Oleh: Abdurrahman Wahid
Dalam berbagai kesempatan, baik melalui penyampaian lisan di hadapan publik, maupun melalui tulisan di berbagai media, penulis selalu menekankan pentingnya upaya demokratisasi sistem politik kita. Tanpa kenal lelah, penulis selalu menekankan pola demokrasi dapat berjalan kalau ada kedaulatan hukum. Di samping itu, harus ada persamaan perlakuan kepada sesama warga negara di hadapan Undang-Undang tidak peduli asal-usul mereka baik dari etnis-kultural- bahasa ibu maupun dalam pemikiran, termasuk pemikiran politik, tentunya. Karena itu pulalah penulis berhadapan dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang melakukan lima buah pelanggaran terhadap empat Undang-Undang:UU No.4 tahun 1992, No.23 tahun 1997, No.12 tahun 2003 dan dua buah pelanggaran terhadap UU No. 23 tahun 2003 untuk melanggar Undang-Undang itu.
Dua buah catatan penting perlu dikemukakan di sini. Catatan pertama, dalam bunyi sebuah Undang-Undang melanggar satu perundang-undangan, sebenarnya harus “diganjar” lima tahun hukuman kurungan, berarti Nazaruddin Syamsudin seharusnya dihukum kurungan 25 tahun. Catatan lain yang penting, adalah bahwa sistem hukum nasional kita ternyata dibuat lumpuh oleh KPU. Ini karena Mahkamah Agung dan konstiutsi, dan lain-lainnya tidak berani melaksanakan sistem hukum nasional kita secara tuntas. Inilah yang membuat mengapa penulis menilai pemilu legislatif dan pemilu capres-cawapres kita sebagai cacat hukum dan tidak pernah menerima hasil-hasilnya. Tentu saja sikap ini membuat penulis berada di luar sistem politik kita dewasa ini dan heran sekali orang-orang seperti Susilo Bambang Yudoyono (SBY) masih memerlukan pandangan penulis tentang kabinet yang akan disusunnya.
Bahkan aneh sekali, pendapat penulis tentang pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) masih ditanyakan oleh-parpol-parpol yang bergulat untuk memenangkan posisi pimpinan di dalamnya. Penulis berusaha untuk menumbuhkan demokrasi di negeri kita dalam bentuk sistematik dewasa ini. Permintaan penulis yang pernah dikemukakannya dalam sebuah konfrensi pers di Jakarta, agar KPU dibubarkan karena pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya secara amat arogan, masih tetap berlaku sampai hari ini. Kekerasan kepala penulis itu, lahir dari kenyataan, bahwa sistem demokrasi politik belum berdiri di negeri kita dewasa ini.
Memang ada anggapan, bahwa demokratisasi sedang berlangsung di Indonesia karena pemilu Capres-Cawapres sudah di jalankan.Tetapi penulis selalu beranggapan, bahwa proses demokratisasi memiliki standart minimal, atau dalam bahasa lain disebut minimum pail yang harus dipenuhi. Demokratisasi serba tanggung, seperti yang diterapkan dalam Republic Weimar di Jerman tahun-tahun 20-an, hanya melahirkan seorang diktaktor seperti Adolf Hitler. Tentu kita tidak ingin seperti itu, karena “demokrasi’ model Hitler hanya berakibat Perang Dunia II, yang mengakibatkan korban lebih dari 35 juta jiwa. Justru keinginan keras penulis, agar pemerintahan otoriter yang berwatak militer tidak kembali ke negeri kita, membuat penulis dan kawan-kawan menolak “hasil-hasil pemilu’ yang diselenggarakan oleh KPU sampai tiga kali dalam tahun 2004 ini. Untunglah, masih ada warga negara keras kepala memperjuangkan demokratisasi di negeri ini.
Tetapi penulis juga mengerti, bahwa pemilu hanya menghasilkan demokratisasi dalam bentuk kelembagaannya saja, seperti adanya DPR, MPR, Mahkamah Agung dan eksekutif, maupun lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas kebersihan pemerintah, seperti Badan Pemeriksa Keuangan. Lembaga itu semua baru merupakan simbol-simbol belaka, tanpa mereka memiliki tradisi demokrasi itu sendiri. Pada saat ini, elit politik kita juga bersikap demikian, artinya bertindak serba tanggung dan sebenarnya tidak memperjuangkan demokrasi politik secara benar, bahkan ada kesan di kalangan masyarakat luas, elit politik kita hanya berpikir tentang kepentingan diri dan golongan yang akan membebani rakyat saja. Karena itu, banyak pengamat-pengamat yang salah tebak dan mengira demokrasi secara bertahap sedang mulai diterapkan di negeri kita.
Sebenarnya apa yang dilakukan itu belum cukup, untuk menegakkan demokrasi secara benar. Tentu saja pendapat penulis tadi banyak ditentang orang, terutama mereka yang sudah terlalu lama tidak mengenal pemikiran politis yang memiliki dimensi Ketuhanan. Mereka hanya melihat “perjuangan materialistik” sebagai ukuran demokrasi, namun tidak memahami sisi sebaliknya yang mementingkan keadilan. Mereka bahkan berhasil ditipu oleh pandangan sejarah yang salah, bahwa di negeri kita demokrasi sudah mulai dijalankan. Anggapan itu timbul, karena ada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden langsung oleh rakyat. Dilupakan, bahwa hal itu juga disertai proses pelanggaran UU oleh KPU, yang tidak dikoreksi oleh lembaga–lembaga peradilan kita yang dikuasai oleh mafia peradilan. Dengan demikian demokrasi yang dihasilkan cacat hukum sejak awal mulanya. Karenanya, hidup demokrasi itu sendiri langsung hanya mencapai tingkatan sangat rendah, berbeda dari tuntutan standar minimal bagi sebuah proses demokratisasi.
Memang tidak dapat diharapkan dari keadaan sedemikian itu, ahir sebuah masyarakat demokratis yang sudah “cacat sejak lahir”. Karena itu diperlukan berkali-kali ‘kejutan’ untuk memungkinkan lahirnya sebuah demokrasi yang benar-benar. Padahal mustahil akan ada demokrasi tanpa ada keberanian politik seperti itu. Kita juga harus berani menyatakan bahwa proses demokratisasi memang belum berjalan di tanah air kita, karena persyaratan untuk tetap hidup demokrasi bagi bangsa kita belum terpenuhi. Keberanian politik untuk menyatakan yang sebenarnya, memang belum ada dalam kehidupan bangsa ini. Suara seperti ini, apakah akan berlanjut dan diikuti orang banyak di masa depan atau tidak, akan menjadi sebuah pembahasan tersendiri yang sangat menarik.
Dasar dari demokrasi adalah kedaulatan hukum, dan perlakuan sama bagi semua warga negara di hadapan undang-undang, yang seluruhnya bertumpu pada kemauan kuat untuk melaksanakan peraturan-peraturan dengan konsisten. Dari parpol-parpol yang ada, melalui lembaga-lembaga Perwakilan Rakyat di pusat dan daerah, diharapkan akan muncul aturan main yang jelas di masa depan. Hal itu belum terwujud pada saat ini, karena keinginan-keinginan baik itu memang belum ada secara kongkret pada saat ini. Kita baru sampai pada tahap memimpikan sesuatu, yang dalam kenyataan hidup memang belum ada. Kita baru sampai ke tahap menghitung-hitung kekuatan sebagai bangsa, apakah upaya memulai proses demokratisasi secara benar, ataukah hanya melamun saja tentang hal itu.
Di sini kita harus dapat membedakan antara lembaga-lembaga politik demokrasi, tetapi tidak memiliki tradisi demokrasi dalam kenyataan sejarah, yang terhampar dihadapan mata kita. Karena kita memang adalah bangsa yang cepat berpuas diri, maka kita tidak memiliki sikap nekat untuk memenuhi persyaratan-persyaratan yang diperlukan untuk mendirikan masyarakat demokratis yang benar-benar sesuai antara kata dan kenyataan. Tentu saja, orang boleh setuju atau tidak dengan pandangan penulis artikel ini, tetapi yang jelas hak penulis beranggapan demikian dan patut mempertahankannya. Kalau kejujuran ini saja tidak kita miliki, bagaimana mungkin kita memulai proses mengambil dan membuang, yang memang mudah dikatakan tetapi sulit diwujudkan dalam kenyataan, bukan?
Jakarta, 14 Oktober 2004
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.