Abanganisasi Politik Indonesia

Hasil sementara pemilihan umum (pemilu) legislatif 5 April, menegaskan pola menarik atas perilaku politik pemilih. Naiknya suara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan fenomena kehadiran Partai Demokrat yang memperoleh dukungan mengagetkan, segera memunculkan beragam penjelasan. Kenaikan PKS dipercaya karena memperoleh tumpahan suara dari partai-partai berasas Islam serta yang berbasis masa Islam, semisal Partai Amanat Nasional (PAN). Sementara Partai Demokrat diuntungkan oleh dua hal: figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang tengah “naik daun”, dan tumpahan suara bekas pendukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang “kecewa”.

Tetapi dari konteks sosio-politik yang khas di Indonesia, sebenarnya semua itu berada dalam satu fenomena politik yang lebih mengemuka, terutama sejak pemilu 1999 yang lalu, yakni abanganisasi politik. Istilah abanganisasi, terilhami oleh Cliford Geerzt, yang pernah membagi masyarakat Jawa (Indonesia) ke dalam tiga varian budaya (politik): santri, abangan dan priyayi. Zaini Muchtarom (1989) mengkaji lebih lanjut fenomena santri-abangan, dan menjelaskannya ke dalam dua konteks yang berbeda: konteks sosio-religius dan sosio-politik.

Dalam konteks sosio-religius, dengan mudah dapat ditemukan beberapa perbedaan, terkait dengan, antara lain sistem upacara masing-masing. Abangan diwarnai unsur sinkretisme, dibanding dengan yang “putihan” (santri). Abangan tidak taat “syariat”, sebagaimana kalangan santri. Konteks sosio-religius ini, tampaknya kurang menarik atau kalah populer dibanding dengan konteks sosio-politik. Perbedaan dua varian ini, dalam konteks sosio-politik, akarnya dapat ditelusuri sejak masa pergerakan nasional di masa kolonial. Varian santri mengental pada kekuatan-kekuatan politik Islam (yang berasas Islam dan berkeinginan menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai syariat Islam), sementara varian abangan diwakili oleh kekuatan politik Komunis dan Nasionalis-Sekuler.

Varian politik non-santri terdiri dari golongan abangan dan kelompok non-muslim. Pada pemilu 1955 suara kelompok politik santri hampir seimbang dengan kalangan Nasionalis-Sekuler. Bahkan kalau seandainya suara Partai Masyumi digabung dengan Partai Nahdlatul Ulama (NU), yang memisah dari Masyumi pada 1952, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Perti, suaranya cukup signifikan (sekitar 43persen). Artinya kekuatan politik santri tidak bisa diremehkan di negeri berpenduduk mayoritas beragama Islam ini. Prospek untuk meraup prosentase yang lebih besar lagi, dalam kenyataannya, mengalami banyak hambatan, internal dan eksternal. Secara eksternal, dekrit presiden 5 Juli 1959, memperlempang abanganisasi politik di Indonesia pasca kemerdekaan.

Regulasi politik Orde Baru menambah proses abanganisasi berjalan mulus. Pada pemilu 1971 perolehan partai-partai Islam hanya sekitar 27 persen. Oleh Orde Baru lantas “politik aliran” dijinakkan, lewat fusi partai-partai politik. Kekuatan politik santri disatukan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada pemilu-pemilu lain masa Orde Baru PPP tak pernah beroleh suara lebih besar dari masa sebelumnya. Pada pemilu 1977 suara PPP sekitar 29 persen; pada 1982 sebesar 27 persen; 1987 merosot menjadi 16 persen; 1992 sebesar 22 persen. Angka-angka tersebut cukup menjelaskan bahwa secara sosio-politik kekuatan politik santri, menjadi kurang relevan. Faktor eksternal, tepatnya desain politik negara Orde Baru, telah menjadi hal utama dalam kemerosotan kekuatan politik santri.

Tetapi, ketika faktor negara tidak dianggap lagi sebagai penghambat, yang terjadi nyatanya, bukan lantas sekonyong-konyong muncul de-abanganisasi politik. Partai berasas Islam dan berbasis massa Islam merebak, menjadi sekitar 19 buah. Tetapi, perolehan suaranya, secara total hanya sekitar 38 persen. Abanganisasi memperoleh contoh nyata lewat kemenangan PDIP dan Partai Golkar –yang sama-sama berideologi nasionalis-sekuler. Ada beberapa penjelasan tentang fenomena ini, antara lain, karena pengaruh pola politik Orde Baru masih kokoh, serta, terjadinya proses “abanganisasi politik kaum santri”. Artinya, secara sosio-religius, mereka santri, tetapi secara sosio-politik abangan.

Bagaimana dengan pemilu 2004? Tentu saja apa yang terjadi, hanyalah kelanjutan atas proses abanganisasi politik. Dibanding dengan 1999, peserta pemilu 2004 dari kekuatan politik santri (termasuk yang berbasis massa Islam, yakni PKB dan PAN) merosot, menjadi 7 buah. Dengan menunjuk ini saja, jelas bahwa terjadi kecenderungan yang menandai kemerosotan kuantitas politik santri. Tetapi, bagaimana menjelaskan kenaikan suara PKS? Kenaikan suara PKS belum berarti merupakan sebuah gejala santrinisasi politik. Hal ini disebabkan oleh, tidak cukupnya akumulasi prosentase suara PKS dibanding dengan akumulasi kekuatan politik abangan. Juga, ternyata, disinyalir naiknya perolehan suara itu lebih besar berasal dari beberapa partai Islam lain. Sementara, fenomena perolehan suara Partai Demokrat, berkurangnya suara PDIP, naiknya suara Partai Golkar, menjelaskan adanya dinamika politik abangan. Menariknya lagi, ada alasan dari para pendukung PKS, memilih partai ini bukan karena faktor Islam, tetapi akibat citra “kebersihannya”.

Yang menjadi pertanyaan ialah, apakah kelak dalam pemilu presiden yang terjadi tetap, semata merupakan konsekuensi kelanjutan abanganisasi politik santri? Tampaknya demikian, walaupun diakui faktor kekuatan politik santri akan cukup memainkan peranan kelak, khususnya dalam mempengaruhi peta koalisi politik. Hal ini sesungguhnya, telah tampak sejak awal, tatkala nyaris semua “kandidat presiden”, rajin meminta restu para kiai pimpinan pondok pesantren NU maupun non-NU. Semua kekuatan politik (partai-partai politik) mutakhir, terutama partai-partai besar semacam Partai Golkar dan PDIP, juga pendatang baru semacam Partai Demokrat, dituntut mampu meracik komposisi koalisi yang efektif dengan kekuatan politik santri –walaupun kekuatan politik abangan amat signifikan. Wallahua’lam.

* M Alfan Alfian M, Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta.

Sumber: Alfan Alfian.

No comments:

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.