Politik Tanpa Etika dan Logika

Politik Tanpa Etika dan Logika
Oleh Victor Silaen

Pasca-Pileg 9 April, hampir setiap hari kita menyaksikan politik Indonesia yang hiruk-pikuk dan tak enak untuk ditonton. Kisruh soal DPT (Daftar Pemilih Tetap) karena hampir 50 juta rakyat Indonesia yang kehilangan hak pilihnya membuat banyak partai, di samping pihak-pihak lainnya, berteriak lantang memprotes KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Pemerintah. Tapi, belum lagi protes-protes itu diakomodir secara proporsional dan ditindaklanjuti secara politik maupun hukum, partai-partai itu telah berpaling mempersoalkan hal lain: koalisi.

Maka selama beberapa minggu sejak itu, kita pun disuguhi tontonan tentang sejumlah tokoh politik yang sibuk melakukan pertemuan di sana-sini. Per definisi koalisi bertujuan untuk menghimpun antarkekuatan politik demi terbentuknya kekuatan politik baru yang jauh lebih besar dan diharapkan dapat berperan efektif di lembaga legislatif maupun eksekutif nanti. Menurut semua pihak yang terlibat dalam pertemuan antarkekuatan politik itu, koalisi adalah untuk rakyat, juga untuk bangsa dan negara. Idealnya begitu, walau tak semudah itu kita bisa percaya. Sebab fakta bicara, bahwa pihak-pihak yang sebelumnya memprotes malah berhasrat kuat merapat ke pihak yang diprotes. Bahkan ada pihak yang sebelum Pileg 9 April berupaya menjegal langkah pihak yang lain, entah melalui pembentukan Pansus Orang Hilang di DPR maupun lontaran pernyataan-pernyataan politik mereka yang bernada menyerang, akhirnya malah bersepakat membentuk kekuatan baru demi ambisi meraih sukses dalam Pilpres 8 Juli nanti.

Di manakah etika para elit politik itu? Tak sadarkah mereka bahwa semua sepak-terjang dan manuver politik yang mereka perlihatkan itu selalu menjadi tontonan publik dan menjadi sosialisasi politik? Memang, memberikan sosialisasi politik kepada publik merupakan salah satu fungsi partai politik. Tapi, jika sosialisasi politik itu malah membuat rakyat kian muak kepada politik, sehingga makin menganggap politik itu kotor dan penuh intrik, tidakkah partai-partai itu layak merasa malu? Bagaimana jika dikarenakan hiruk-pikuk para elit politik itu kian banyak rakyat yang enggan menggunakan hak pilihnya dalam Pilpres nanti?

Ketika terdengar berita bahwa di balik koalisi terjadi negosiasi-negosiasi tentang berapa kursi menteri yang diperoleh nanti di kabinet, kita tentu makin tak percaya bahwa koalisi antarkekuatan politik itu bertujuan demi rakyat. Sebab, jika benar demikian, maka setidaknya sebelum Pilpres, hak konstitusional rakyat yang terenggut dalam Pileg lalu diperjuangkan hingga tuntas dan rakyat puas. Berdasarkan itu maka logikanya Pilpres harus ditunda. Sebab, bukankah baik Pileg maupun Pilpres 2009 ini keduanya saling berkaitan, sama-sama untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin baru di lembaga legislatif dan eksekutif? Kalau hasil Pileg-nya saja belum beres, karena masih dalam proses gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK), dapatkah Pilpres-nya diselenggarakan begitu saja seakan masing-masing tak ada hubungannya sama sekali?

Aneh sekali logika politik yang berkecamuk di benak para elit politik itu. Paling tidak, bukankah KPU sebagai pihak yang berotoritas dalam penyelenggaraan Pileg yang kacau-balau itu dimintai dulu pertanggungjawabannya? Kalaulah KPU dianggap gagal, sebagaimana penilaian berbagai pihak dan kalangan, bukankah mestinya seluruh komisioner KPU diminta mundur dan diganti dengan yang baru? Tuntutan itu ada dasarnya, yakni UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD terutama Pasal 148 Ayat (1) yang menyebutkan pemungutan suara diselenggarakan serentak. Juga tentang asas penyelenggaraan pemilu dalam Pasal 2 UU Nomor 22/2008 yang menyebut tentang mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggaraan pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proporsional, profesional, akuntabilitas, efisien, dan efektif.

Berdasarkan fakta kisruh DPT yang mendekati angka 50 juta, banyaknya surat suara yang tertukar, dan yang lebih parah ada juga caleg yang tidak mendapatkan hak pilihnya (sebagaimana yang dituturkan rekan saya, caleg DPRD dari sebuah partai), dan lain-lain, dapatkah KPU dinilai sukses? Jika tidak, lalu mengapa pihak yang dianggap gagal itu masih juga diberi kepercayaan untuk menunaikan tugas dan tanggungjawab baru? Sungguh tak logis. Lebih logis jika Pileg yang lalu itu diulang, karena hal itu memang dimungkinkan — demikian menurut Ketua MK Mahfud MD. Jangankan untuk memikul tugas dan tanggungjawab baru nanti, bahkan sekarang saja dalam persidangan di MK, KPU tidak serius – demikian menurut Mahfud MD. Jadi, sekali lagi tak logis jika Pilpres dipaksakan untuk terselenggara pada 8 Juli dan oleh KPU yang gagal itu.

Tapi syukurlah, kekecewaan rakyat dalam Pileg lalu akhirnya terakomodir juga dengan disetujuinya penggunaan hak angket tentang DPT di DPR. Jadi, dalam waktu dekat, akan dibentuk sebuah panitia khusus (pansus) untuk itu. Terkait itu, mengapa kubu Partai Demokrat kecewa dan berencana akan mengkaji ulang koalisi partai pendukung pasangan SBY-Boediono dalam Pilpres 2009? Jika Partai Demokrat betul-betul berjuang untuk rakyat, dan karenanya selalu akan menyuarakan aspirasi rakyat, lalu apa alasannya tidak setuju hak angket? Bukankah hak itu, yang secara sah dapat digunakan oleh DPR untuk menyelidiki Pemerintah, memang harus diabdikan demi kepentingan rakyat? Jadi, sungguh tak logis jika ada partai yang kecewa karenanya. Kepada partai tersebut, kita patut bertanya: mereka ada untuk rakyat atau diri sendiri?

Boleh jadi kubu Partai Demokrat punya logika politiknya sendiri. Bagi mereka, kalau partai A, B, C, dan lainnya setuju berkoalisi untuk mendukung SBY-Boediono dalam Pilpres, maka seharusnya partai-partai itu tidak ikut-ikutan “menohok” Pemerintah. Tapi, mengapa kubu Demokrat mencemaskan Pemerintah dan bukan malah memperjuangkan rakyat? Jawabannya jelas, karena Pemerintah identik dengan SBY (Presiden), dan SBY adalah sosok yang justru dielu-elukan oleh Partai Demokrat. Kalau begitu, dalam konteks ini, jelaslah bahwa logika para elit politik dan logika rakyat tidak memiliki ketersambungan dan kecocokan sama sekali. Pantaslah kalau begitu; pantaslah kalau rakyat sering merasa kecewa terhadap para elit politik.

Terakhir, setidaknya ada dua hal yang tidak etis dalam politik Indonesia hari-hari ini. Pertama, SBY-Boediono jelas merupakan pasangan yang “ganjil”. Ini bukan soal Boediono yang bukan kader partai, melainkan karena SBY yang bukan Ketua Umum Partai Demokrat namun sangat menentukan siapa yang akan menjadi calon wakil presiden yang diusung Partai Demokrat dan partai-partai lain yang bergabung dengan Partai Demokrat. Ini jelas melanggar Pasal 9 UU No. 42/2008 tentang Pilpres yang menyebutkan pasangan capres-cawapres harus diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi sedikitnya 20 persen dari jumlah kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam Pileg. Dari sisi Partai Demokrat, jika memang SBY memiliki kewenangan untuk itu, maka itu sepenuhnya merupakan urusan internal mereka. Namun dari sisi koalisi partai-partai yang merapat ke Partai Demokrat, seharusnya aspirasi mereka tentang calon wapres bagi SBY pun didengarkan. Inilah yang tidak etis. Karena tak dapat disangkal, semua partai yang mendukung SBY terkejut dengan penetapan Boediono sebagai calon wapres.

Kedua, masa kampanye capres-cawapres baru resmi dimulai 2 Juni lalu. Namun, fakta bicara bahwa ketiga pasangan capres-cawapres itu sudah gencar beriklan sebelumnya. Sangat tidak etis bukan? Belum lagi soal sindir-menyindir di antara mereka. Maka, jangan salahkah rakyat jika karena itu mereka berpikir bahwa “politik memang kotor dan penuh intrik” dan lalu memilih untuk golput dalam Pilpres 8 Juli nanti.

* Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol.


Sumber: Blog Pribadi Victor Silaen.

1 comment:

Unknown said...

kadang pandangan politik itu terbalik dari apa yang kita pikirkan. namun dari semua pelaksanaan pemilihan, yang harus disadarkan adalah masyarakat sendiri, yang kadang membabi buta dalam mendukung wakilnya namun tidak melihat kemampuan dan intelelegensia pemimpiun yang di usung. yang parah lagi kadang wakil yang memang bodoh masih memaksakan diri dan mencoba untuk meyakinkan kalau dia memang mampu. mampu apa? mampu menghancurkan bangsa ini mungkin iya. jadi dalam politikpun kita diajarkan kebodohan dan berdusta untuk saudara kita sendiri. itu politik penipuan, karena kebodohan itu sendiri. makasih atas posting yang berguna ini. semoga berguna juga bagi masyarakat kita nantinya. agar mereka sadar kalau politik itu hanya strategi yang kadang menipu kita untuk bersikap. salam persahabatan blogger dan ditunggu kunjungan baliknya. makasih dan mahesa (makin hebat saja) buat blog ini

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.