Konstitusionalisme Populis

Konstitusionalisme Populis
Oleh : Zainal Arifin Mochtar


Sebagai sebuah cita-cita adanya supremasi konstitusi, konstitusionalisme mendapat tepukan hangat sepanjang sejarah. Sejarah konstitusionalisme di pelbagai belahan dunia telah terukur pada wilayah spasio-temporal. Constitution of Athens karya pemikir ternama Yunani, Aristoteles [1]. Ia setidaknya telah menunjukkan keseriusan untuk menggambarkan potret ketatanegaraan serta cita-cita konstitusi dalam membangun konstitusionalime, meski dengan perspektif yang masih terbatas pada beberapa abad sebelum masehi.

Dalam pembagian Aristoteles, terdapat 'right constitution' dan 'wrong constitution' dengan ukuran kepentingan bersama itu. Jika konstitusi diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama, maka konstitusi itu disebutnya konstitusi yang benar, tetapi jika sebaliknya maka konstitusi itu adalah konstitusi yang salah. Ukuran baik-buruknya konstitusi itu baginya terletak pada prinsip bahwa "political rule, by virtue of its specific nature, is essentially for the benefit of the ruled" [2].

Kemudian, dunia semakin serius dengan perkataan untuk menjelaskan cita-cita tersebut. Walton H. Hamilton [3] menuliskannya dengan kalimat "Constitutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of words engrossed on parchment to keep a government in order". Suatu pandangan yang dapat diartikan sebagai upaya menjaga pemerintahan tetap pada fitrahnya. Bukan sekedar itu, ide konstitusionalisme juga mendapatkan sentuhan modifikasi dengan teori transisional. Rudi G. Teitel [5] termasuk salah satu diantara pencetus ide pemahaman akan konstitusionalisme transisional.

Namun dalam wilayah prosesinya, bentuk yang beragam membuat pandangan tidak seragam dan sering berada pada wilayah perdebatan. Mark Tushnet [7] misalnya pada Taking The Constitution Away From The Courts, ia mengkritik proses konstitusionalisme di Amerika. Menurutnya, problem paling kontemporer dari konstitusionalime Amerika adalah konstitusi Amerika sudah terlalu jauh dari fungsi konstitutif yang seharusnya diberikan kepada rakyat Amerika. Konstitusi (constitution) 'mati' punya kaitan erat dengan kata konstituen (constituent) sebagai konstitusi yang 'hidup', namun ironinya yang menentukan konstitusionalisme Amerika adalah para pengacara dan hakim di dalam sidang.

Konstitusionalisme Indonesia

Indonesia juga punya cita-cita konstitusionalisme. Doktrin orde baru pada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen pada sesungguhnya merupakan itikad cita-cita konstitusionalisme. Namun, konstitusionalisme gaya orde baru diperjuangkan dengan cara monopoli interpretasi penguasa terhadap maksud dari UUD 1945. Sehingga masa itu, konstitusionalisme Indonesia adalah konstitusionalisme penguasa.

Ketika orde reformasi yang diikuti dengan Amandemen UUD 1945, konstitusionalime Indonesia mengalami pergeseran. Dicantumkannya Indonesia sebagai negara hukum sedikit menggeser komposisi kekuasaan judisial. Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) berbagi peran. Supremasi MK pada peradilan berbasis konstitusi, dan MA pada basis hukum. Pada ranah legislatif, konstitusi juga mentitahkan DPR sebagai positive legislature dan memberikan ke MK peran sebagai negative legislature. Hal yang sama juga diberikan kepada eksekutif, MK mendapat porsi yang juga lumayan kuat pada prosesi impeachment tampuk pimpinan kekuasaan eksekutif.

Harus diakui, pasca amandemen MK adalah the new rising star dan menjadi penafsir tunggal bagi the soul of the constitution di dalam peradilan ketatanegaraan Indonesia.

Problema Konstitusionalisme Indonesia

Di sinilah masalah bagi bentuk baru konstitusionalisme Indonesia tersebut. MK seringkali bergerak tanpa melirik pada kehendak konstituen. MK misalnya, ketika memberikan putusan constitutional review terhadap UU Sumber Daya Air lebih banyak terikat pada isi dan bunyi UUD 1945, daripada bunyi dan isi teriakan hati nurani konstituen rakyat Indonesia yang menolak UU tersebut. MK menjadi penafsir konstitusi yang nir-konstituen. MK mengikatkan diri pada konstitusi dan pada saat yang sama membebaskan dari dari pemilik utama konstitusi itu sendiri. Putusan MK yang lainnya juga seringkali menderita hal yang sama, seperti pada UU Pemerintahan Daerah (UU No.32 Tahun 2004), UU Pemekaran Papua (UU No. 45 Tahun 1999), dan UU Migas (UU No. 22 Tahun 2001).

Konstitusionalisme Indonesia makin lama makin terjebak pada logika ini. yang kemudian telah menulari berbagai lembaga yang ada di dalam konstitusi itu sendiri. Ini yang menyebabkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memaksakan diri untuk belajar ke luar negeri dengan alasan ketakutan jika produk UU-nya akan di-invalidkan oleh MK, bukan ketakutan pada protes masyarakat terhadap produk UU-nya. Ketakutan kepada penafsir konstitusi lebih kuat dibanding kepada pemilik utama dari konstitusi.

Problema kedua adalah karena jebakan logika keliru konstitusionalisme ini seringkali menjadikan MK seakan over acting. Bahkan bukan hanya secara kelembagaan, tapi juga diderita secara personal pada lembaga tersebut. Seringkali komentar dari pimpinan pada lembaga tersebut menjadi polemik, karena komentar yang berlebihan terhadap suatu perkara yang belum diteliti secara yuridis kelembagaan. Ungkapan yang seringkali sudah merupakan konklusi personal yang mendahului analisa kelembagaan. Hal ini mengingatkan kita pada komentar Ketua MK ketika pelaksanaan sengketa pemilihan umum presiden tahun silam. Komentar tersebut kemudian dikatakan oleh Azyumardi Azra dapat memancing kemarahan banyak pihak [4].

Malangnya, gaya konsklusi mendahului analisa ini juga tertular ke Ketua MA. Contoh paling anyar adalah kasus Pilkada Depok, yang jauh sebelum diajukan PK, Ketua MA sudah terlebih dahulu mem-'vonis'. Suatu hal seharusnya tidak perlu jika mengingat bahwa proses hukum pada tingkat MA -pada saat itu-, belum berjalan.

Konstitusionalisme Populis

Yang harus dipikirkan sekarang adalah bagaimana merancang konstitusionalisme dengan sisi pelibatan penuh konstituen yakni rakyat itu sendiri. Konstitusionalisme yang meng-up grade peran rakyat dari sekadar memilih melalui pemilu. Ini yang diistilahkan oleh Mark Tushnet adalah bagaimana merancang dan mengadopsi "Populist Constitutional Law" ke dalam sistem konstitusionalisme [6]. Suatu sentuhan terhadap gaya konstitusionalisme sehingga berwajah lebih populis.

Dalam term konstitusionalisme populis, pelibatan rakyat banyak lebih diutamanakan. Untuk kasus Indonesia, bisa dimulai dengan prinsip baru tentang pentingnya peranan seluruh rakyat dalam setiap proses ketatanegaraan Indonesia.

Lembaga legislatif harus dapat menemukan cara agar mempertinggi intensitas pertemuan dengan konstituennya, bukan dengan mempertinggi intensitas 'belajar' ke luar negerinya. Lembaga judisial menemukan formula pelibatan kehendak konstituen dalam putusan perkaranya. MK seharusnya juga terikat pada keinginan seluruh rakyat Indonesia dalam memberikan penafsiran terhadap konstitusi. MK tidaklah hanya terikat pada konstitusi (tekstual), tetapi setiap putusan juga mesti memasukkan fungsi sosiologisnya yakni apresiasi terhadap keinginan masyarakat banyak. Analoginya, jika DPR sebagai positive legislature harus memiliki mekanisme inisiasi, maka MK sebagai negative legislature juga seharusnya memiliki mekanisme yang sama, walaupun mungkin dalam bentuk yang berbeda, misalnya melalui suatu penelitian dan kajian yuridis maupun sosiologis yang mendalam terhadap suatu perkara yang diperhadapkan ke MK. Sedangkan bagi eksekutif tentu saja dengan kesadaran bahwa ia adalah pelayan konstituen.

Intinya, kepentingan konstituenlah yang harus menjadi tujuan dari segala tindakan ketatanegaraan. Karenanya, konstitusionalisme populislah yang harus diagregasi untuk menutup celah cacat dalam konstitusionalisme Indonesia. Konstitusionalisme yang demokratis dan dapat menjadikan rakyat sebagai pelaku dan bukan hanya sekedar penonton.

Daftar Pustaka

1. Aristotle, 1974, Constitutions of Athens, Hafner Press, New York-USA.
2. Asshiddiqie, Jimly, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konpres, Jakarta-Indonesia.
3. Hamilton, Walton H., 1931, Constitutionalism, on ?“Encyclopedia of Social Sciences?”, Edwin R.A. Selligman (editor), Mc.Millan Pub. Co, June 1, 1937, New York-USA.
4. Harian Kompas, edisi 3 Agustus 2004
5. Teitel, Rudi G., 2000, Transitional Justice, Oxford Press, New York-USA.
6. Tushnet, Mark V., 1999, The Possibilities of Comparative Constitutional Law, Yale Law Journal, Volume 108-1225, 1269-85.
7. _______, 1999, Taking Constitution Away From the Court, Princenton University Press, New Jersey-


Sumber: INOVASI Online
Website : http://io.ppi-jepang.org Email : redaksi@io.ppi-jepang.org

1 comment:

Rahmat Ali said...

Mhon izin co-pas utk makalah dan referensi.

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.