Revisi paket undang-undang bidang politik harus diselesaikan paling lambat tahun 2011. Dengan demikian, diharapkan masalah yang timbul pada Pemilihan Umum 2009 tidak kembali terulang pada Pemilu 2014.
Demikian salah satu rekomendasi yang dihasilkan dalam diskusi publik dengan tema ”Membenahi Data Pemilih untuk Menjamin Hak Konstitusional Warga Negara: Suatu Pendekatan Hukum dan Operasional” di Kampus Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (28/10).
Para peserta diskusi sepakat mendesak perbaikan paket undang-undang bidang politik yang terkait dengan aturan pemilu paling lambat 2011. Paket UU politik itu adalah UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan DPR, DPD, dan DPRD, dan UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Tahun 2011 dianggap sebagai waktu yang ideal untuk menyelesaikan perbaikan paket UU politik karena berarti penyelenggara pemilu memiliki cukup waktu untuk menyiapkan Pemilu 2014.
Dengan demikian, keterlambatan penyusunan UU tidak dijadikan alasan pembenaran atas permasalahan yang timbul saat pemilu. ”Pada pemilu kemarin, keterlambatan undang-undang menjadi kambing hitam atas amburadulnya pelaksanaan pemilu,” kata Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang.
Secara terpisah, ahli hukum pemilu dari Universitas Indonesia, Topo Santoso, mengatakan, apabila paket UU politik akan direvisi, harus dilakukan mulai dari sekarang. Menurut Topo, sebaiknya paket UU politik tidak direvisi setiap kali pemilu akan digelar lima tahun sekali.
Aturan pemilih
Masalah lain yang perlu dibenahi adalah ketidaksamaan aturan mengenai kriteria usia dewasa bagi seorang warga negara. Dalam aturan pemilu disebutkan, warga negara yang berhak memilih adalah mereka yang sudah berusia 17 tahun atau sudah menikah.
Peraturan itu tidak sama dengan UU Perkawinan yang menyebutkan, perempuan dikatakan dewasa jika sudah berusia 16 tahun dan pria 19 tahun. Kemudian dalam UU Perlindungan Anak diatur, mereka yang masih berusia di bawah 18 tahun masih tergolong anak-anak.
Untuk itu, menurut pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Satya Arinanto, dibutuhkan persamaan persepsi mengenai kriteria dewasa. ”Perlu ada penyatuan rezim aturan tentang kedewasaan, apakah 17 tahun, 16 tahun, atau 21 tahun,” ujarnya. Selain itu, para peserta diskusi juga membahas persoalan daftar pemilih yang bermasalah.
Sumber: Kompas.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.