Budaya Politik Dan Peradapan.
Semua kerajaan prapolitik modern Indonesia mempunyai pemahaman raja yang tertinggi (tanpa harus berbicara tentang penyimpangan Amangkurat II). Tetapi, rakyat pun bukan yang terendah. Ini artinya, telah terbentuk budaya politik mendahulukan daulat rakyat.
Ben Anderson dalam bukunya The Javanise Culture, menunjukkan esensi dasar dari politik Indonesia lebih pada penyatuan kedaulatan rakyat, tinggal saja lanjut Anderson, apakah penyatuan itu akan disubordinasi atau dibentuk dalam suatu budaya politik yang beradab.
Anderson tampaknya disahuti Harold Crouch. Meskipun Crouch melihat dari budaya politik militer–Crouch mengingatkan kepada kita bahwa autoritarianisme yang diusung oleh perilaku politik militer–terkadang “menyingkirkan” daulat rakyat; para funding father di Indonesia telah mengaktualisasikan budaya politik dengan tidak meninggalkan rasa hormat pada daulat rakyat.
Analisis Anderson tersebut dikuatkan Clifford Geerzt dalam terminologi terkenalnya abangan, santri dan priyayi. Mempelajari pengamat politik di atas, seyogianya telah terbentuk budaya politik yang beradab dalam mekanisme sistem pemilihan umum.
Di sini penulis ingin menjelaskan bahwa budaya politik yang beradab ya, katakanlah dimulai dari pilpres. Satu sama lain tidak hanya berada pada political interest yang cenderung membawa potensi konflik. Dan, ini terjadi sebagai resultante dari pers kita yang tidak lagi memainkan peran sebagai pers dengan nuansa kultural edukatif.
Setelah mengamati 11 tahun reformasi. Pers, pada paro pertamanya masih terkesan mendidik, memberikan fakta, data, dan dalam bahasa yang menumbuhkembangkan budaya politik. Tetapi bersamaan dengan itu, justru terdapat pertarungan di dalam antara keinginan pers untuk mengeksplanasi perubahan dengan pers yang provokatif. Bahkan, mau tidak mau harus diakui, pers yang sudah sangat bebas dewasa ini, jauh dari tawaran insan pers untuk pembentukan budaya politik, dus cenderung pers menjadi “diktator”.
Dalam gususan baru peradaban pers ketika revolusi Bolshevik di Rusia. Tsar Nicholas II menunjukkan bahwa ada peninggalan kesejarahan penulisan bagi perkembangan masyarakat dieranya, di mana daulat rakyat tidak hanya pada Tsar. Namun, pada upaya membangun kekaisaran itu sendiri.
Nah, kalau kita melihat proses-proses berikutnya, setting sejarah Indonesia elite politik yang akan bertarung dalam perhelatan akbar pilpres mendatang kenyataanya masih jauh dari upaya pembentukan budaya politik. Katakanlah, budaya politik subjek dan objek bagi daulat rakyat, sebagaimana yang diperkenalkan dalam buku Civic Culture, jelas tidak mewakili problematika ini, terlebih lagi dalam upaya pembentukan peradaban politik.
Kalau boleh kita menyimak satu per satu, dari sosok yang akan bertarung itu. SBY-Boediono, misalnya, adalah penonjolan performance dan nostalgia yang juga tidak jelas kiprahnya di bidang ekonomi. Demikian pula halnya dengan Jusuf Kalla dan Wiranto, khususnya Wiranto, sosok yang berada pada titik nadir yang rendah ini utamanya ketika penyelamataan dirinya dari kejahatan HAM, jelas kita tidak mempunyai pemimpin yang belum tepat.
Terlebih lagi bila kita bicara sosok Megawati dan Prabowo. Kontras keduanya jelas tampak. Megawati dengan militansi pendukungnya yang konservatif, Prabowo sebagai “politisi mualaf” tak mungkin mampu meletakkan dasar budaya politik dan peradaban bagi daulat rakyat.
Tentu penulis tidak pesimistis terhadap ketiga calon di atas, hanya saja rasa optimistis penulis telah hilang ketika kita memahami kedaulatan rakyat hanya menjadi instrumen. Maka, dalam konteks ini pilpres tak lebih tak kurang hanya melanjutkan yang sudah bobrok dan ragu-ragu, hanya mempercepat yang konon ingin memperbaiki, tetapi bagaimana cepat dan akan lebih baik bila peran keduanya telah terbilang uzur.
Sementara itu di titik Mega-Pro kita melihat koridor-koridor lama yang akan terbangun dan politik uang yang tak dapat dibuktikan, serta berbagai penjajahan mekanisme sistem dalam dimensi black campaign. Lalu pertanyaan besar yang harus kita jawab, adalah budaya politik macam apa yang bisa dibentuk dalam kerangka ini, apatah lagi kita akan bicara peradaban politik.
Satu-satunya yang mungkin, masih bisa kita harapkan adalah perubahan kultural dari kebebasan pers yang tidak bertanggung jawab (baca: terkadang provokator). Dengan kata lain pers sebagai pilar keempat, jangan hanya mengharapkan mereka akan tergerus oleh alam, dus pers sepatutnya menciptakan alam itu sendiri, yakni alam demokrasi yang beretika politik, bersemangat moral, yang pada gilirannya mampu membentuk budaya politik dan peradaban dalam sistem politik Indonesia.
Paling kurang terdapat tiga harapan kepada pers, apakah itu media cetak, audio, maupun audio visual, yaitu: (1) Pers tidak hanya bicara hanya tentang permukaan, pers harus patuh kembali kekhitahnya, yaitu pers yang bebas dan bertanggung jawab. (2) Untuk mewujudkan yang pertama tersebut, tentu pers membutuhkan penataan manajerial dan SDM yang baik. Sudah lama dalam masyarakat Eropa kita kenal adagium one newspaper to formed of public opinion (dalam satu surat kabar membentuk pendapat umum), terjemahan ini tentu sangat universal.
Kemudian, (3) Pers dalam versinya yang membangun betapa banyak variabel di era reformasi, hendaknya melarikan diri ke arah industri pers an sich, tetapi juga mampu menangkap fakta dan data, sehingga istilah pers kebablasan, dalam pers punya hak jawab dan berbagai aspek lainnya yang tidak membentuk budaya politik, dus akan larut dalam dilemanya sendiri. Artinya, pers harus meletakkan rekonstruksi ulang terhadap “pers bebas dan bertanggung jawab”. Ini kalau, pers ingin berperan dalam pembentukan budaya politik dan peradaban dalam perspektif sejarah.
Hardi Hamzah
Peneliti madya pada Institute for Studies and Consultation of Social Science
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.