GOLPUT telah memenangkan beberapa pilkada di Indonesia, begitu headline berita sebuah surat kabar ibukota. Pernyataan ini bukan sekadar isapan jempol, karena memang realitas di lapangan telah mencatat hal tersebut.
Litbang Kompas misalnya, mencatat bahwa fenomena golput ini menjalar di berbagai pilkada di Indonesia. Pilkada Banten misalnya, diikuti oleh sekitar 39,17 persen golput, Pilkada DKI Jakarta dengan sekitar 34,59 persen golput, Pilkada Jawa Barat dengan 32,7 persen golput, hingga puncaknya yang terjadi di Pilkada Jawa Tengah dengan 41,5 persen lebih. Bahkan kini, golput Pilkada Jawa Timur yang baru saja berlangsung pun diprediksi akan mencapai angka 39,2 persen.
Bila dibandingkan dengan batas kemenangan pilkada yang hanya 30 persen. Maka, keseluruhan persentase golput di atas sedikit banyak akan membuat kita miris. Bayangkan saja suara sebanyak itu tentulah amat signifikan. Bahkan bila saja suara sebanyak itu diberikan kepada pasangan calon tertentu, tentulah pasangan tersebut tentu akan dengan mudah memenangkan pilkada.
Untuk tingkatan Pilpres 2004 lalu, fenomena golput yang terjadi pun relatif mirip. Golput cukup dominan, dengan adanya statistik 26 persen pemilih golput, atau sekitar 40 juta pemilih dari keseluruhan 154 juta pemilih. Beberapa analis dan pengamat politik meyakini jumlah golput akan membengkak hingga menjadi 60 juta pemilih pada Pemilu 2009 kelak.
Kenapa harus golput
Mengutip temuan dari Jaringan Pendidikan untuk Pemilih Rakyat (JPPR) di Pilkada Jawa Tengah. Besarnya angka golput amat berkaitan dengan tiga aspek utama. Pertama, data pemilih yang buruk, atau tidak jelas. Kedua, masih kurangnya sosialiasi dari KPU daerah. Dan ketiga, makin tingginya rasa apatisme masyarakat akan pilkada.
Ketiga alasan di atas sangatlah berkaitan, bahkan melengkapi. Namun, saya melihat KPU adalah aktor yang paling pantas bertanggungjawab akan kegagalan pada alasan pertama dan kedua, karena posisinya yang merupakan penyelenggara pilkada. Sedang, untuk alasan ketiga, dalam hal ini parpol dan calon yang diusungnya pantas untuk dituding menjadi penyebab besarnya angka golput. Kesalahan ini menurut saya, bahkan jauh lebih besar dari apa yang telah dilakukan oleh KPU.
Akan tetapi, bila ditelisik lebih jauh lagi rasa apatisme masyarakat terhadap partai politik dan calon pemimpin bisa jadi merupakan akar masalah begitu besarnya angka golput. Apatisme ini juga merupakan akumulasi kekecewaan masyarakat akan kinerja parpol yang buruk selama ini. Parpol begitu dekat rakyat pada saatsaat tertentu, namun sekedar untuk mencari dukungan dan suara. Untuk kemudian, dengan begitu mudahnya melupakan masyarakat yang dulu pernah mendukungnya begitu kursi telah digenggam.
Dari sini dapat pula dibaca bahwa masyarakat kini mulai jenuh akan partai politik dan calon-calon yang muncul ke permukaan. Masyarakat mulai cerdas menilai bahwa parpol lebih sering gagal, atau bahkan tidak mampu sama sekali memberikan perubahan seperti yang selalu diobral.
Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah, mengapa golput dapat berkuasa di tengah iklim politik yang ramai akan parpol? Tidakkah parpol yang amat banyak ini akan menyediakan pula berbagai alternatif solusi bagi masyarakat, atau malahkah sebaliknya, membuat masyarakat semakin bingung?
Pertanyaan yang cukup menimbulkan dilemma untuk menjawabnya. Di satu sisi, menurut saya, banyaknya parpol akan sebanding pula dengan lahirnya berbagai wacana-wacana solusi perubahan kepada masyarakat yang bervariasi. Sehingga masyarakat pun akan dengan mudah memilih salah satu parpol yang memiliki wacana solusi paling ideal menurutnya.
Namun, hal di atas ternyata hanya berhenti pada tataran teori. Karena realita yang terjadi di lapangan amat berkebalikan, banyaknya parpol di Indonesia saat ini belum atau bahkan tidak mampu memberikan solusi perubahan yang diharapkan masyarakat. Parpol-parpol yang ada cenderung malah menjadi homogen. Kalaupun ada perbedaan, mungkin hanya dari atribut-atribut fisik yang tampil di depan umum, selebihnya tidak ada perbedaan jauh, bahkan pada hal-hal yang substansial sekalipun, seperti platform gerakan dan kebijakan antarparpol lainnya amat sulit dibedakan.
Kondisi seperti ini bagi sebagian besar masyarakat yang rata-rata awam tentu akan semakin membingungkan. Dan mungkin saja, dari kondisi ini sebagian besar masyarakat akan memilih berpikir praktis, ’’Daripada memilih sesuatu yang sia-sia, bahkan disia-siakan nantinya. Kenapa harus memilih?” Begitu kira-kira.
M Zulfi Ifani
Mahasiswa Ilmu Komunikasi
Fisipol UGM
Sumber: Wawasan Digital
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.