Posisi PNS dalam Pilkada

Posisi PNS dalam Pilkada



PEMERINTAH memberi sinyal pengaturan PNS yang tidak netral atau berpihak kepada salah satu kandidat kepala daerah akan ditindak tegas. Hal itu menimbulkan rasa skeptis, pesimistis, karena pada tahap implementasi sangat sulit. Peringatan tinggal peringatan, pelanggaran jalan terus.

Itulah kondisi kultur-budaya kita, instrumen yang dibuat untuk menyelesaikan hampir di semua aspek, malah boleh dibilang berlebihan. Pada tahap implementasi instrumen yang tersedia, menjadi "macan ompong" menghadapi kenyataan di lapangan.

Di Indonesia, posisi PNS memang masih dianggap cukup terhormat dan diperhitungkan, bahkan animo masyarakat untuk menjadi PNS masih tinggi. Posisi PNS dalam pilkada yang dilakukan secara langsung menempatkan PNS pada ranah yang strategis, menjadi rebutan para kandidat kepala daerah. Mereka yakin, satu PNS mampu menarik 5 sampai 10 orang bahkan bisa lebih.

Netralitas PNS dalam pilkada bisa dilihat dari dua aspek. Pertama, PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai kandidat kepala daerah. Kedua, PNS yang terlibat baik karena dilibatkan atau melibatkan diri.

Untuk PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi kandidat kepala daerah, kalau kita cermati perangkat peraturan perundang-undangan antara UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan petunjuk pelaksanaannya, yaitu PP No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta petunjuk teknisnya, yaitu Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) tentang PNS yang Menjadi Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, tidak sejalan. Bahkan saling bertentangan.

UU 32/2004, sangat jelas Pasal 59 ayat (5) huruf g menyatakan parpol atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan pasangan calon wajib menyerahkan surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari PNS. Peraturan Pemerintah No 6/2005 Pasal 42 ayat (2) huruf f, pasangan yang diajukan oleh parpol atau gabungan parpol wajib melampirkan surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari PNS.

Pada PP 6/2005 pada lampiran, aturan main tidak sejalan bila kita cermati formulir model B6-KWK yang harus dilampirkan untuk melengkapi berkas pencalonan, tentang Surat Pernyataan Kesanggupan Mengundurkan Diri dari Jabatan Apabila terpilih menjadi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, tetapi pada UU No 32/2004 Pasal 59 ayat (5) huruf g dan PP No 6/2005 Pasal 42 ayat (2) huruf f, disyaratkan melampirkan surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari PNS. Mundur begitu menjadi calon kepala daerah, atau mundur apabila terpilih menjadi kepala daerah. Dua substansi yang berbeda untuk satu permasalahan.

Pada Peraturan BKN No 5 Tahun 2005 tanggal 21 Maret 2005 tentang PNS yang Menjadi Calon Kepala Daerah/Calon Wakil Kepala Daerah, semakin rinci mengatur PNS yang akan menjadi kandidat dalam pilkada. Hal ini sangat beralasan, mengingat BKN adalah institusi yang paling berkompeten terhadap keberadaan PNS. Sebagai catatan, aturan yang dibuat BKN tidak sejalan dengan aturan yang berada di atasnya baik PP 6/2005 maupun UU 32/2004.

Pada 6 ayat (1) Peraturan BKN 5/2005 menyatakan bahwa (a) apabila PNS terpilih dan diangkat menjadi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah diberhentikan dari jabatan organiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (b) apabila tidak terpilih menjadi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah diaktifkan kembali dalam jabatan negeri.

Dari aturan ini jelas PNS tidak perlu mundur, bahkan yang bersangkutan diaktifkan kembali dalam jabatan negeri. Jangankan mundur dari PNS, yang bersangkutan tidak perlu kehilangan jabatan. Bandingkan dengan aturan lain, apabila menjadi anggota/pengurus partai politik, menjadi anggota legislatif dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) PNS diwajibkan mundur.

Pada konteks ini posisi PNS semakin kokoh, karena syaratnya sangat sederhana, Pasal 6 ayat (2), menyatakan, pengaktifkan kembali dilakukan setelah yang bersangkutan mengajukan permohonan pengaktifkan dalam jabatan negeri kepada pejabat Pembina Kepegawaian, yang diberi tenggang waktu selama 14 hari kerja setelah hasil pilkada ditetapkan oleh KPUD, sebagaimana Pasal 6 ayat (3).

Sedangkan ayat (4) Pasal 6, posisi PNS yang menjadi kandidat dan gagal memenangkan pilkada, diberi peluang yang sangat bagus, yaitu pejabat Pembina Kepegawaian paling lambat 14 hari kerja setelah menerima permohonan, menetapkan pengaktifkan kembali PNS yang tidak berhasil memenangkan pilkada dalam jabatan semula.

Ini semua menggambarkan bahwa PNS yang gagal memenangkan pilkada kalau masih berminat, nyaris tanpa kesulitan jabatan akan diperoleh kembali, karena pejabat Pembina Kepegawaian langsung menetapkan kembali tanpa syarat, kecuali tidak melebihi masa tenggang 14 hari. Tidak diperlukan persyaratan yang rumit dan pertimbangan lainnya.

PP 6/2005 sebagai instrumen petunjuk pelaksana (juklak) dan Peraturan BKN sebagai instrumen petunjuk teknis (jukns) yang pro dan mengakomodasi PNS untuk ikut berpartisipasi pada pilkada sangat menguntungkan PNS, tetapi bisa menjadi bumerang manakala kemudian hari ada sengketa hukum atau ada pihak-pihak yang kalah lalu mempermasalahkan dengan cara judicial review ke Mahkamah Konstitusi menempuh jalur hukum.

Hal ini menjadi lemah karena PP 6/2004 pada penjelasannya dan Peraturan BKN menyimpang dengan peraturan di atasnya, yang secara yuridis justru akan melemahkan posisi hukumnya. Karena bertentangan dengan UU 32/2004.

Memang ada logika berpikir yang menjadi logis. Bukankah BKN lembaga yang paling bertanggung jawab dan kompeten terhadap PNS? Logis kalau BKN yang paling urgen memberi dan membuat rambu-rambu aturan main. Tapi menimbulkan konsekuensi hukum apabila rambu-rambu tersebut bertentangan dengan UU 32/2004. Idealnya, para pembuat UU ketika tahap pembahasan melibatkan seluruh komponen yang nantinya akan terkait. Pembahasan secara komprehensif mutlak diperlukan. Namun sayang, budaya kita cenderung instan.

Sepertinya Departemen Dalam Negeri organisasi yang memroses PP, dan BKN paling berkepentingan terhadap PNS, tidak rela manakala kadernya "pagi-pagi" mundur dari jabatannya, atau bahkan dari PNS-nya, sementara kemenangan belum tentu diperoleh.

Di sinilah KPUD harus benar-benar cermat untuk selalu jeli menerapkan atau menggunakan instrumen yang tersedia. Hal ini mengingatkan kembali kepada kita, bahwa salah satu ciri bangsa Indonesia adalah parsial, sektoral, dan ego masing-masing tinggi tanpa mau memperhitungkan pihak lain.

Ada satu sisi yang menarik di mana substansi dari Peraturan BKN 5/2005 yang sangat kooperatif dan akomodatif terhadap PNS. Berdasarkan kenyataan empirik di lapangan pascareformasi selama lima tahun ini, kualitas kepala daerah di beberapa daerah ada yang kemampuan, kapabilitas, dan kompetensi untuk memimpin seebuah organisasi publik setingkat pemerintah daerah di bawah standar. Dari sini muncul, mengapa tidak menggali dari para birokrat untuk dijadikan kepala daerah?

PNS yang menduduki jabatan eselon I dan II, pengalaman, kemampuan, kapabilitas, dan kompetensi untuk menjadi kepala daerah, rasa-rasaya tidak perlu diragukan lagi. Hanya saja jabatan kepala daerah adalah jabatan politik bukan jabatan karier, maka sangat terbuka kesempatan bagi siapa saja asal memenuhi syarat normatif. Jangan heran kalau telah terbukti dan suatu saat akan muncul kembali, kepala daerah datang dari orang kebanyakan. Implikasinya, cara mengelola manajemen pemerintahan menjadi tidak optimal, akibatnya pelayanan publik tidak prima.

Ada fenomena yang diciptakan sendiri oleh partai politik ketika menjaring para kandidat, mensyaratkan memiliki kartu tanda anggota (KTA). Persyaratan ini memasuki ranah PNS untuk tidak netral. Pemahaman netralitas PNS memang bisa menjadi subjektif, artinya PNS menjadi tidak netral manakala tidak menguntungkan pihaknya. Namun, PNS menjadi netral dan sah-sah saja manakala berpihak kepada pihaknya.

Bagaimana mungkin PNS memiliki KTA partai politik? Atau yang dimaksudkan tiba-tiba harus membuat KTA dengan berbagai persyaratan? Ini pendidikan politik yang kurang baik. Justru partai politik modern mampu menjaring kandidat kepala daerah yang memiliki kapabilitas dan kompetensi walaupun datang dari luar partai bukan kadernya. Bagaimana posisi PNS yang tidak terlibat menjadi kandidat kepala daerah?

Manajemen kepegawaian di lingkungan PNS, netralitas tercantum pada Pasal 3 UU No 43/1999 tentang Perubahan UU No 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian menyatakan bahwa pegawai harus netral dari semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Sifat netralitas ini tercantum pula dalam Anggaran Dasar Korpri Pasal 3 hasil Munas V Korpri tahun 1999 yang disahkan dengan Keputusan Presiden No 2000 Tanggal 24 Februari 2000.

Untuk menjamin pelaksanaan netralitas PNS, sebelumnya telah ditetapkan PP No 5 Tahun 1999 jo PP Nomor 12 Tahun 1999 tentang PNS yang Menjadi Pengurus/Anggota Partai Politik. Dalam PP tersebut ditentukan antara lain bahwa setiap PNS yang akan menjadi anggota parpol harus terlebih dahulu mendapat izin dari atasan/pejabat yang berwenang dan apabila diizinkan maka PNS yang bersangkutan harus melepaskan jabatan negerinya dan kemudian berhenti sebagai PNS.

Dari mekanisme tersebut, maka seharusnya tidak terjadi seorang anggota/ pengurus parpol yang masih berstatus PNS dan menduduki jabatan negeri. Maka PNS yang menjadi anggota partai politik harus menetapkan pilihannya untuk tetap PNS atau berhenti.

Pada posisi ini PNS menjadi dilematis, dan ada kesan "dirugikan" pada pesta demokrasi lokal lima tahunan. Apalagi PNS-PNS inilah nantinya yang akan dipimpin secara langsung. Ironis memang. PNS harus tutup mata dan telinga. Hak politik dan partisipasi pada pilkada hanya di dalam bilik suara yang waktunya tidak lebih dari lima menit untuk menggunakan hak politiknya. Selebih dari itu, PNS dilarang. Bahkan akan ditindak tegas manakala tidak netral. Karena apa pun yang akan dilakukan dalam konteks pilkada, pasti netralitasnya akan dipertanyakan. Pasal 66 PP 6/2005 dengan jelas pasangan calon dilarang melibatkan PNS.

Apakah mungkin PNS akan tahan untuk tidak ikut ambil bagian dalam proses pilkada? Apakah mungkin kandidat kepala daerah tidak tertarik dan melirik terhadap potensi PNS? Diakui atau tidak, banyak PNS yang memanfaatan momentum pilkada untuk mengubah nasib. Selama jumlah jabatan tidak sebanding dengan stok SDM dari PNS yang secara normatif memenuhi syarat menduduki jabatan tersebut, rasa-rasanya pilkada bisa dimanfaatkan untuk mengubah konfigurasi pejabat, lima tahun ke depan. Kondisi semacam inilah yang ditengarai menjadi titik rawan PNS tidak netral.

Baik PNS maupun kandidat sama-sama saling tertarik untuk bekerja sama meraih kemungkinan memenangkan pilkada. Apalagi kalau kandidat berasal dari pejabat lama yang ikut menjadi calon, atau kandidat yang berasal dari kalangan birokrasi. Bukankah PNS juga sah-sah saja untuk memperbaiki nasib dan memperoleh kedudukan yang lebih enak dan meningkat? Walaupun melanggar netralitas! Posisi kandidat juga sama, memahami kalau PNS harus netral, tetapi tidak mau tahu tetap saja memanfaatkan PNS, bahkan beserta lingkungannya.

Betapa sulitnya PNS menjaga netralitasnya. Betapa sulitnya kandidat tidak memanfaatkan kelompok PNS untuk meraih kemenangan dalam pilkada. Pada posisi sedemikian rupa, siapa yang akan mampu menjamin netralitas PNS, walau sudah ada segudang peraturan perundang-undangan?(18)

- Drs Pudjo Rahayu Rizan MSi, staf di Sekretariat KPU Provinsi Jawa Tengah.
Sumber: Suara Merdeka.

No comments:

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.