Susahnya Melawan Politik Uang Saat Kampanye.
”Ayo kita berhenti menjadi masyarakat yang oon. Kampanye bukan untuk bagi-bagi duit atau sembako. Jangan mau nasib kita selama lima tahun diganti dengan 2 kilogram beras,” kata Rieke Diah Pitaloka saat berkampanye dialogis, Selasa (24/2).
Ia tengah berdialog dengan warga Kampung Cicocok, Kelurahan Citatah, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, dan belum kering rasanya bibir Rieke mengatakan kalimat antipolitik uang itu. Namun, ketika dialog terjadi, beberapa warga memberondongnya dengan sindiran ini, ”Yang mencalonkan diri kan bukan spanduk, tapi orang. Masa tidak punya duit.”
Warga bercerita, setiap menjelang hari pencoblosan, banyak juru kampanye yang mendatangi warga dan memberikan bahan kebutuhan pokok maupun uang. Ini lumrah dan memang ditunggu warga.
Itulah salah satu kendala yang dihadapi calon anggota legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Belasan, bahkan puluhan, proposal permintaan sumbangan juga selalu disodorkan warga kepada Rieke di hampir setiap kampanyenya.
Namun, Rieke berketetapan untuk tidak memberikan uang kepada warga dalam setiap kampanye. Kepada warga, Rieke mengatakan, yang berwenang memberikan bantuan uang maupun bahan kebutuhan pokok adalah Departemen Sosial, bukan caleg seperti dirinya.
”Sekali diberi uang, yang menyerahkan proposal mungkin akan semakin banyak. Sekarang ini, selain ada politisi busuk, juga ada pemilih busuk yang selalu minta amplop,” ungkap Rieke.
Dedy Djamaludin Malik, caleg dari Partai Amanat Nasional nomor 1 di Daerah Pemilihan II Jabar, merasakan juga betapa sulitnya memerangi politik uang. ”Sampai saat ini masih ada caleg yang belum pernah turun lapangan dan hanya uangnya yang datang,” kata Dedy.
Untuk memerangi politik uang, Dedy menerapkan strategi pengobatan gratis dan asuransi jiwa, bekerja sama dengan salah satu perusahaan asuransi. Dengan modal Rp 500 juta, sedikitnya 70.000 warga di 46 kecamatan telah dia daftarkan sebagai nasabah asuransi jiwa. Sampai saat ini sudah 123 orang yang meninggal dunia dan mendapat santunan. Dedy juga selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah keluarga orang yang meninggal itu.
Berbeda dengan Dedy dan Rieke, Ferry Mursyidan Baldan, caleg dari Partai Golkar untuk Dapil II Jabar, memberi ilustrasi singkat strateginya yang berpola pikir ”matematis”. Karena nomor parpolnya 23 dan nomor urutnya 5, ”jadi saya meminta warga mengingat dua tambah tiga sama dengan lima. Kalau sudah tahu parpol saya warna kuning, tinggal mencari nomor urutnya,” kata Ferry di Bandung.
Rieke merasa perlu mengingatkan warga agar tidak memilih caleg yang membagikan uang. Sebab, merekalah yang menyengsarakan rakyat ketika berkuasa karena cenderung berupaya balik modal.
Sebagai caleg yang berada di Dapil II Jabar (Kabupaten Bandung dan Bandung Barat), setiap hari ia mendatangi tujuh sampai sepuluh titik kampanye yang didominasi warga kelas menengah ke bawah.
Tidak mudah bagi Rieke memberikan pengertian kepada warga tentang substansi politik uang berikut dampaknya selama lima tahun ke depan bagi nasib rakyat.
Akan tetapi, Rieke meyakini, bila ini dilakukan secara konsisten, akan berdampak. ”Warga yang sudah paham bahwa saya tidak memberi uang biasanya mereka tidak menyodorkan proposal, tapi menitipkan pesan agar harga sembako dan BBM tidak dinaikkan lagi. Bagi saya, apa yang mereka titipkan ini lebih membangun,” paparnya.
Untuk menunjukkan keseriusannya sebagai caleg, Rieke membuktikan kepada warga dengan membantu mengurus kartu tanda penduduk, kartu keluarga, maupun akta kelahiran. Selain itu, dia juga menyumbangkan buku bacaan untuk warga. Tujuannya, kalaupun Rieke tidak terpilih, dia ingin meninggalkan jejak nyata bagi warga.
Dengan memberikan asuransi, Dedy ingin menunjukkan kepada warga bahwa caleg mampu memberikan bukti bahkan sebelum dia terpilih sebagai wakil rakyat bahwa caleg juga membantu. Mitos yang mengatakan caleg hanya datang menjelang pemilu, akan terpatahkan. Sebab, meski nanti terpilih sebagai anggota DPR, Dedy akan tetap berkunjung manakala ada nasabah asuransi yang meninggal dunia.
Sistem ini memudahkan Dedy tetap menjaga hubungannya dengan konstituen. ”Bila saya mencalonkan lagi pada tahun 2014, saya tidak perlu capek membangun basis massa. Mereka sudah terbina karena ada komunikasi yang intensif antara saya dan warga,” ujarnya.
Meski demikian, masih ada beberapa konstituen Dedy yang tergoda dengan rayuan politik uang. Sebab, sebagian masyarakat lebih memilih bukti nyata seketika daripada harus menunggu lama. Apalagi menunggu sampai meninggal dunia. ”Jadi, politik uang masih menjadi musuh besar,” ujar Dedy.
Radon (47), penjual siomay di Jalan Garut, Bandung, mengatakan, sangat wajar kalau warga meminta uang ke para caleg. Soalnya, para caleg tak akan mencalonkan diri kalau tidak punya uang. Di samping itu, kalau para caleg berkuasa, uang rakyat juga yang diambil mereka.
”Terus begini, kalau, misalnya, saya diajak ramai-ramai berkampanye terus tidak dikasih uang, siapa yang memberi makan anak istri saya. Kalau ikut kampanye, kan harus libur jualan,” papar Radon.
Hal senada diungkapkan Atang (38), tukang tambal ban di Jalan LL RE Martadinata, Bandung. Baginya, kalau ingin sama-sama menguntungkan, caleg harus membagi-bagikan duit kepada rakyat. ”Jangan hanya ingin dipilih tanpa berkorban,” katanya.
Selain politik uang, kendala lain yang tak kalah serius adalah pemahaman masyarakat tentang pemilihan legislatif itu sendiri. Banyak calon pemilih tidak memahami cara memilih ataupun mengenali caleg.
Untuk mengatasi hal itu, Dedy dan tim suksesnya mencetak 200.000 lembar kartu ukuran A3 sebagai alat simulasi pemilihan. Di kartu itu tertera nama dan nomor urut Dedy agar warga mudah mengingatnya. Untuk memperkuat ingatan warga, Dedy membagikan 200.000 lembar kartu nama lengkap dengan nomor urut caleg.
Rieke memilih mendatangi warga dari pintu ke pintu untuk menyosialisasikan nomor urutnya. Ia meyakinkan warga bahwa perempuan perlu didukung untuk memperjuangkan hak- hak perempuan. Apalagi saat ini ia sedang hamil 38 minggu.
Ini ia jadikan bukti, perempuan seperti dirinya juga berjuang keras untuk meraih apa yang diinginkan....
Oleh: Mohammad Hilmi Faiq
Sumber: Kompas.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.