Strategi Resistensi Terhadap Politik Uang

Politik uang dalam PEMILU memiliki rasionalitas yang berbeda bagi masing-masing pelaku politik. Bagi para calon legislatif (caleg) politik uang merupakan alat untuk menaklukkan pilihan bebas masyarakat. Bagi mereka suara pemilih adalah komoditas yang bisa dibarter atau dibeli dengan harga atau barang yang disepakati bersama atau sesuai dengan harga pasar (gelap) yang ketahui dan ditetapkan para calo-calo politik. Para calo yang membuka pintu masuk bagi para caleg ke pertemuan-pertemuan warga atau para tokoh masyarakat.

Bagi para pemilih, penerimaan atas politik uang bukan berarti penundukan elit politik atas pilihan politik mereka. Berlainan dari kekhawatiran yang melihat masyarakat sebagai korban politik uang, saya malah menemukan contoh bagaimana beberapa kelompok masyarakat telah berhasil mengembangkan strategi politik dalam Pemilu berdasarkan realitas dan bentuk kelembagaan Pemilu yang berkembang selama satu dekade ini.

Setelah satu Pemilu legislatif berlangsung pada tahun 1999 dan rangkaian Pilkada, dengan cepat masyarakat sadar bahwa sistem politik yang baru saja dilembagakan juga tidak dapat memberikan kepastian akan pemenuhan kebutuhan mereka. Masyarakat tidak lagi hanya menghadapi caleg sebagai individu yang lemah karena teratomisasi secara politik. Mereka menyusun strategi bersama yang bisa memaksa para caleg untuk memenuhi kebutuhan mereka.



Di beberapa komunitas desa yang saya jumpai terdapat beberapa warga dalam lingkup satu RT, RW atau Dusun membentuk panitia penyambutan caleg dan mengatur strategi kolektif untuk menghadapi masuknya caleg ke dalam kelembagaan sosial mereka. Dengan persetujuan keseluruhan warga mereka menawarkan lembaga mereka dan memfasilitasi para caleg untuk ‘bersilaturahmi’ dengan para warga. Terkadang kebutuhan dan harga telah disepakati sejak awal sebelum pertemuan.

Untuk acara silaturahmi antara warga dengan caleg, para panitia telah mengatur sebuah pentas drama yang mencoba meyakinkan para caleg bahwa sebagai komunitas mereka bisa bersepakat untuk memberikan suara mereka. Pertanyaan disusun, pernyataan dukungan disiapkan, demikian pula para pembawa perannya. Bahkan suara warga pun siap dibagi sebagai bentuk kompromi terhadap para caleg yang telah mampir ke pertemuan warga sehingga semua merasa menang sesuai dengan jumlah uang atau barang yang diberikan.

Di akhir pertemuan yang disampaikan adalah penegasan terhadap tuntutan warga dan yang ditunggu adalah jawaban langsung dari sang caleg berupa uang atau barang baik untuk skedar membeli tikar, mengecor jalan kampung hingga memperbaiki tempat ibadah. Semakin cepat uang atau material disampaikan maka semakin meyakinkanlah sang caleg.

Tentu “masyarakat” yang dimaksud di sini bukanlah satu kesatuan organik dan panitia bukanlah orang yang benar-benar dapat menentukan suara warganya. Kesepakatan warga yang direpresentasikan panitia sangat mungkin bersifat semu dan hanya akal-akalan sadar warga yang kini benar-benar merasa terlindungi kebebasan memilihnya di dalam bilik suara. Sebuah berkah politik dari reformasi 1998 tentunya.

Bagi para caleg ini adalah resiko politik yang sulit diperhitungkan. Mereka sadar banyaknya dana dan material yang mereka gelontorkan tidak selalu berbanding lurus dengan jumah suara yang mereka raih. Pada akhirnya variabel lain seperti ikatan primordial dan pengaruh sosial para panitia lebih berpengaruh langsung daripada uang itu sendiri.

Dalam obrolan ronda malam atau di kedai-kedai kopi strategi politik semacam ini bukanlah rahasia lagi. Bahkan para caleg pun mengetahuinya. Bagi para caleg, tuntutan warga adalah ongkos politik yang harus dibayar untuk melempangkan jalan menuju kekuasaan. Sedangkan tuntutan masyarakat untuk pemberian uang muka merupakan jawaban dari masyarakat atas strategi politik uang yang dimulai oleh partai politik. Setali tiga uang!

Penerimaan atas politik uang ini tidak bisa kita lihat sebatas oportunisme masyarakat dalam menyikapi bombardir uang dari para caleg. Lebih dari itu, politik uang muka adalah transaksi ekonomi politik yang dilakukan secara sadar akibat tidak adanya mekanisme kontrol masyarakat terhadap partai politik dan para anggota legislatif. Oleh karena tidak ada kepastian imbal balik pemenuhan kebutuhan warga setelah para caleg terpilih, maka secara rasional imbal balik tersebut harus dilakukan di awal, dalam bentuk uang muka!

Politik uang muka ini sepenuhnya rasional dalam sistem pemilu yang tidak bisa melahirkan keterwakilan politik berkualitas yang dapat mendorong pengelolaan sumber daya negara bagi kepentingan konstituennya. Lingkaran setan pun terbentuk. Politik uang muka sedang melembaga dalam masyarakat. Para caleg pun tidak bisa menghindar dari politik uang yang berbiaya tinggi, yang berakibat logis pada penggerogotan sumber daya publik. Lingkaran permasalahan yang mungkin berakar pada hilangnya kepercayaan terhadap kebaikan bersama dalam hidup bernegara.

Apakah keputusan MK mengenai penentuan anggota legislaif berdasar suara terbanyak akan berpengaruh terhadap praktek ini?

Fakta yang yang terjadi adalah keputusan tersebut makin mendorong banyaknya caleg yang masuk ke pertemuan-pertemuan warga untuk melakukan kesepakatan-kesepakatan langsung dengan warga. Berbeda dengan sistem sebelumnya yang lebih banyak dilakukan dan dibiayai caleg pada nomor urut teratas. Bagi beberapa komunitas ini adalah berkah karena kini semakin banyak caleg yang bisa ‘menyumbang’ kas warga atau membantu memenuhi kebutuhan kolektif mereka.

Dari sisi caleg dan parpol, keputusan ini masih mungkin untuk mendorong ke dua arah yang berbeda. Pertama, oleh karena para tingginya persaingan, para caleg kini harus lebih banyak melakukan pertemuan langsung dengan pemilih yang mengakibatkan semakin tingginya biaya politik. Jika pragmatisme politik uang muka semakin menguat dalam masyarakat maka pemenang Pemilu dapat dipastikan adalah mereka yang memiliki modal finansial yang besar.
Kemungkinan kedua adalah tingginya biaya politik yang diakibatkan sistem suara terbanyak tersebut akan melampaui nilai ekonomi dari jabatan legislatif yang diperebutkan. Akibatnya para caleg akan berpikir ulang untuk menggunakan politik uang untuk memperoleh dukungan suara dan mulai menggunakan strategi-strategi lain yang berbasis modal sosial atau intelektual. Untuk itu mereka terlebih dahulu harus mematahkan pragmatisme politik uang muka dalam masyarakat. Dan ini tentu akan membawa politik Indonesia ke arah yang lebih baik. Semoga!

Oleh Achmad An'am Tamrin, alumni University of Sussex Inggris, bekerja di Yogyakarta.

Sumber: Jakarta Beat.

No comments:

Post a Comment

Silahkan meninggalkan komentar apapun. Terimakasih.