalah lihai dari Bung Taufik. Bila Bang Tandjung berikut partainya ingin cepat memulihkan nama baik dan simpati rakyat direbut seoptimal mungkin, Bung Taufik tentu berkeinginan menjaga kekuasaan partainya. Kasus Bang Tandjung yang masih "menggantung" tentu membutuhkan kekuasaan yang mau memahami keadaan dirinya. Jadi, di satu sisi Bang Tandjung ingin menjaga citra diri melalui posisinya sebagai Ketua Umum Partai Golkar, di pihak lain pucuk dicinta ulam tiba.
Ini permainan politik biasa. Pragmatisme alias loncat sana- sini tanpa pendasaran ideologi dan kesadaran sejarah yang matang sudah dijalankan hampir semua partai. Pragmatisme ini sudah menjadi ciri partai- partai yang menyebut diri pembawa agenda reformasi.
Itu terjadi karena politik hanya dimaknai sekadar alat untuk meraih kekuasaan. Garis ideologi amat mudah diubah kapan pun elite suka. Prinsip dan idealisme dengan mudah berubah karena partai politik tidak memiliki garis keberpihakan. Tidak saja keberpihakan pada prinsip yang tidak dimilikinya, tetapi yang lebih ironis adalah hancurnya keberpihakan partai kepada rakyat.
Butuh bukti? Lihat masalah penggusuran di berbagai kota besar yang amat menyedihkan secara sosial dan politik). Namun, karena tak menguntungkan partai, kasus itu pun tak mampu mengundang kehadiran partai untuk membantu korban keserakahan pembangunan. Tidak satu pun partai politik menjalankan misinya untuk memperbaiki kehidupan mereka.
Tragedi penggusuran sering hanya dijadikan alat politik, bukan bagaimana partai menggunakan kekuasaan untuk menghentikan penggusuran.
Di sini publik sering tertipu manuver politik. Secara samar dilihat fatamorgana di mana politik berjargon demi kepentingan wong cilik. Namun, secara nyata dirasakan, politik bukan alat untuk meraih cita- cita membangun peradaban kemanusiaan. Bukankah ini yang sering menipu masyarakat?
Politik diartikan sebagai serigala yang siap menerkam sebab telah kehilangan moralitas. Politik tidak lagi memiliki idealisme untuk berpihak pada kaum miskin dan tergusur. Politik hanya manuver untuk kompromi dan koalisi. Politik kompromi inilah yang kini sedang dijalankan semua partai guna merebut kursi kekuasaan. Akrobat politik lagi-lagi dimainkan dengan menggunakan jurus-jurus mematikan lawan, dengan cara melupakan sejarah dari ingatan masyarakat. Lagu lama diputar kembali dan diperkenalkan sebuah pelajaran, "Dalam berpolitik pandailah engkau berkompromi dengan mereka yang memiliki kekuasaan dan uang". Sejarah penindasan? Lupakan.
Akrobat politik terwujud dalam berbagai politik imajinasi. Politik imajinasi membawa seseorang ke panggung sandiwara. Dalam panggung sandiwara orang pasti memainkan peran sesuai pesanan, bukan prinsip, apalagi idealisme. Politik pesanan itulah yang kini dijadikan manuver politik. Jangan kaget bila elite politik kita masih dalam taraf memenuhi pesanan.
Aneka pendapat itu hanya bisa diajukan jika pertemuan Bung dan Bang itu akan menuju apa yang disebut "politik balas budi". Jika tidak, pendapat itu hanya bisa menjadi warning.
Benny Susetyo PR Budayawan, Tinggal di Malang
Sumber: Kompas.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.