Kritik Untuk Good Governance

Sound Governance (SG) adalah konsep yang sama sekali baru di Indonesia. Konsep ini menyeruak hadir di tengah kegandrungan dunia yang teramat sangat dengan Good Governance (GG) yang seolah telah menjadi kebenaran absolut dalam wacana demokrasi dan administrasi publik. Buku ini dengan nekad hadir ke tengah kemapanan keyakinan masyarakat akan sistem nilai yang disebut GG. Mungkin saja konsep baru ini akan diabaikan begitu saja, ditentang habis karena dianggap telah melanggar pakem, atau mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan. Tetapi semoga tidak untuk menggantikan posisi dogmatis Good Governance [GG].

Sejak lebih dari dua dekade terakhir perkembangan ilmu administrasi publik telah sampai pada konsep Good Governance (GG). Konsep ini telah menjadi kata ajaib (buzzword) yang bisa melewati batas-batas perbicangan dimensional dan sektoral. Batas dimensional adalah ketika kita berhadapan dengan semest perbicangan ekonomi, politik, sosial, bahkan lingkungan hidup. Sedangakan batas sektoral adalah mencakup berbagai sektor seperti pertanian, kemiskinan, transportasi, bisnis perusahaan, kelautan, maupun pengendalian polusi. GG telah menjelma seperti hantu yang bisa merasuki setiap pojok ruang-ruang diskusi para sarjana dan pelaku dalam ilmu sosial. Tidak sedikit pihak yang telah mencoba untuk melakukan kritik terhadap GG. Dari berbagai sudut pandang dan posisi ideologis. Akan tetapi baru satu membuktikan bahwa dirinya tidak hanya mendekonstruksi, tetapi juga merekonstruksi. memberikan solusi konkret ketika menyarankan untuk meninggalkan proyek-proyek Good Governance dan beralih menuju Sound Governance.

Berakhirnya era Good Governance

Tak dipungkiri kehadiran GG cukup revolusioner dalam kancah ilmu sosial. GG juga telah melakukan revisi total atas term Administrasi Publik atau Pemerintahan yang selama ini telah terlanjur institusionalistik. Governance sudah bukan lagi secara eksklusif yang menu yang disuguhkan pada negara dan sub-sub organsasinya (public sectors). Governance adalah sebuah proses berinteraksinya berbagai elemen (dipersepit dalam tiga aktor kunci, yaitu negara, masyarakat dan bisnis) utamanya dalam mengelola sektor-sektor yang menjadi hak publik atau public patrimony. GG kemudian bagai kanker ganas menyebar kesegala arah. Tidak hanya berkutat pada ilmu administrasi publik, tapi merabah pada bidang-bidang ilmu lain seperti pemberdayaan masyarakat, lingkungan hidup, ekonomi politik, hukum, dan sosiologi terapan. Produk yang paling fenomenal dari GG adalah ketika dirinya berhasil menemukan missing link antara kerja refomasi pemerintahan dengan penanggulangan kemiskinan. Argumentasinya adalah dengan GG maka distribusi anggaran pemerintah dan kalangan bisnis kepada masyarakat miskin makin terbuka lebar (Renzio, 1997).

Kenyataannya meang tidaklah jauh dari harapan. Inovasi-inovasi seperti Pilkada Langsung, Musrenbang, Penjaringan Aspirasi Masyarakat adalah merupakan hasil (output) dari penerapan GG. Yang dampaknya (outcome) adalah makin eratnya interaksi antara rakyat dengan negara, utamanya adalam distribusi anggaran. Bukti-bukti ini juga dapat kita lihat di belahan dunia lain. Brazil telah sangat terkenal dengan program Orçamento Participativo-nya (Partisipasi Anggaran) di Porto Alegre. Program PARPA di Mozambique yang telah berhasil meningkatkan alokasi pendidikan dan infrastruktur rakyat 20% dalam kurun waktu empat tahun (Samuels, 2008).

Hanya saja prestasi gemilang dari Good Governance (GG) tersebut menuai kritik tajam yang berangkat dari identitasnya itu sendiri. Kata “good” menjadi sesuatu yang hegemonik dan seragam. Proses penyeragaman atas sesuatu yang di sebut “good” itu juga dilakukan tak jarang dengan paksaan. Ali Farazmand (2004) secara tegas menyebutnya sebagai bagian dari praktik penyesuaian struktural (structural adjustment programs/SAPs). Sebab kenyataannya diberbagai belahan dunia GG adalah program yang diintrodusir oleh lembaga-lembaga donor internasional, seperti WB, IMF, ADB, UNDP, EU dll. Indikator akan sesuatu yang disebut “good” itu juga dibawa jauh dari Amerika Serikat atau Eropa untuk kemudian dipakai untuk mengukur berbagai praktik di negara-negara berkembang baik di Asia, Afrika maupun Amerika Selatan/Karibia. Tidak ada ruang bagi lokalitas untuk mendefinisikan “good” menurut keyakinan mereka. Term ‘good’ dalam GG adalah westernized dan diabsolutkan sedemikian rupa sehingga terkadang mendekati ‘god’.

Berminat diskusi mengenai administrasi publik, birokrasi, governance dan Sound Governance? Kunjungi official site "Senjakala Good Governance" di http://www.sg.averroes.or.id

Sumber: Simpul Demokrasi.

No comments:

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.