Etika Politik dan Hasrat Berkuasa

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap kepada siapa pun yang akan
menjadi pemimpin bangsa ini ke depan untuk mengutamakan sikap kenegarawanan
dengan mengedepankan etika politik dan perilaku politik yang baik dalam
memimpin bangsa ini.

Hal itu dikatakan Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng kepada wartawan di
Wisma Negara, Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (21/8), sesaat
setelah mendampingi pengurus Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Boleh dipastikan, siapa pun setuju dengan harapan itu. Kita senang kalau para pemimpin bangsa ini sungguh-sungguh negarawan: yang mampu berpikir dan bersikap dengan kerangka dan spirit nasionalisme, yang tidak membeda-bedakan rakyat berdasarkan latar belakang etnik, agama, golongan, status sosial ekonomi, daerah asal, dan lainnya.

Kita juga senang jika para pemimpin sungguh-sungguh mengedepankan etika politik dan perilaku politik yang baik dalam memimpin bangsa ini. Etika dan perilaku sama-sama berkait dengan moral, sedangkan moral diturunkan dari norma dan nilai. Jadi, jika etika dan perilaku politik para pemimpin sungguh-sungguh mengindahkan moral yang sesuai dengan norma dan nilai yang kita junjung tinggi, niscayalah persoalan dan masalah yang menimpa bangsa ini tak akan terlalu banyak.

Namun, fakta bicara lain. Soal kenegarawanan, tak sedikit pemimpin yang kerap diskriminatif ketika berhadapan dengan rakyat. Bayangkan jika istilah ”mayoritas” dan ”minoritas” disebut-sebut ketika berupaya mencari solusi di balik konflik antarkelompok di masyarakat seraya mengimbau agar yang ”minoritas” tahu diri. Dalam kategori statistik, mayoritas dan minoritas memang ada dan tak mungkin dibantah. Namun dalam paradigma nasionalisme, kedua istilah tersebut sungguh usang dan karenanya tak sekali-kali boleh diucapkan. Maka, jika masih ada orang-orang yang menggunakannya, mereka patut dianggap kontra-nasionalis. Kalau itu rakyat biasa, mereka perlu dicerahkan. Kalau itu pemimpin, selayaknya dicopot saja dari posisinya. Sebab, mereka telah melanggar sumpah untuk selalu setia kepada Pancasila, UUD 45, dan NKRI.

Soal kenegarawanan ini haruslah ditunjukkan bukan hanya ketika berhadapan dengan rakyat, tetapi juga di saat merancang dan membahas pelbagai peraturan publik di aras nasional dan daerah. Jika peraturan publik yang tidak seutuhnya dan sepenuhnya menjunjungtinggi nasionalisme itu sudah ada, kiranya para pemimpin dengan rendah-hati dan jiwa-besar bersedia merevisinya. Ke depan, kiranya para pemimpin selalu mawas-diri dan meninggikan nasionalisme dalam proses-proses dan kerja-kerja politik agar tidak memproduksi kebijakan politik yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, dan NKRI.

Soal etika dan perilaku politik, para pemimpin nampaknya juga masih perlu belajar banyak. Misalkan dalam pemilu si A terpilih menjadi wakil rakyat, itu berarti si A harus selalu bertanggungjawab selama lima tahun kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Namun, jika di tahun pertama atau kedua (pokoknya sebelum berakhir masa jabatannya di parlemen) si A kemudian ’loncat pagar’ ikut pilkada demi merebut jabatan kepala daerah (entah gubernur atau
walikota/bupati), tidakkah ia sebenarnya telah ingkar janji kepada rakyat yang sebelumnya telah memberinya kepercayaan untuk menjadi wakil rakyat? Apalagi jika si A menang dan akhirnya melepas jabatannya di parlemen. ”Tapi, itu kan bukti bahwa rakyat juga memberi kepercayaan kepada saya untuk menjadi kepala daerah?” mungkin begitu dalih si A. Jawaban seperti itu bisa saja benar, tapi bisa juga salah. Orang-orang seperti si A, yang sejak pilkada langsung diberlakukan cukup banyak bermunculan, mestinya memikirkannya sendiri dengan hati-nurani.

Itulah hasrat berkuasa yang begitu menggebu-gebunya sampai-sampai mampu mengalahkan etika politik. Jika hasrat tersebut bahkan membuat si A sanggup menabrak rambu-rambu politik, baik di lingkungan internal (partai dari mana ia berasal) maupun eksternal (peraturan pemerintah atau negara), niscaya perilaku-perilaku politik yang menyimpang dari ketentuan atau melanggar peraturan pun sanggup dilakukannya di kemudian hari. Negara rusak dan rakyat menderita punya pemimpin seperti itu.

Fenomena hasrat berkuasa yang membara itu ternyata bisa juga berwujud sebaliknya: dari eksekutif ingin ’lompat pagar’ ke legislatif. Itulah yang diperlihatkan hari-hari ini oleh Fadel Muhammad, Gubernur Gorontalo, yang ingin meraih kursi di DPR. Padahal, sebagai gubernur, ia baru lebih setahun menjalankan masa jabatan keduanya. Tak pelak, Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla pun menampiknya. ”Sebagai kader partai, dia seharusnya memiliki komitmen untuk menduduki jabatan itu selama lima tahun. Jangan sampai di tengah-tengah harus ganti arah. Sudah diberikan amanah dan itu harus dijalankan sesuai dengan waktunya,” kata Kalla.

Menarik sekaligus menggelitik kita untuk bertanya: ada apa di balik hasrat menjadi anggota DPR yang terpendam di sanubari Gubernur Fadel Muhammad? Diduga, dari DPR kemudian ia siap-siap ’lompat pagar’ lagi demi meraih jabatan wakil presiden. Jika itu benar, inilah hasrat berkuasa yang tidak mengindahkan etika politik yang baik. Memang, sejauh ini tidak ada peraturan yang tegas terkait ’lompat pagar’ para pemimpin dari satu lembaga ke lembaga yang lain. Itu sebabnya ada beberapa anggota DPR yang di tengah masa jabatannya kemudian
pindah ke eksekutif menjadi kepala daerah. Ada juga yang dari DPR pindah ke Mahkamah Konstitusi.

Sulit memberi penilaian etis tidaknya kepada mereka yang berperilaku politik seperti itu, karena dasar hukumnya memang tidak ada. Namun, etika memang bukanlah soal hukum (peraturan tertulis), karena etika haruslah dilandasi dengan apa yang di Indonesia disebut ’kepantasan’ atau ’kepatutan’. Jadi, ia haruslah mempertimbangkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Ia juga harus memperhatikan kelaziman-kelaziman serta suasana batin masyarakat sesuai konteks waktu dan perkembangan situasi kondisi. Ada nalar, juga rasa, yang mestinya diseimbangkan. Dengan demikianlah niscaya kekuasaan betul-betul didayagunakan sebagai alat demi mewujudkan kebaikan, keadilan, dan kebenaran bagi rakyat dan negara. Dengan demikianlah kekuasaan tak semata berorientasi kepentingan praktis, melainkan alat belaka untuk melayani. Itulah yang pernah dikatakan oleh Dr Johannes Leimena, seorang deklarator Sumpah Pemuda 1928 dan negarawan besar di era pemerintahan Soekarno.

Ke depan, bagaimana agar etika politik yang baik menjadi pedoman para pemimpin dalam berperilaku politik? Seharusnya setiap agama cukup untuk dijadikan sumber etika. Masalahnya, apakah agama yang dianut para pemimpin itu dipahami dengan benar dan dihayati dengan baik? Jika tidak, sangat mungkin para pemimpin itu hanya mengandalkan intuisi politik dan bukan etika politik. Alhasil, proses-proses dan kerja-kerja politik kehilangan jiwanya sehingga produk-produknya pun tidak berorientasi kebaikan, keadilan, dan kebenaran bagi rakyat dan negara. Maka, tak heranlah jika reformasi yang telah berjalan sedekade ini hanya ”begitu-begitu saja” di mata banyak orang. Ironis dan memprihatinkan, karena biaya yang sangat besar telah dicurahkan untuk mewujudkan agenda-agenda reformasi itu.

* Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol.
(www.victorsilaen.com)
Telah dimuat pada Harian Seputar Indonesia, 8 September 2008

No comments:

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.