Dilema Politik Tuan Guru

Oleh: MUHARRIR*


Keterlibatan tuan guru dalam ruang politik nampaknya harus di pandang secara serius. Sebab sebagaimana dipahami bahwa politik di Indonesia sangat sarat dengan fragmentasi kepentingan sesaat, sedangkan tuan guru merupakan sosok yang membawa misi ketuhanan yang berlaku dalam jangka waktu yang tak terbatas. Moralitas dan misi keagamaan sangatlah berbeda dengan moralitas dan misi politik. Moralitas dan misi agama bersandar pada citra ilahi yang mengandaikan totalitas pengabdian dan keihlasan yang terkait dengan dimensi esoterik yang bersifat metafisik sedangkan politik bercorak profan, sekuler dan terkait dengan posisi kuasa.

BERBICARA tentang politik tuan guru, maka kita akan mencoba untuk menilik kembali kiprah politiknya yang bersipat normatif dan pleksibel pemilu 2004 dan pemilihan kepala daerah mendatang merupakan pintu gerbang bagi tuan guru untuk ikut dalam pentas politik praktis, baik memberikan dukungan kepada salah satu calon ataupun menjadi kandidat kepala daerah dalam Pilkada mendatang. Pondok pesantren sering kali menjadi rebutan partai politik dan para kandidat, keterlibatan tuan guru dan kiprahnya dalam bidang politik memang cukup fenomenal untuk di angkat kepermukaan serta eksistensi pondok pesantren sebagai institusi pendidikan yang “kadang – kadang” dimanfaatkan oleh pengasuhnya (tuan guru) untuk mendukung kepentingan politik tertentu.

Pondok pesantren memiliki peran sebagai lembaga pendidikan keagamaan (tapaqqahu fiddien) dan sebagai lembaga pelayanan sosial kemasyarakatan (dakwah). Peran pesantren sebagai lembaga pendidikan yang megajarkan ilmu keagamaan dan nilai nilai kesantunan tidak banyak di soroti oleh para politisi kecuali para pemerhati pendidikan, namun pesantren sebagai lembaga dakwah yang berhubungan secara langung dengan masyarakat sangat menarik perhatian para politisi sebagai bidikan untuk mengangkat suara partai politiknya, “tuan guru seabgai pengasuh pondok pesantren mimiliki kharisma yang luar biasa di mata santri dan masyarakat, dengan berbasis pengetahuan keagamaan, santri dan masyarakat akan mendengar titah dan patuh (sami’na wa’atho’na) kepada tuan guru”( Endang Turmuzi 1996:106)

Pondok pesantren yang terbuka kepada politik, bahkan sampai ada yang terlibat secara langsung pada politik praktis, kelompok ini membuka diri pada elit politik atau pejabat pemerintahan, sehingga pondok pesantren sering menjadi tempat kunjungan elit partai politik untuk melakukan “silaturrahmi politik.” dalam rangka mencari dukungan untuk memenangkan salah stu calon kepala daerah.

Gelar Pilkada, akan menimbulkan berbagai perubahan karakter pada struktur sosio-politik. Mulai dari eforia kelas menengah yang tersedot perhatiannya untuk terlibat menjadi tim sukses hingga pemberian dukungan secara “nyata dan vulgar” oleh kelompok sosial yang selama ini dikenal sebagai kelompok high social (tokoh agama/tuan guru) kedalam wilayah politik. Dukungan tuan guru yang notabene sebagai pemimpin pondok pesantren memberikan dukungan kepada salah satu calon, menjadi bukti bahwa kelompok ini telah masuk ke dalam wilayah politik paraktis.

Peristiwa politik kali ini memberikan corak yang berbeda atas keterlibatan banyak kelompok sosial di daerah Nusa Tenggara Barat. Kondisi ini sangat berbeda dengan pemilu sebelumnya. Kalau dulu hanya sebagian kecil tuan guru yang mau terlibat secara penuh memberikan dukungan karena masih menganggap politik sebagai peristiwa “duniawi” yang perlu ditenggelamkan kedalam telaga eksotisme agama. Fakta ini tentunya berbeda dengan Kiyai di pulau Jawa yang sejak semula memang telah banyak terlibat dalam peristiwa politik. Namun kini sebagian besar tuan guru di Lombok terlibat secara vulgar membangun afiliasi kepada salah satu calon ataupun Partai tertentu.

Dalam perjalanannya predikat sosial-keagamaan tersebut telah mengalami pergeseran sensibilitas karena pengaruh perkembangan sosial, budaya dan politik. Kalau dulu, kharisma sangat lekat dengan kemampuan supranatural seseorang namun kini kharisma sangat ditentukan oleh kemampuan membangun pengaruh dan mobiliasi sosial. Kharisma inilah yang telah menyedot pengaruh yang demikian kuat sehingga relasi kuasa yang terbangun antara tuan guru dan masyarakat berada pada bingkai yang metarasional. Masyarakat dengan suka rela akan membela dan mengikuti setiap pilihan yang diambil oleh tuan guru tanpa mempertimbangkan lebih jauh dimensi diluar keyakinan dan ketaatan .

Dalam kontek politik, tuan guru dapat mendatangkan suara dalam jumlah besar, tokoh kharismatik akan selalu menjadi incaran team sukses atau paertai politik, tuan guru diharapkan akan mengkristalisasikan pengaruhnya pada persepsi politik masyarakat. Maka berbagai pola pendekatan yang dilakukan aktor politik (termasuk tim sukses) untuk memperoleh dukungan dari tuan guru merupakan manifestasi dari keinginan mereka untuk mengambil pengaruh untuk memenangkan calon yang di jagokan.

Jelas sekali bahwa posisi ini memberikan corak hubungan simbiosis yang tak seimbang. Tuan guru berposisi sebagai subyek sekaligus obyek yang dimanfaatkan pada saat pilkada, dan posisi tuan guru berada dibawah kontrol (under control) instrumen politik. Padahal tuan guru amatlah sentral posisinya dalam kehidupan masyarakat. tuan guru secara tidak langsung akan bertanggung jawab penuh kepada masyarakat pada setiap pilihan yang diambil karena ini menyangkut kepercayaan dan tanggung jawab yang tidak hanya terkait dengan soal dunia, namun telah dianggap oleh masyarakat sebagai bagian dari tindakan ibadah yang bersandar pada tanggung jawab akhirat.

Keterlibatan tuan guru dalam ruang politik nampaknya harus di pandang secara serius. Sebab sebagaimana dipahami bahwa politik di Indonesia sangat sarat dengan fragmentasi kepentingan sesaat, sedangkan tuan guru merupakan sosok yang membawa misi ketuhanan yang berlaku dalam jangka waktu yang tak terbatas. Moralitas dan misi keagamaan sangatlah berbeda dengan moralitas dan misi politik. Moralitas dan misi agama bersandar pada citra ilahi yang mengandaikan totalitas pengabdian dan keihlasan yang terkait dengan dimensi esoterik yang bersifat metafisik sedangkan politik bercorak profan, sekuler dan terkait dengan posisi kuasa.

Daerah Nusa Tenggara Barat khususnya masyarakat Lombok sangatlah jarang tokoh agama yang bersentuhan dengan dunia politik. Wilayah politik praktis nyaris tidak pernah identik dengan tuan guru. Disamping karena masyarakat Lombok tidak memiliki basis politik yang kuat juga tidak memiliki afiliasi secara permanen (yang dibentuk atas ikatan sosio-kultural sebagaimana kiyai NU di PKB) dengan payung politik tertentu. Kalaupun pernah ada hanya sebatas membangun afiliasi semu yang tidak diikuti oleh “semangat” yang kuat untuk mem-bangun spektrum politik yang diwarnai oleh moralitas agama, namun keterlibatan itu sekedar pertimbangan taktis tuan guru untuk pembangunan dan pengembangan institusi keagamaan yang di pimpin (Pondok Pesantren) .

Keterlibatan beberapa tuan guru dalam parade politik kali ini merupakan fase yang akan di jadikan momentum untuk melakukan perubahan dan artikulasi sosial tuan guru terhadap kehidupan sosial-politik yang sedang berkembang. Kondisi kehidupan bernegara yang tidak stabil dan moral politik yang korup dalam menjalankan fungsi kenegaraan, secara moral fakta ini mendorong tuan guru untuk ikut terlibat dalam kancah perpolitikan nasional, kehadiran tuan guru dalam dunia politik praktis,di harapkan dapat memperabaiki kondisi negara yang sudah tidak menentu, “landasan teologis dan bangunan sejarah negeri ini menjadi dasar pijakan kuat para tuan guru untuk masuk ke dalam dunia politik.

Dalam sejarah perpolitikan tuan guru selama Orde Baru, tuan guru hanya di manfaatkan untuk mendapatkan dukungan rakyat pada saat menjelang pemilu, ketika pemilu sudah berlalu tuan guru selalu di letakkan pada Posisi subordinatif, dengan meli-hat fakta seperti ini, sehingga tuan guru terlibat secara lansung dalam Politik Paraktis. Eksistensi tuan guru semasa Orba di pentas politik nasional hanya sebatas “stempel” untuk memberikan legitimasi penuh terhadap kekuasaan. Pasca tumbangnya rezim Orde Baru, menjamurnya partai politik memberikan ruang kepada setiap orang untuk melakukan artikulasi politik, tuan guru sebagai tokoh sentral, beramai – ramai terlibat dalam politik praktis memberikan dukunagannya kepada salah satu calon. Kehadiran tuan guru dipentas politik lokal ataupun nasional.

Keterlibatan tuan guru tidak hanya di jadikan sebagai penopang atau penyangga kekuasaan, keberadaan mereka diharapkan dapat memanfaatkan posisi politik untuk meberikan kritikan atau pun Presure terhadap pemerintah., sehingga kehadiran tuan guru tidak hanya di anggap sebgai penyangga kekuasaan semata, tetapi memiliki posisi tawar yang kuat di legislatif. Untuk memperbaik reputasi politiknya, tuan guru yang selama ini di “cemohkan ” oleh berbagai kalangan, harus berani tampil kedepan menunjukkan sikap kritis dan melakukan Pembelaan terhadap persoalan rakyat.

Yang menjadi persoalan sekarang ini adalah ketika tuan guru yang selama ini di dengar dan tidak boleh di bantah oleh para santri dan masyarakat karena mempunyai otoritas sentral dan kharismatik yang tinggi, jika mereka terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan, konsekuensinya mereka akan mendapatkam kritikan bahkan akan di protes dengan aksi massa. Kenyataan ini juga, minimal akan berdampak pada tiga hal; pertama, tuan guru akan kehilangan pijakan legitimasi sebagai “ikon suci” ditengah masyarakat.

Kedua, institusi ketuan guruan akan mengalamai demistifikasi yang secara lumrah berakibat pada pengurangan peran tuan guru dalam semua aspek. Ketiga, tuan guru akan cendrung dicurigai karena telah terlibat pada wilayah kelompok kepentingan. Nada miring dari sebagaian kalangan yang di lontarkan kepada tuan guru memang sudah menjadi resiko yang harus di terima oleh para tuan guru, ketika mereka memilih menjadi politisi.”Tapi dibalik itu mereka mendapat reward yang melimpah ruah secara ekonomi, dan populeritasnya pun akan melejit

1 comment:

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.