Apa boleh buat, tahi kambing tak selalu bulat-bulat. Kadang juga menggumpal jadi satu meski tak selembek tahi sapi. Hanya saja gumpalan tahi kambing itu tidak memiliki perekat yang lebih kuat sebagaimana tahi sapi dan kebo. Ketika jatuh dari anus si kambing, apalagi warna kambing itu hitam, butir-butir bulat tahi kambing itu ada yang masih melekat, ada juga yang bercerai berai.
Koalisi parpol, kata seorang teman di fb, tidak lebih dari sekadar tahi kambing. "Koalisi tahi kambing itu begitu rapuh. Hanya bersatu dari usus ke anus. Dari anus, gravitasi menghantarnya ke satu tujuan, tanah. Lalu tercerai berai..."
Analogi itu sungguh tepat menggambarkan koalisi yang sudah, sedang, dan akan digalang Partai Demokrat. Parpol pemenang pemilu 2009 ini rupanya merasa gerah ketika koalisi yang sudah terbangun menjadi terlalu ke kanan. Ada PKS, PKB, PAN, PBB, bahkan PPP dan mungkin parpol berhaluan Islam lainnya yang segera merapat. Ada kekhawatiran rupanya pemerintahan yang kelak mereka bangun (jika memenangkan Pemilu Presiden) akan sarat dengan upaya-upaya mengimplementasikan nilai-nilai syariah, meski tidak berarti keluar dari koridor Pancasila.
Memang bukan itu alasan yang diungkapkan Partai Demokrat secara eksplisit ketika membuka komunikasi politik dengan PDIP. Tetapi, siapapun bakal menarik kongklusi, betapa naif alasannya jika niat yang melatari Partai Demokrat membuka pintu komunikasi yang tergembok selama hampir 5 tahun itu sekadar keinginan menjalin silaturahmi kebangsaan, tanpa hidden agenda. Apalagi, gosip politiknya, Partai Demokrat memberikan konsesi kepada PDIP untuk memilih sendiri posisi menteri, di samping cawapres yang pro-PDIP. Pemberian cek kosong kepada bekas musuh menunjukkan betapa besar dan total niat Partai Demokrat menggandeng PDIP.
Saya lupa, dulu pernah ada gosip yang beredar di komunitas muslim agar tidak memilih Partai Demokrat karena banyak caleg non muslim di sana. Gosip yang notabene black campaigne itu langsung dibantah Partai Demokrat, dan bantahan itu rupanya cukup manjur. Buktinya, pada Pemilu 2009 ini, Partai Demokrat justru keluar sebagai pemenang. Faksi non muslim memang ada di Partai Demokrat, seperti juga di PDIP dan parpol lain, tetapi tidak dominan. Dan, jika sekarang Partai Demokrat merapat ke PDIP, hal itu tentu bukan karena gerahnya faksi non muslim di tubuh Partai Demokrat gara-gara dikelilingi parpol Islam. Tetapi, bagi teman-teman lama seperti PKS, PBB, PKB, PAN, dan mungkin PPP, persepsi semacam itu bukan mustahil berkembang.
Saya kira tidak aneh jika parpol-parpol Islam itu mulai mempertimbangkan koalisi di antara mereka sendiri. Konkretnya, keluar dari koalisi dengan Partai Demokrat. Itulah sebetulnya tujuan saya ketika mem-posted artikel "MENIMBANG KOALISI PARPOL ISLAM" di politikana, Minggu, 3 Mei lalu. Dalam situasi kini, urgensi koalisi parpol-parpol Islam itu semakin terasa.
Sekadar reminding, saya kutip lagi cuplikan artikel itu.
Lebih menarik, hemat saya, menimbang kemungkinan parpol-parpol berbasis massa Islam itu berkoalisi. Koalisi itu sangat mungkin dibangun dengan satu syarat: seluruh elit parpol Islam merefer pada pengalaman sahabat dalam upaya membangun persatuan ummat setelah Nabi SAW wafat. Masa-masa pasca wafat Nabi SAW itu sungguh pengalaman yang sangat berharga, dan mahal. Siapapun tahu, pengalaman (apalagi, pengalaman yang teramat mahal) itu guru yang paling baik.
Pertanyaannya, maukah elit parpol Islam sekarang belajar dari pengalaman berharga dan mahal masa sahabat? Saya rasa, para tokoh Islam dan elit parpol Islam itu mesti diragukan keislamannya jika menjawab: Tidak Mau!
Saya membayangkan para tokoh dan pemimpin Islam, baik tua maupun muda: Amien Rais, Hidayat Nurwahid, Jimly A Shiddiqy, Azumardi Azra, Jalaludin Rakhmat, Anies Baswedan, Marwah Daud, Khofifah Indar Parawansa, Tuty Alawiyah, Didin Hafidhudin, Dien Syamsudin, Hasyim Muzadi, Emha Ainun Nadjib, dan entah siapa lagi, bersama-sama pengurus parpol duduk menghadapi meja bundar, dan berdialog dari hati ke hati.
Mereka harus meluruhkan ego, baik ego pribadi, ego organisasi, ego partai, sampai ego mazhab.
Mereka hanya berpikir tentang Indonesia yang lebih baik di bawah kepemimpinan presiden dan wakil presiden yang lebih baik ke depan.
Mereka merefer kebesaran jiwa para sahabat Nabi SAW pasca beliau SAW wafat, dan mengutamakan persatuan Islam.
Mereka tidak menganggap kelompok sendiri lebih baik daripada kelompok lain, parpol sendiri lebih jaya dari parpol lain, mazhab sendiri lebih benar dari mazhab lain, tetapi semata-mata berikhtiar mencari tokoh yang paling wara, paling saleh, paling jujur, paling adil, paling bijak, dan paling tinggi elektabilitasnya di mata para calon pemilih Indonesia.
Mereka hanya bicara tentang Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Mereka, bisakah, bersatu?
Oleh: Darsina.
Sumber: Politikana.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.