Pada 8 Maret, perempuan di seluruh dunia akan memperingati Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day (IWD). Hari Perempuan Internasional merupakan peringatan atas perjuangan dan pencapaian yang telah diraih oleh kaum perempuan di wilayah publik. Pengakuan atas peran publik perempuan merupakan buah perjuangan perempuan di seluruh dunia.
Keterlibatan perempuan dalam kehidupan publik diawali dengan gerakan-gerakan yang
mengarah pada tuntutan atas hak-hak sosial, ekonomi, dan politik. Gerakan perempuan
semakin menguat pada awal abad ke-20, yang didorong oleh pesatnya perkembangan industri dan ekspansi ekonomi di mana-mana, yang mengakibatkan buruknya kondisi pekerja. Pada 8 Maret 1857, kaum perempuan pekerja pabrik tekstil dan pakaian turun ke jalan-jalan di New York, menuntut perbaikan kondisi kerja yang lebih manusiawi. Di bidang politik, tuntutan perempuan untuk dilibatkan dalam politik membuahkan hasil dengan diberikannya hak pilih bagi perempuan untuk pertama kalinya di Selandia Baru pada 1893.
Meskipun berbagai pencapaian perempuan di wilayah publik telah diraih, namun itu tidak serta-merta mendorong perbaikan "nasib" perempuan. Kemapanan kultur patriarki yang sudah mengakar di masyarakat sulit dilebur. Seringkali, dukungan terhadap emansipasi perempuan di dunia publik dipahami hanya sebatas membiarkan perempuan bersaing dengan laki-laki memperebutkan posisi di dunia publik tanpa memperhatikan keberadaan sistem yang sudah mapan, yang harus dihadapi perempuan.
Kultur patriarkat dengan pembagian peran yang menempatkan perempuan di wilayah domestik mengakibatkan perempuan tersingkir dari arena publik. Tersingkirnya perempuan dari arena publik berimbas pada nasib perempuan di arena domestik, karena ia menjadi bagian dari struktur sosial dan politik yang ditentukan di wilayah publik.
Keadilan Moral
Meskipun kesetaraan antara lelaki dan perempuan sudah diakui dalam kehidupan masyarakat modern, namun realitasnya masyarakat masih menghidupi norma-norma patriarkat yang menimbulkan ketidakadilan gender. Menjadi perempuan merupakan sesuatu yang bersifat kodrati, karena tidak bisa dipilih. Namun, ketidakadilan yang harus ditanggung oleh perempuan karena kultur, merupakan sesuatu yang harus diubah, karena bertentangan dengan moralitas.
Dalam konteks ketidakadilan akibat struktur dan sistem sosial yang tidak adil, pemikiran John Rawls tentang Justice as a fairness sangat relevan. Bagi Rawls, kodrat sosial manusia tidak memberikan pilihan bebas bagi manusia untuk hidup di luar konteks sosial.
Pemilahan antara laki-laki dan perempuan merupakan hal yang alamiah dan tidak dapat
diubah, namun ada cara yang dapat dilakukan untuk mengubah ketidakadilan gender yang
terjadi di masyarakat. Di sinilah pentingnya institusionalisasi kehidupan manusia dalam masyarakat, yakni untuk memberikan ruang kebebasan yang sama bagi semua orang agar mencapai tujuan masing-masing sambil mengupayakan kehidupan bersama yang layak dan adil. Ketidakadilan gender harus dilihat sebagai ketidakberuntungan yang layak untuk dikompensasi. Tak seorang pun menghendaki diperlakukan tidak adil.
Tapi, persoalannya adalah apakah adil juga bagi mereka yang lebih beruntung untuk
memberikan kompensasi? Dalam konteks Indonesia, pertanyaan ini penting untuk diajukan
terutama menyangkut zipper system yang akan digunakan oleh KPU. Pro dan kontra penghapusan peraturan affirmative action yang memberikan 30 persen kursi bagi caleg perempuan (putusan MK tentang pembatalan Pasal 214 UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu) masih banyak didiskusikan. Diskusi menjadi bertambah ramai ketika KPU mengatakan bahwa masih ada peluang bagi upaya mendorong keterlibatan perempuan dalam wilayah politik melalui zipper system.
Berkenaan dengan persoalan ini, banyak pihak yang menilai bahwa upaya perempuan
mempersoalkan penghapusan peraturan tentang affirmative action dan dukungan KPU melalui zipper system merupakan bentuk ketidakpercayaan diri perempuan, sehingga membutuhkan perlindungan dan dukungan aturan yang dianggap tidak fair.
Affirmative action merupakan upaya melibatkan perempuan dalam konstelasi politik di
Indonesia, yang sejak merdeka didominasi oleh laki-laki. Dukungan terhadap perempuan dalam politik ini dianggap perlu karena perempuan dianggap sebagai the worse-off dalam kultur politik yang patriarkat. Persoalan moralnya adalah apakah adil bagi laki-laki yang kebetulan diuntungkan oleh kultur patriarkat untuk memberikan peluang bagi kaum perempuan yang worse-off, karena dalam zipper system, caleg laki-laki "dipaksa" untuk memberikan tempat bagi caleg perempuan.
Memperhatikan rendahnya keterlibatan perempuan dalam politik praktis, maka upaya untuk mendorong keterlibatan perempuan dalam parlemen masih perlu dilakukan. Affirmative action yang bertujuan mempercepat keterlibatan perempuan dalam politik setelah lama terpinggirkan masih dibutuhkan. Dalam konteks ini, zipper system dapat dibaca sebagai kompensasi bagi perempuan yang tidak diuntungkan oleh ideologi patriarkat. Namun, hal tersebut tidak berarti bahwa caleg perempuan yang manapun layak untuk didukung, tetap harus dilakukan proses seleksi menyangkut kualitas dan kinerjanya di partai. Sehingga bagi caleg perempuan, kursi yang kemudian akan mereka dapat melalui jalan percepatan itu bukanlah hadiah cuma-cuma, tapi hasil kerja keras yang layak diterima.
Ditulis oleh Febiana Rima
Selasa, 24 Maret 2009 00:00 - Terakhir Diperbaharui Selasa, 31 Maret 2009 21:40
* Penulis adalah pengajar Etika di Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
nice info
waa,, makasih, lagi cari bahan buat tugas PKn soal keadilan di Indonesia..
thxu thxu
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.